MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME

Join the forum, it's quick and easy

MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME
MURTADIN_KAFIRUN
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Latest topics
» Yeremia 23 & Ulangan 13 mengisyaratkan Muhammad nabi palsu
MANUSIA ROBOT EmptyFri 02 Feb 2024, 5:21 pm by buncis hitam

» kenapa muhammad suka makan babi????
MANUSIA ROBOT EmptyWed 31 Jan 2024, 1:04 am by naufal

» NYATA & FAKTA : TERNYATA YESUS PILIH MENGAULI KELEDAI DARIPADA WANITA!!! (sebuah penghinaan OLEH PAULUS)
MANUSIA ROBOT EmptyFri 12 Jan 2024, 9:39 pm by Uwizuya

» SORGA ISLAM RUMAH PELACUR ALLOH SWT...........
MANUSIA ROBOT EmptyTue 02 Jan 2024, 12:48 am by Pajar

» Moon Split or Islamic Hoax?
MANUSIA ROBOT EmptyWed 13 Dec 2023, 3:34 pm by admin

» In Islam a Woman Must be Submissive and Serve her Husband
MANUSIA ROBOT EmptyWed 13 Dec 2023, 3:32 pm by admin

» Who Taught Allah Math?
MANUSIA ROBOT EmptyWed 13 Dec 2023, 3:31 pm by admin

» BISNIS GEREJA YUUUKZ....LUMAYAN LOH UNTUNGNYA....
MANUSIA ROBOT EmptyWed 05 Jul 2023, 1:57 pm by buncis hitam

» ISLAM: Palsu, Maut, Tak Akan Tobat, Amburadul
MANUSIA ROBOT EmptySun 07 May 2023, 9:50 am by MANTAN KADRUN

Gallery


MANUSIA ROBOT Empty
MILIS MURTADIN_KAFIRUN
MURTADIN KAFIRUNexMUSLIM INDONESIA BERJAYA12 Oktober Hari Murtad Dari Islam Sedunia

Kami tidak memfitnah, tetapi menyatakan fakta kebenaran yang selama ini selalu ditutupi oleh muslim untuk menyembunyikan kebejatan nabinya

Menyongsong Punahnya Islam

Wadah syiar Islam terlengkap & terpercaya, mari sebarkan selebaran artikel yang sesungguhnya tentang si Pelacur Alloh Swt dan Muhammad bin Abdullah yang MAHA TERKUTUK itu ke dunia nyata!!!!
 

Kebrutalan dan keberingasan muslim di seantero dunia adalah bukti bahwa Islam agama setan (AJARAN JAHAT,BUAS,BIADAB,CABUL,DUSTA).  Tuhan (KEBENARAN) tidak perlu dibela, tetapi setan (KEJAHATAN) perlu mendapat pembelaan manusia agar dustanya terus bertahan

Subscribe to MURTADIN_KAFIRUN

Powered by us.groups.yahoo.com

Who is online?
In total there are 81 users online :: 0 Registered, 0 Hidden and 81 Guests :: 3 Bots

None

[ View the whole list ]


Most users ever online was 354 on Wed 26 May 2010, 4:49 pm
RSS feeds


Yahoo! 
MSN 
AOL 
Netvibes 
Bloglines 


Social bookmarking

Social bookmarking reddit      

Bookmark and share the address of MURTADINKAFIRUN on your social bookmarking website

Bookmark and share the address of MURTADIN_KAFIRUN on your social bookmarking website


MANUSIA ROBOT

3 posters

Go down

MANUSIA ROBOT Empty MANUSIA ROBOT

Post by admin Mon 16 May 2011, 10:04 pm

Manusia Robot


“Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah.

Guru bukan dewa dan selalu benar.

Dan murid bukan kerbau,” -Soe Hok Gie-

Rasanya tidak sulit mengingat-ingat hingar bingar saat sekolah dulu. Saat itu, seorang anak begitu bangga dengan pakaian seragam dan tas tenteng. Banyak anak yang larut dalam pembicaraan tentang pelajaran sekolah, aturan sekolah, seragam baru, buku pelajaran baru, atau tumpukan tugas-tugas dari seorang guru. Siswa dengan seragam, kadang dilindungi tembok tinggi atau pengawasan ketat larut dalam euforia sekolah, tanpa pernah sadar jika ada yang tidak beres di sekelilingnya.

Tidak jarang kita temukan sosok siswa yang progresif, kritis dalam kristalisasi dinamika sekolah. Dari sekolah dasar, terdogma iming-iming sekolah, kesuksesan, dan pemahaman strukturalisasi sistem yang tentunya sistem penguasa. Namun, dari kungkungan itu pun kadang terselip sosok yang mampu menolak mekanisme sekolah. Orang-orang inilah yang kadang lahir dalam konotasi anak nakal, sulit diatur, atau pemberontak yang tidak mau patuh pada aturan sekolah.

Konotasi sekolah adalah konotasi pabrik. Pabrik yang mencetak manusia robotik, kaku dan patuh pada struktur. Dapat dibayangkan seorang siswa terkurung dalam kepenatan ruang kelas, miskin kreatifitas, atau repsesi mental untuk membuat siswa patuh. Lalu, di mana ruang intelektual yang diharapkan hadir dalam sekolah?

Pembicaraan tentang sekolah adalah pembicaraan yang sangat kompleks. Sekolah awalnya hadir sebagai ruang pengejewantahan kegelisahan ilmu, itu pada zaman Socrates. Namun, sekolah perlahan menjelma menjadi ruang representasi kultural baru, trend yang menyihir untuk membuat sekolah menjadi tempat yang elitis. Makanya sekarang, untuk bersekolah saja kita harus melewati lika-liku aturan dengan jaminan surat tanda tamat belajar.

Sebagai satu-satunya tempat menuntut ilmu yang legal (versi pemerintah, pastinya), sekolah tertata dalam mekanisme yang runtut, sepertinya memang ditata untuk membuat seorang anak menjadi patuh. Sekolah diatur sedemikian rupa, dari Sabang sampai Merauke memiliki mekanisme yang seragam tanpa melihat potensi maupun analisis kebutuhan siswa di tiap distrik. Kita dapat menyimak kekonyolan mekanisme pendidikan dalam sekolah, sarat keseragaman dan menafikan keberagaman. Wajar saja banyak siswa yang merasa tidak puas dengan hasil UN (Ujian Nasional) lantaran merasa dihianati dengan acuan kelulusan sepihak yang diderivasikan pemerintah. Siswa seolah menjadi sapi-sapi perah, tepatnya sapi yang dicocok hidungnya dan bebas digiring kemana-mana.

Ada banyak ketimpangan dalam sekolah khususnya dan pendidikan sebagai payungnya. Untuk itu, ada beberapa pokok kajian yang patut dibicarakan. Berikut beberapa catatan miris tentang pendidikan dan sekolah.

Rendahnya Penghargaan terhadap Intelektualitas

Barangkali, kita pernah membaca biografi seorang sosiolog, satrawan dan sejarawan sekaliber Pramoedya Ananta Toer. Bagi yang sadar, tentu akan terheya dengan perlakuan pemerintah ORBA terhadapnya. Dijerumuskan dalam penjara, buku-buku dibakar, tentu bukan merupakan pengalaman yang menyenangkan. Belum lagi tokoh-tokoh lain yang pernah dipasung represi pemerintah lantaran melakukan perlawanan melalui proses pencerdasan masyarakat.

Intelektualitas merupakan unsur progresif yang menentukan bagi kemajuan sebuah bangsa. Lantas, apa jadinya bila penghargaan terhadap intelektualitas sangat rendah dalam suatu negara? Bukankah hal yang demikian menunjukkan ketidakberpihakan negara terhadap masyarakatnya? Kalau memang demikian, agaknya tidak salah kata Bakhunin, seorang tokoh Anarkisme yang menyatakan bahwa negara adalah penindas legal yang harus dihancurkan.

Penghargaan negara terhadap intelektualitas yang sedemikian rendah, boleh jadi indikator keterpurukan pendidikan. Selama ini, pemerintah terlalu banyak menyuguhi masyarakat dengan permainan kekuasaan. Iming-iming legitimasi kekuasaan telah menciptakan pola kebudayaan semangat berkuasa-bukan dalam hanya pemerintah tentunya, melainkan juga masyarakat itu sendiri.

Di Kota Depok sendiri, penghargaan bagi prestasi pelajar sekadar dijadikan legitimasi formal-tepatnya menaikkan citra atau gengsi institusi. Sehingga, substansi prestasi pelajar sekadar dilihat dalam kacamata yang sangat parsial. Tidak heran, bila pelajar yang dianggap berprestasi adalah mereka yang unggul dalam akademik, jawara dalam berbagai event antarsekolah atau menjadi siswa teladan di antara siswa lainnya. Sementara mereka yang memiliki perhatian terhadap lingkungan sosial melalui berbagai organisasi sekolah kadang teralienasi dan kurang mendapat penghargaan dalam lingkungannya.

Tampaknya, realitas pendidikan memang terasa absurd. Di era orde baru, cukup banyak pelajar yang tiap tahunnya diundang presiden untuk mendapat penghargaan sebagai siswa berprestasi (versi Soeharto tentunya). Bandingkan dengan puluhan pelajar yang diberondong peluru di era 80-an lantaran menolak asas tunggal dan memertahankan asas islam dalam organisasinya (ingat kasus PII). Itu artinya, semangat need fo power juga merambah dalam dunia pendidikan, memertahankan legitimasi kekuasaan melalui pengotakan siswa, sektarianisme, dan semangat bersaing, bukan semangat berkesadaran sosial.

Untuk Bersekolah, Kita Harus Bayar Mahal

Realitas post Orba tampaknya menjadi titik tolak bagi redefenisi swastanisasi pendidikan. Reformasi ternyata tidak mampu memberikan formulasi yang sepadan dengan cita-citanya, terutama pendidikan. Tahun 2003 saja undang-undang pendidikan dipreteli dengan munculnya UU BHP yang tidak hanya diproyeksi untuk perguruan tinggi, tetapi juga pendidikan dasar, menengah, dan atas. Itu artinya, pemerintah mengabaikan amandemen UUD 1945 pasal 31 (bunyinya menekankan kewajiban pemerintah untuk menjamin hak pendidikan tiap warga neganya). Belum lagi anggaran pendidikan yang sebesar 20 % dari APBD dan APBN yang belum pernah terealisasi, justru akan ditenggelamkan dengan absurditas RUU BHP.

tampaknya orang miskin memang dilarang sekolah (minjam istilah mas Eko). Biaya pendidikan mahal, serta biaya lain dengan iming-iming jaminan kualitas. Pemerintah memang telah mengucurkan dana BOS, tapi tidak ada jaminan untuk pendidikan gratis. Bahkan, untuk rasionalisasinya pun membingungkan dengan mengucurkan langsung ke sekolah, bukan berupa kebijakan yang berpihak pada masyarakat. Pada akhirnya, tidak sedikit pelajar tiba-tiba putus sekolah, bahkan tidak sekolah sama sekali.

Sedemikian mahalnya biaya sekolah, tampaknya menyulut reaksi. Berbagai aktivitas pembelajaran muncul yang didirikan lembaga-lembaga independen atau pendampingan para aktivis gerakan mahasiswa di pelbagai daerah atau pinggiran kota. Lembaga tersebut menaut harapan yang diharapkan akan melahirkan aktivis jalanan kelak, aktivis yang lahir dari tempat kumuh untuk mewujudkan cita-cita kaum marginal. Bukankah orang miskin dan kaum tertindas adalah pewaris dunia? (Tuhan yang bilang dalam kitab suci).

Tradisi Feodal dalam Sekolah

Pernahkah kita diajak untuk mengkritisi kebijakan sekolah tentang pakaian seragam dan indikator kerapian? Pernahkah kita dibebaskan untuk tidak ikut upacara bendera? Bukankah upacara bendera hanya sebagian terkecil ritual kita dalam menunjukkan nasionalisme? Tidak sulit menjumpai siswa yang kejar-kejaran dengan gurunya setiap hari senin lantaran sang siswa tidak mau ikut upacara bendera setiap hari senin. Ataukah siswa yang terpaksa mendapat nilai jelek lantaran pernah berbeda pandangan dengan gurunya tentang suatu pokok bahasan mata pelajaran. Ini hanya sebagian kecil dari kultur sekolah yang harus diikuti siswa sekolahan.

Rasanya lumrah menjumpai kultur sekolah ala kerajaan. Selain pretensi guru dan pihak sekolah terhadap peserta didik, juga cukup banyak kultur senioritas dalam lingkungan sekolah. Pernahkah kita merasakan superioritas senior dalam tradisi masa orientasi siswa? Atau kita sendirilah yang pernah melakukan hal yang serupa lantaran kultur yang telah mendarah daging? Kungkungan kultur tersebut kadang membuat kita lupa sebagai insan akademis, sekadar gagah-gagahan dalam sekolah yang berujung pada minimnya progresifitas maupun kreatifitas.

Meminjam istilah Michel Faucault, sorang tokoh Postmodernis, tentang representasi kultural yang memungkinkan terbentuknya kultur turun-temurun sebagai efek stereotipe kultural, barangkali juga merupakan alasan bagi terbentuknya kultur feodalisme dalam sekolah. Kultur primitif dari era lalu diturunkan dari generasi ke generasi, sehingga ada keenggangan untuk mengubah kebiasaan yang telah ada dengan alasan ”kultur”. Cara pandang ini memungkinkan superioritas senior tetap langgeng walau tidak koheren dengan zaman.

Life Style dan Kultur Anak Sekolah

Jika ditanya, kapan ABG (anak baru gede) terlihat cantik dan menarik? Mungkin sebagian besar dari kita akan menjawab, saat ABG itu berpakaian sekolah. Tidak aneh. Barangkali karena pakaian sekolah memiliki kekuatan magnetik. Ketika kita memandang demikian, tanpa sadar kita telah mendorong peluang kompetisi bagi anak sekolah untuk mempercantik diri.

Ada yang menarik saat membincang tentang kultur hedon siswa. Sangat sering tayangan TV dengan leluasa menayangkan produk-produk kecantikan atapun top mode pakaian siswa perkotaan. Sebenarnya representasi itulah yang menyulut siswa di berbagai daerah serempak meniru mode yang sama, tentunya juga dengan alasan yang sama, trend. Sebagai titik tolak, tayangan TV adalah ruang kultural yang paling dominan untuk memengaruhi gaya berpakaian siswa. Pada persoalan ini, representasi kultural media TV mampu menyihir audiencenya untuk mengikuti produk yang ditawarkan. Fese tersebut, memungkinkan siswa sebagai konsumen menelan mentah-mentah ajaran baru yang ditayangkan TV (bukankah waktu menonton TV jauh lebih banyak dibanding belajar dalam kelas?).

Kontemplasi

Begitu banyak teori maupun konsepsi yang membincang tentang cita-cita pendidikan ideal. Katanya pendidikan itu membebaskan. Pendidikan itu alat perlawanan. Pendidikan itu harus memanusiakan manusia, bukan merendahkan martabat manusia. Akan tetapi, konsepsi tersebut sekadar datang tiba-tiba, juga pergi tiba-tiba. Pabrik robot tetap beroperasi dengan leluasa. Bahkan, perlahan memperlebar hegemoninya melalui legitimasi yang lebih kuat, sulit dibendung. Lantas sekarang, apa yang akan kita lakukan? Kata Gie, kalau kita hanya menunggu, kita tidak akan pernah tahu kesempatan apa yang kita miliki dalam hidup ini.

”Negara adalah penindas legal yang harus dihancurkan”(Bakhunin)
admin
admin
ADMINISTRATOR
ADMINISTRATOR

Male
Number of posts : 1234
Age : 22
Reputation : -4
Points : 8010
Registration date : 2008-12-18

http://groups.yahoo.com/group/MURTADIN_KAFIRUN/

Back to top Go down

MANUSIA ROBOT Empty Re: MANUSIA ROBOT

Post by hamba tuhan Mon 16 May 2011, 10:06 pm

admin wrote:Manusia Robot


“Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah.

Guru bukan dewa dan selalu benar.

Dan murid bukan kerbau,” -Soe Hok Gie-

Rasanya tidak sulit mengingat-ingat hingar bingar saat sekolah dulu. Saat itu, seorang anak begitu bangga dengan pakaian seragam dan tas tenteng. Banyak anak yang larut dalam pembicaraan tentang pelajaran sekolah, aturan sekolah, seragam baru, buku pelajaran baru, atau tumpukan tugas-tugas dari seorang guru. Siswa dengan seragam, kadang dilindungi tembok tinggi atau pengawasan ketat larut dalam euforia sekolah, tanpa pernah sadar jika ada yang tidak beres di sekelilingnya.

Tidak jarang kita temukan sosok siswa yang progresif, kritis dalam kristalisasi dinamika sekolah. Dari sekolah dasar, terdogma iming-iming sekolah, kesuksesan, dan pemahaman strukturalisasi sistem yang tentunya sistem penguasa. Namun, dari kungkungan itu pun kadang terselip sosok yang mampu menolak mekanisme sekolah. Orang-orang inilah yang kadang lahir dalam konotasi anak nakal, sulit diatur, atau pemberontak yang tidak mau patuh pada aturan sekolah.

Konotasi sekolah adalah konotasi pabrik. Pabrik yang mencetak manusia robotik, kaku dan patuh pada struktur. Dapat dibayangkan seorang siswa terkurung dalam kepenatan ruang kelas, miskin kreatifitas, atau repsesi mental untuk membuat siswa patuh. Lalu, di mana ruang intelektual yang diharapkan hadir dalam sekolah?

Pembicaraan tentang sekolah adalah pembicaraan yang sangat kompleks. Sekolah awalnya hadir sebagai ruang pengejewantahan kegelisahan ilmu, itu pada zaman Socrates. Namun, sekolah perlahan menjelma menjadi ruang representasi kultural baru, trend yang menyihir untuk membuat sekolah menjadi tempat yang elitis. Makanya sekarang, untuk bersekolah saja kita harus melewati lika-liku aturan dengan jaminan surat tanda tamat belajar.

Sebagai satu-satunya tempat menuntut ilmu yang legal (versi pemerintah, pastinya), sekolah tertata dalam mekanisme yang runtut, sepertinya memang ditata untuk membuat seorang anak menjadi patuh. Sekolah diatur sedemikian rupa, dari Sabang sampai Merauke memiliki mekanisme yang seragam tanpa melihat potensi maupun analisis kebutuhan siswa di tiap distrik. Kita dapat menyimak kekonyolan mekanisme pendidikan dalam sekolah, sarat keseragaman dan menafikan keberagaman. Wajar saja banyak siswa yang merasa tidak puas dengan hasil UN (Ujian Nasional) lantaran merasa dihianati dengan acuan kelulusan sepihak yang diderivasikan pemerintah. Siswa seolah menjadi sapi-sapi perah, tepatnya sapi yang dicocok hidungnya dan bebas digiring kemana-mana.

Ada banyak ketimpangan dalam sekolah khususnya dan pendidikan sebagai payungnya. Untuk itu, ada beberapa pokok kajian yang patut dibicarakan. Berikut beberapa catatan miris tentang pendidikan dan sekolah.

Rendahnya Penghargaan terhadap Intelektualitas

Barangkali, kita pernah membaca biografi seorang sosiolog, satrawan dan sejarawan sekaliber Pramoedya Ananta Toer. Bagi yang sadar, tentu akan terheya dengan perlakuan pemerintah ORBA terhadapnya. Dijerumuskan dalam penjara, buku-buku dibakar, tentu bukan merupakan pengalaman yang menyenangkan. Belum lagi tokoh-tokoh lain yang pernah dipasung represi pemerintah lantaran melakukan perlawanan melalui proses pencerdasan masyarakat.

Intelektualitas merupakan unsur progresif yang menentukan bagi kemajuan sebuah bangsa. Lantas, apa jadinya bila penghargaan terhadap intelektualitas sangat rendah dalam suatu negara? Bukankah hal yang demikian menunjukkan ketidakberpihakan negara terhadap masyarakatnya? Kalau memang demikian, agaknya tidak salah kata Bakhunin, seorang tokoh Anarkisme yang menyatakan bahwa negara adalah penindas legal yang harus dihancurkan.

Penghargaan negara terhadap intelektualitas yang sedemikian rendah, boleh jadi indikator keterpurukan pendidikan. Selama ini, pemerintah terlalu banyak menyuguhi masyarakat dengan permainan kekuasaan. Iming-iming legitimasi kekuasaan telah menciptakan pola kebudayaan semangat berkuasa-bukan dalam hanya pemerintah tentunya, melainkan juga masyarakat itu sendiri.

Di Kota Depok sendiri, penghargaan bagi prestasi pelajar sekadar dijadikan legitimasi formal-tepatnya menaikkan citra atau gengsi institusi. Sehingga, substansi prestasi pelajar sekadar dilihat dalam kacamata yang sangat parsial. Tidak heran, bila pelajar yang dianggap berprestasi adalah mereka yang unggul dalam akademik, jawara dalam berbagai event antarsekolah atau menjadi siswa teladan di antara siswa lainnya. Sementara mereka yang memiliki perhatian terhadap lingkungan sosial melalui berbagai organisasi sekolah kadang teralienasi dan kurang mendapat penghargaan dalam lingkungannya.

Tampaknya, realitas pendidikan memang terasa absurd. Di era orde baru, cukup banyak pelajar yang tiap tahunnya diundang presiden untuk mendapat penghargaan sebagai siswa berprestasi (versi Soeharto tentunya). Bandingkan dengan puluhan pelajar yang diberondong peluru di era 80-an lantaran menolak asas tunggal dan memertahankan asas islam dalam organisasinya (ingat kasus PII). Itu artinya, semangat need fo power juga merambah dalam dunia pendidikan, memertahankan legitimasi kekuasaan melalui pengotakan siswa, sektarianisme, dan semangat bersaing, bukan semangat berkesadaran sosial.

Untuk Bersekolah, Kita Harus Bayar Mahal

Realitas post Orba tampaknya menjadi titik tolak bagi redefenisi swastanisasi pendidikan. Reformasi ternyata tidak mampu memberikan formulasi yang sepadan dengan cita-citanya, terutama pendidikan. Tahun 2003 saja undang-undang pendidikan dipreteli dengan munculnya UU BHP yang tidak hanya diproyeksi untuk perguruan tinggi, tetapi juga pendidikan dasar, menengah, dan atas. Itu artinya, pemerintah mengabaikan amandemen UUD 1945 pasal 31 (bunyinya menekankan kewajiban pemerintah untuk menjamin hak pendidikan tiap warga neganya). Belum lagi anggaran pendidikan yang sebesar 20 % dari APBD dan APBN yang belum pernah terealisasi, justru akan ditenggelamkan dengan absurditas RUU BHP.

tampaknya orang miskin memang dilarang sekolah (minjam istilah mas Eko). Biaya pendidikan mahal, serta biaya lain dengan iming-iming jaminan kualitas. Pemerintah memang telah mengucurkan dana BOS, tapi tidak ada jaminan untuk pendidikan gratis. Bahkan, untuk rasionalisasinya pun membingungkan dengan mengucurkan langsung ke sekolah, bukan berupa kebijakan yang berpihak pada masyarakat. Pada akhirnya, tidak sedikit pelajar tiba-tiba putus sekolah, bahkan tidak sekolah sama sekali.

Sedemikian mahalnya biaya sekolah, tampaknya menyulut reaksi. Berbagai aktivitas pembelajaran muncul yang didirikan lembaga-lembaga independen atau pendampingan para aktivis gerakan mahasiswa di pelbagai daerah atau pinggiran kota. Lembaga tersebut menaut harapan yang diharapkan akan melahirkan aktivis jalanan kelak, aktivis yang lahir dari tempat kumuh untuk mewujudkan cita-cita kaum marginal. Bukankah orang miskin dan kaum tertindas adalah pewaris dunia? (Tuhan yang bilang dalam kitab suci).

Tradisi Feodal dalam Sekolah

Pernahkah kita diajak untuk mengkritisi kebijakan sekolah tentang pakaian seragam dan indikator kerapian? Pernahkah kita dibebaskan untuk tidak ikut upacara bendera? Bukankah upacara bendera hanya sebagian terkecil ritual kita dalam menunjukkan nasionalisme? Tidak sulit menjumpai siswa yang kejar-kejaran dengan gurunya setiap hari senin lantaran sang siswa tidak mau ikut upacara bendera setiap hari senin. Ataukah siswa yang terpaksa mendapat nilai jelek lantaran pernah berbeda pandangan dengan gurunya tentang suatu pokok bahasan mata pelajaran. Ini hanya sebagian kecil dari kultur sekolah yang harus diikuti siswa sekolahan.

Rasanya lumrah menjumpai kultur sekolah ala kerajaan. Selain pretensi guru dan pihak sekolah terhadap peserta didik, juga cukup banyak kultur senioritas dalam lingkungan sekolah. Pernahkah kita merasakan superioritas senior dalam tradisi masa orientasi siswa? Atau kita sendirilah yang pernah melakukan hal yang serupa lantaran kultur yang telah mendarah daging? Kungkungan kultur tersebut kadang membuat kita lupa sebagai insan akademis, sekadar gagah-gagahan dalam sekolah yang berujung pada minimnya progresifitas maupun kreatifitas.

Meminjam istilah Michel Faucault, sorang tokoh Postmodernis, tentang representasi kultural yang memungkinkan terbentuknya kultur turun-temurun sebagai efek stereotipe kultural, barangkali juga merupakan alasan bagi terbentuknya kultur feodalisme dalam sekolah. Kultur primitif dari era lalu diturunkan dari generasi ke generasi, sehingga ada keenggangan untuk mengubah kebiasaan yang telah ada dengan alasan ”kultur”. Cara pandang ini memungkinkan superioritas senior tetap langgeng walau tidak koheren dengan zaman.

Life Style dan Kultur Anak Sekolah

Jika ditanya, kapan ABG (anak baru gede) terlihat cantik dan menarik? Mungkin sebagian besar dari kita akan menjawab, saat ABG itu berpakaian sekolah. Tidak aneh. Barangkali karena pakaian sekolah memiliki kekuatan magnetik. Ketika kita memandang demikian, tanpa sadar kita telah mendorong peluang kompetisi bagi anak sekolah untuk mempercantik diri.

Ada yang menarik saat membincang tentang kultur hedon siswa. Sangat sering tayangan TV dengan leluasa menayangkan produk-produk kecantikan atapun top mode pakaian siswa perkotaan. Sebenarnya representasi itulah yang menyulut siswa di berbagai daerah serempak meniru mode yang sama, tentunya juga dengan alasan yang sama, trend. Sebagai titik tolak, tayangan TV adalah ruang kultural yang paling dominan untuk memengaruhi gaya berpakaian siswa. Pada persoalan ini, representasi kultural media TV mampu menyihir audiencenya untuk mengikuti produk yang ditawarkan. Fese tersebut, memungkinkan siswa sebagai konsumen menelan mentah-mentah ajaran baru yang ditayangkan TV (bukankah waktu menonton TV jauh lebih banyak dibanding belajar dalam kelas?).

Kontemplasi

Begitu banyak teori maupun konsepsi yang membincang tentang cita-cita pendidikan ideal. Katanya pendidikan itu membebaskan. Pendidikan itu alat perlawanan. Pendidikan itu harus memanusiakan manusia, bukan merendahkan martabat manusia. Akan tetapi, konsepsi tersebut sekadar datang tiba-tiba, juga pergi tiba-tiba. Pabrik robot tetap beroperasi dengan leluasa. Bahkan, perlahan memperlebar hegemoninya melalui legitimasi yang lebih kuat, sulit dibendung. Lantas sekarang, apa yang akan kita lakukan? Kata Gie, kalau kita hanya menunggu, kita tidak akan pernah tahu kesempatan apa yang kita miliki dalam hidup ini.

”Negara adalah penindas legal yang harus dihancurkan”(Bakhunin)

”Negara adalah penindas legal yang harus dihancurkan”(Bakhunin).... jadi solusinya gmn bung admin???????
hamba tuhan
hamba tuhan
MUSLIM
MUSLIM

Male
Number of posts : 9932
Age : 23
Location : Aceh
Humor : Obrolan Santai dengan Om Yesus
Reputation : -206
Points : 15862
Registration date : 2010-09-20

Back to top Go down

MANUSIA ROBOT Empty Re: MANUSIA ROBOT

Post by agus Mon 16 May 2011, 10:27 pm

kayaknya selebaran si admin tuh buat saibaba, bukan buat kita-kita bro... Laughing Laughing Laughing
agus
agus
SILVER MEMBERS
SILVER MEMBERS

Male
Number of posts : 8588
Location : Everywhere but no where
Job/hobbies : Baca-baca
Humor : Shaggy yang malang
Reputation : 45
Points : 14623
Registration date : 2010-04-16

Back to top Go down

MANUSIA ROBOT Empty Re: MANUSIA ROBOT

Post by hamba tuhan Mon 16 May 2011, 10:31 pm

agus wrote:kayaknya selebaran si admin tuh buat saibaba, bukan buat kita-kita bro... Laughing Laughing Laughing

baba lg dirawat didaerah grogol bro....

MANUSIA ROBOT 581260
hamba tuhan
hamba tuhan
MUSLIM
MUSLIM

Male
Number of posts : 9932
Age : 23
Location : Aceh
Humor : Obrolan Santai dengan Om Yesus
Reputation : -206
Points : 15862
Registration date : 2010-09-20

Back to top Go down

MANUSIA ROBOT Empty Re: MANUSIA ROBOT

Post by agus Mon 16 May 2011, 10:33 pm

hamba tuhan wrote:
agus wrote:kayaknya selebaran si admin tuh buat saibaba, bukan buat kita-kita bro... Laughing Laughing Laughing

baba lg dirawat didaerah grogol bro....

MANUSIA ROBOT 581260

emang kenapa bro, akibat berpikir tanpa batas ya ? alias berpikir nggak karuan.... MANUSIA ROBOT 994211 MANUSIA ROBOT 994211 MANUSIA ROBOT 994211
agus
agus
SILVER MEMBERS
SILVER MEMBERS

Male
Number of posts : 8588
Location : Everywhere but no where
Job/hobbies : Baca-baca
Humor : Shaggy yang malang
Reputation : 45
Points : 14623
Registration date : 2010-04-16

Back to top Go down

MANUSIA ROBOT Empty Re: MANUSIA ROBOT

Post by Sponsored content


Sponsored content


Back to top Go down

Back to top

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum