MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME

Join the forum, it's quick and easy

MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME
MURTADIN_KAFIRUN
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Latest topics
» Yeremia 23 & Ulangan 13 mengisyaratkan Muhammad nabi palsu
Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal EmptyFri 02 Feb 2024, 5:21 pm by buncis hitam

» kenapa muhammad suka makan babi????
Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal EmptyWed 31 Jan 2024, 1:04 am by naufal

» NYATA & FAKTA : TERNYATA YESUS PILIH MENGAULI KELEDAI DARIPADA WANITA!!! (sebuah penghinaan OLEH PAULUS)
Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal EmptyFri 12 Jan 2024, 9:39 pm by Uwizuya

» SORGA ISLAM RUMAH PELACUR ALLOH SWT...........
Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal EmptyTue 02 Jan 2024, 12:48 am by Pajar

» Moon Split or Islamic Hoax?
Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal EmptyWed 13 Dec 2023, 3:34 pm by admin

» In Islam a Woman Must be Submissive and Serve her Husband
Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal EmptyWed 13 Dec 2023, 3:32 pm by admin

» Who Taught Allah Math?
Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal EmptyWed 13 Dec 2023, 3:31 pm by admin

» BISNIS GEREJA YUUUKZ....LUMAYAN LOH UNTUNGNYA....
Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal EmptyWed 05 Jul 2023, 1:57 pm by buncis hitam

» ISLAM: Palsu, Maut, Tak Akan Tobat, Amburadul
Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal EmptySun 07 May 2023, 9:50 am by MANTAN KADRUN

Gallery


Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal Empty
MILIS MURTADIN_KAFIRUN
MURTADIN KAFIRUNexMUSLIM INDONESIA BERJAYA12 Oktober Hari Murtad Dari Islam Sedunia

Kami tidak memfitnah, tetapi menyatakan fakta kebenaran yang selama ini selalu ditutupi oleh muslim untuk menyembunyikan kebejatan nabinya

Menyongsong Punahnya Islam

Wadah syiar Islam terlengkap & terpercaya, mari sebarkan selebaran artikel yang sesungguhnya tentang si Pelacur Alloh Swt dan Muhammad bin Abdullah yang MAHA TERKUTUK itu ke dunia nyata!!!!
 

Kebrutalan dan keberingasan muslim di seantero dunia adalah bukti bahwa Islam agama setan (AJARAN JAHAT,BUAS,BIADAB,CABUL,DUSTA).  Tuhan (KEBENARAN) tidak perlu dibela, tetapi setan (KEJAHATAN) perlu mendapat pembelaan manusia agar dustanya terus bertahan

Subscribe to MURTADIN_KAFIRUN

Powered by us.groups.yahoo.com

Who is online?
In total there are 69 users online :: 0 Registered, 0 Hidden and 69 Guests :: 2 Bots

None

[ View the whole list ]


Most users ever online was 354 on Wed 26 May 2010, 4:49 pm
RSS feeds


Yahoo! 
MSN 
AOL 
Netvibes 
Bloglines 


Social bookmarking

Social bookmarking reddit      

Bookmark and share the address of MURTADINKAFIRUN on your social bookmarking website

Bookmark and share the address of MURTADIN_KAFIRUN on your social bookmarking website


Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal

Go down

Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal Empty Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal

Post by admin Sun 06 Sep 2009, 10:28 am

Kemunculan Orde Baru dan

Pembunuhan Massal
(bahan renungan ke-2 untuk memperingati 44 tahun 30 September 1965)


Makalah sejarawan muda Bonnie Triyana mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan peristiwa 30 September ­ ­1965 yang disajikan di bawah ini adalah menarik sekali untuk dibaca kembali dan direnungkan bersama-sama. Makalah yang dibuat dalam tahun 2002 ini, dengan baik sekali dan secara pokok-pokok, mengingatkan kita semua tentang kejadian-kejadian penting sekitar peristiwa berdarah dan tragedi yang mengerikan yang dibikin oleh kontrev (kontra revolusi) Suharto beserta segala macam pendukung atau simpatisannya.
Walaupun makalah ini dibuat untuk disajikan dalam pertemuan Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies (ACICIS) di Yogyakarta 17 Oktober 2002. namun inti isinya masih tetap relevan untuk dicengkam sampai sekarang ini. Sebab, banyak keluarga para korban peristiwa 65 yang sampai sekarang masih tetap menderita berkepanjangan, akibat berbagai politik yang tidak berperikemanuiaan yang dilakukan oleh rejim militer Suharto dan pemerintahan-pemerintahan yang menggantikannya.

Di samping masalah penderitaan keluarga korban juga diangkat dalam makalah ini banyaknya tindakan sewenang-wenang dan biadab oleh golongan militer dalam melakukan pembunuhan massal dan penangkapan terhadap orang-orang yang dianggap anggota PKI atau simpatisan PKI. Antara lain yang terjadi di daerah Purwodadi (Jawa Tengah).

Dengan membaca makalah ini, maka kita semua mendapat gambaran sekadarnya betapa besar kejahatan dan dosa-dosa Suharto beserta pendukung-pendukungnya, yang tidak boleh dilupakan oleh rakyat Indonesia beserta anak-cucu kita semua.

A. Umar Said


= = = = =


Konspirasi dan Genosida:

Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal

Oleh : BONNIE TRIYANA


Pada hari kamis malam tanggal 30 September 1965, sekelompok pasukan yang terdiri dari berbagai kesatuan Angkatan Darat bergerak menuju kediaman 7 perwira tinggi Angkatan Darat. Hanya satu tujuan mereka, membawa ketujuh orang jenderal tersebut hidup atau mati ke hadapan Presiden Soekarno. Pada kenyataannya, mereka yang diculik tak pernah dihadapkan kepada Soekarno. Dalam aksinya, gerakan itu hanya berhasil menculik 6 jenderal saja. Keenam jenderal tersebut ialah Letjen. Ahmad Yani, Mayjen. Suprapto, Mayjen. S.Parman, Mayjen. Haryono M.T., Brigjen. D.I Pandjaitan, Brigjen. Sutojo Siswomihardjo dan Lettu. Piere Tendean ajudan Jenderal Nasution. Nasution sendiri berhasil meloloskan diri dengan melompat ke rumah Duta Besar Irak yang terletak persis disebelah kediamannya.

Di pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, sebuah susunan Dewan Revolusi diumumkan melalui corong Radio Republik Indonesia (RRI). Pengumuman itu memuat pernyataan bahwa sebuah gerakan yang terdiri dari pasukan bawahan Angkatan Darat telah menyelamatkan Presiden Soekarno dari aksi coup d¡¦ etat. Menurut mereka, coup d¡¦ etat ini sejatinya akan dilancarkan oleh Dewan Jenderal dan CIA pada tanggal 5 Oktober 1965, bertepatan dengan hari ulang tahun ABRI yang ke-20.

Empat hari kemudian, jenazah keenam jenderal dan satu orang letnan itu diketemukan di sebuah sebuah sumur yang kemudian dikenal sebagai Lubang Buaya. Di sela-sela acara penggalian korban, Soeharto memberikan pernyataan bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh aktivis PKI didukung oleh Angkatan Udara.

Sehari setelah penemuan jenazah, koran-koran afiliasi Angkatan Darat mengekspose foto-foto jenazah tersebut. Mereka mengabarkan bahwa para jenderal tersebut mengalami siksaan di luar prikemanusiaan sebelum diakhiri hidupnya.3 Pemakaman korban dilakukan secara besar-besaran pada tanggal 5 Oktober 1965. Nasution memberikan pidato bernada emosional, ia sendiri kehilangan seorang putrinya, Ade Irma Nasution. Upacara pemakaman itu berlangsung tanpa dihadiri Soekarno. Ketidakhadirannya itu menimbulkan beragam penafsiran.4

Pemuatan foto-foto jenazah korban dan berita penyiksaan yang dilakukan memberikan sumbangan besar terhadap lahirnya histeria massa anti PKI. Di sana-sini orang-orang tak habis-habisnya membicarakan penyiksaan yang dilakukan oleh Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Perempuan-perempuan Gerwani itu diisukan mencukil mata jenderal dan memotong kemaluannya.5

Segera setelah media massa Ibukota yang berafiliasi dengan Angkatan Darat melansir berita tersebut selama berhari-hari, dimulailah suatu pengganyangan besar-besaran pada PKI. Di Jakarta, Kantor pusat PKI yang belum selesai dibangun diluluhlantakkan. Beberapa orang pemimpin PKI ditangkap. Tak hanya sampai di situ, anggota PKI pun mengalami sasaran.

Secara de facto, sejak tanggal 1 Oktober 1965, Soeharto merupakan pemegang kekuasaan. Soekarno sendiri secara bertahap digeser dari percaturan politik, lebih dalam lagi ia layaknya seorang kapten dalam sebuah team sepak bola yang tak pernah menerima bola untuk digiring.

Strategi dan taktik Soeharto dalam melakukan kontra aksi Gestapu 1965 sangat efektif dan mematikan6. Dalam waktu satu hari ia berhasil membuat gerakan perwira-perwira “maju” itu kocar-kacir.

Sehari setelah menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Soeharto mengeluarkan surat perintah bernomor 1/3/1966 yang memuat tentang pembubaran serta pelarangan PKI dan organisasi onderbouwnya di Indonesia. Inilah coup d’etat sesungguhnya. Bersamaan ini, dimulai drama malapetaka kemanusiaan di Indonesia.
admin
admin
ADMINISTRATOR
ADMINISTRATOR

Male
Number of posts : 1234
Age : 22
Reputation : -4
Points : 7988
Registration date : 2008-12-18

http://groups.yahoo.com/group/MURTADIN_KAFIRUN/

Back to top Go down

Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal Empty Re: Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal

Post by admin Sun 06 Sep 2009, 10:29 am

Ganjang Komunis!: Pembunuhan Massal serta Penangkapan
Anggota dan Simpatisan PKI di Daerah.


Di daerah-daerah, kampanye pengganyangan PKI diwujudkan dengan tindakan penculikan dan pembunuhan secara massal terhadap anggota dan simpatisan PKI. Semua anggota organisasi massa yang disinyalir memiliki hubungan dengan PKI pun tak luput mengalami hal serupa.

Pembantaian dilakukan kadang-kadang oleh tentara, kadang-kadang oleh sipil, orang-orang Islam atau lainnya.7 Di sini, tentara merupakan pendukung utama. Masyarakat merupakan unsur korban propangadis Angkatan Darat yang secara nyata memiliki konflik dengan PKI. Di beberapa tempat memang terjadi konflik antara PKI dan kelompok lain di kalangan masyarakat. Di Klaten misalnya, aksi pembantaian massal menjadi ajang balas dendam musuh-musuh PKI yang berkali-kali melakukan aksi sepihak penyerobotan lahan-lahan milik tuan tanah di sana. Aksi sepihak ini berakibat bagi kemunculan benih-benih konflik di masyarakat. Pasca Gestapu 1965, PKI menjadi sasaran utama kebencian yang terpendam sekian lama.8

Apa yang terjadi di Klaten tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Jombang dan Kediri. Namun kedua daerah ini memiliki sejarah konflik yang sangat kronis. Kaum komunis menuduh umat Islam telah mengobarkan “Jihad” untuk membunuh orang komunis dan mempertahankan tanah miliknya atas nama Allah, sedangkan umat Muslim menuduh PKI dan Barisan Tani Indonesia (BTI) melakukan penghinaan terhadap agama Islam.9 Saling tuduh ini merupakan manifestasi konflik kepentingan di antara dua kelompok.

Bagi PKI, tanah merupakan komoditi politik-ekonomi yang dapat dijadikan alasan untuk menyerang kaum Muslim sebagai penguasa tanah mayoritas. Sedangkan kaum Muslim menggunakan isu ideologis atheis terhadap PKI untuk menyerang balik. Dua hal ini memang berujung pada kepentingan ekonomis. Namun, dengan keyakinannya masing-masing, kedua kelompok ini berhasil membangun sebuah opini yang mengarahkan pengikutnya pada titik temu konflik berkepanjangan. Keduanya sama-sama ngotot.

Berbeda dengan di Jombang, Kediri dan Klaten, di Purwodadi, pembunuhan massal lebih tepat dikatakan sebagai bagian dari genosida yang dilakukan oleh militer terhadap massa PKI. Di daerah lain yang menjadi ladang pembantaian, tentara hanya bermain sebagai sponsor di belakang kelompok agama dan sipil. Sementara di Purwodadi, tentara memegang peranan aktif dalam pembunuhan massal.

Purwodadi ialah sebuah kota kecil yang terletak 60 Km di sebelah Tenggara Semarang. Purwodadi ialah ibukota Kabupaten Grobogan. Daerah ini merupakan salah satu basis komunis terbesar di Jawa Tengah. Amir Syarifudin, tokoh komunis yang terlibat dalam Madiun Affairs tahun 1948, pun tertangkap di daerah ini.

Kasus Purwodadi sempat mencuat ketika pada tahun 1969, H.J.C Princen, seorang aktivis kemanusiaan, berkunjung ke Purwodadi. Dengan disertai Henk Kolb dari Harian Haagsche Courant dan E. Van Caspel10, Princen meninjau secara langsung keabsahan berita pembunuhan massal yang didengarnya dari seorang pastor. Adalah Romo Wignyosumarto yang kali pertama menyampaikan adanya pembunuhan besar-besaran ini. Romo Sumarto melaporkan berita tersebut pada Princen setelah ia mendengarkan pengakuan dari seorang anggota Pertahanan Rakyat (Hanra) yang turut dalam pembunuhan massal.11

Digunakannya unsur Hanra dalam pembunuhan massal sangat dimungkinkan karena lebih mudah diorganisir dan dikendalikan secara langsung oleh tentara setempat. tak terjadinya konflik horizotal di Purwodadi menyebabkan militer harus turun tangan langsung untuk melakukan pembunuhan massal. Di Jombang, Kediri dan Klaten, tentara hanya mensuplai senjata bagi kelompok-kelompok sipil. Selanjutnya mereka hanya memberikan dukungan-dukungan baik dalam penangkapan maupun dalam hal penahanan Anggota dan Simpatisan PKI.

Pembunuhan dan penangkapan Anggota dan Simpatisan PKI di Purwodadi dibagi kedalam dua periode. Pertama, ialah penangkapan dan pembunuhan yang dilakukan tahun 1965. pada peristiwa ini ukuran penangkapan ialah jelas, artinya militer hanya menangkap mereka yang memiliki indikasi anggota PKI aktif beserta anggota-anggota organisasi onderbouw PKI.

Penangkapan periode pertama lebih memperlihatkan bagaimana militer melakukan strategi penghancuran secara sistemik terhadap PKI. Organisasi yang memiliki hubungan dengan PKI atau apapun itu sepanjang berbau komunis dapat dipastikan ditangkap. Ini memang cara yang paling efektif kendati jumlah korban tentu sangat banyak.

Dengan cara ini penguasa Orde Baru dapat meminimalisir ancaman komunisme. Perang terhadap penganut Marxisme ini memang lebih rumit dari sekedar anti-komunisme.12 Dari sudut pandang manapun terlihat jelas jika Orde Baru berusaha membangun sebuah konstruk kekuasaan tanpa aroma komunisme sedikitpun.

Kedua, penangkapan dan pembunuhan massal yang dilakukan pada tahun 1968. Pada periode ini, ukuran penangkapan sangat tidak jelas, serba semrawut dan serba asal-asalan. Hanya karena menjadi anggota Partai Nasional Indonesia - faksi Ali Sastroamidjojo- Surachman ¡- militer sudah dapat menangkapnya. Penangkapan ini dikenal sebagai penangkapan terhadap Soekarno - Sentris atau dikenal sebagai SS.13

Operasi penangkapan pada tahun 1968 ini dilakukan di bawah Komandan Komando Distrik (Kodim) 0717 Purwodadi dengan dibantu Batalyon 404 dan 409. Operasi ini diberi nama Operasi Kikis. Melalui operasi inilah seluruh anasir-anasir kekuatan komunis dan Orde Lama (SS) ditangkap.

Tak jelas apa motivasi penangkapan terhadap orang-orang SS ini. Namun ini dapat dipahami sebagai usaha untuk mengkikis kekuatan Orde Lama. Di pusat kekuasaan, Soeharto sedang berusaha untuk mengukuhkan kekuasaanya. Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 1971, kekuatan anti Orde Baru tentu menjadi penghalang bagi kekuasaanya.

Pada perkembangan selanjutnya, orang-orang yang dianggap komunis ini didesain sebagai massa mengambang atau Floating Mass. Mereka tak dibiarkan memasuki sebuah organisasi politik tertentu selama kurun waktu lima tahun menjelang Pemilihan Umum (Pemilu),14 namun suara mereka dapat dipastikan disalurkan melalui Golongan Karya (Golkar). Konsep massa mengambang sendiri ialah sebuah konsep yang diajukan oleh Mayjen Widodo, Panglima Kodam VII/Diponegoro Jawa Tengah. Lalu konsep ini dikembangkan oleh pemikir dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), sebuah lembaga think- tanks Orde Baru yang berdiri pada tahun 1971 atas sponsor Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani, dua orang jenderal yang memiliki hubungan spesial dengan Soeharto.15

Tak berlebihan jika kasus di Purwodadi dapat dikategorikan ke dalam tindakan Genosida. Genocide menurut Helen Fein16 adalah suatu strategi berupa pembunuhan, bukan semata-mata karena benci atau dendam, terhadap sekelompok orang yang bersifat ras, suku, dan politik untuk meniadakan ancaman dari kelompok itu terhadap Keabsahan Kekuasaan para pembunuh.

Penangkapan dan pembunuhan massal pada tahun 1968 ini banyak menimbulkan korban. Banyak mereka yang tak mengetahui apapun tentang politik ditangkap bahkan dibunuh. Contohnya seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Sp.:

Ӥsaya hanya pemain sandiwara Ketoprak pedesaan. Namun, saya ditangkap karena saya dianggap memiliki hubungan dengan Lekra. Oleh karena itu saya sempat mendekam di Penjara Nusa Kambangan selama 3 tahun. Di sebuah Kamp di Pati, saya dipaksa untuk mengakui bahwa saya anggota PKI.17

Ini membuktikan ekses negatif pada sebuah operasi militer. Hal serupa pernah diungkapkan oleh Ali Murtopo, ia mengatakan jatuhnya korban pembunuhan massal di Purwodadi ialah sebuah konsekuensi dalam sebuah operasi militer.18

Operasi militer merupakan salah satu usaha yang digunakan tentara Indonesia dalam mengontrol, memperkukuh dan memberikan sebuah ukuran kesetiaan bagi pemerintah pusat. Operasi ini kerap dilakukan dalam rangka menumpas gerakan perlawanan daerah terhadap pusat. Penguasa Pusat (Baca: Jakarta) memposisikan sebagai kosmis kekuasaan Raja sementara daerah ditempatkan sebagai Kawula. Hal ini merupakan hasil dari interdependensi antara kekayaan dan politik dalam masyarakat tradisional.19 Jelas sebuah operasi militer memiliki arti strategis dalam menjaga kekuasaan pusat atas kekayaan daerahnya.

Kebijakan operasi militer di Purwodadi tidak terlepas dari peranan komandan Kodim 0717 sendiri sebagai penguasa militer setempat. Letkol. Tedjo Suwarno, Komandan Kodim dikenal sebagai orang yang keras dan berambisi20. Atas perintahnyalah ratusan orang ditangkap selama tahun 1968.

Seorang saksi bernama Bapak Wt bercerita perihal penangkapan besar-besaran pada tahun 1968. Tahanan itu ditempatkan di sebuah Kamp di Kuwu, desa kecil yang terletak 25 Km di Selatan Purwodadi:

”Saya ditempatkan di sebuah kamp di Kuwu. Setiap sore datang sekitar dua ratus orang tahanan. Namun, di pagi hari, dua ratus orang itu telah dibawa oleh aparat. Yang tersisa hanya saya dan dua teman saya¨21

Di kemudian hari ia mendengar kabar bahwa ratusan orang itu di bunuh di daerah Monggot atau di daerah lainnya di sekitar Kabupaten Grobongan. Bagi mereka yang kaya dan memiliki hubungan khusus dengan para perwira militer, sogok atau suap kerapkali terjadi demi menyelamatkan suami, anak atau sanak saudaranya yang ditahan militer Purwodadi.

Tak heran jika pada waktu itu banyak perwira-perwira yang menumpuk kekayaan hasil dari uang sogok kerabat tahanan tahanan. Di waktu selanjutnya sudah menjadi kebiasaan jika seorang penguasa militer merupakan pelindung yang ampuh untuk apapun. Seorang pengusaha misalnya, ia dapat bebas berdagang di sebuah daerah dengan meminta backing pada penguasa militer setempat22. bukan isapan jempol jika penguasa militer di daerah memiliki pengaruh besar.

Figur kepemimpinan militer di daerah seperti halnya di Purwodadi memang memiliki pengaruh yang cukup kuat. Di masa Orde Baru, sudah menjadi kebiasaan jika seorang Komandan Kodim (Dandim) diangkat menjadi Bupati. Ini dilakukan atas pertimbangan keamanan dan realisasi dari Dwi Fungsi ABRI.

Fenomena tersebut dikenal sebagai konsep kekaryaan ABRI. Konsep ini diperuntukkan bagi perwira militer yang karirnya mentok atau tak lagi memiliki kesempatan menapaki jenjang karir yang lebih tinggi. Para perwira ini biasanya diplot menjadi kepala daerah baik di tingkat I atau II. Orde Baru menciptakan kategori daerah-daerah tertentu bagi penempatan perwira-perwira mentok ini.23

Pada masa Orde Baru, Penguasa militer di daerah, dari Tk I hingga II atau bahkan tingkat Komando Rayon Militer (Koramil) berusaha dengan keras menciptakan suasana aman dan stabil. Maka ukuran kestabilan keamanan pasca Gestapu 1965 ialah dengan mencegah timbulnya kembali kekuatan komunisme di Indonesia.24

Ada kesan dengan menahan sebanyak-banyaknya massa PKI merupakan prestasi tersendiri. Dengan cara ini kondisi sosial-politik setempat dinyatakan stabil dan terkendali. Pemerintah Orde Baru menganggap komunisme ialah musuh yang paling utama dalam pembangunan. Selama hampir 32 tahun, bahaya laten komunis didengung-dengungkan sebagai sebuah momok yang menakutkan. Ini ditunjukan dengan cara memutar film Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G.30.S/PKI yang disutradarai oleh Arifin C. Noor setiap tahunnya.

Kekhawatiran yang teramat sangat pada komunis (komunisto phobia) memang terlihat begitu jelas inheren pada masa Orde Baru. tak hanya itu, pemerintah Orde Baru tak segan-segan melemparkan stigma PKI pada organisasi-organisasi yang berlawanan dengan kebijakannya. Kasus 27 Juli 1996 memperlihatkan secara jelas usaha Orde Baru dalam membangkitkan ketakutan masyarakat akan komunisme.25

Penahanan ribuan anggota dan simpatisan PKI selama kurun waktu 1965 - 1980-an (dalam beberapa kasus bahkan hingga masa reformasi tiba) juga bagian dari usaha Orde Baru mencegah penularan komunisme pada masyarakat. Tahanan politik ini dibuang di Pulau Buru, Nusa Kambangan dan penjara-penjara di tiap daerah. Tak ada itikad dari Orde Baru untuk melepaskannya. Segera setelah mendapatkan tekanan internasional, khususnya Amnesti Internasional, pemerintah Orde Baru melepaskan beberapa tahanan politik dengan klasifikasi A, B dan C.26

Pemerintah memiliki berbagai dalil dalam aksi penahanan besar-besaran terhadap anggota dan simpatisan PKI. Pada tahun 1975, Pangkopkamtib Laksamana Sudomo mengatakan bahwa pelepasan tahanan politik di saat itu merupakan ancaman bagi kestabilan nasional.27

Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Sudomo, Letkol. Tedjo Suwarno di dalam sebuah kunjungan wartawan Ibu Kota ke Kamp-kamp di Purwodadi mengatakan bahwa bila mereka dikembalikan ke masyarakat akan menimbulkan problem tersendiri dan masyarakat akan berontak.28 Di pihak lain, Bapak S mengatakan bahwa setelah penangkapan atas dirinya, keluarganya mengalami penderitaan. Ia sebagai kepala keluarga tak lagi dapat menghidupi istri dan anak-anaknya.29 Istrinya terpaksa berjualan nasi di depan Stasiun Purwodadi untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan mengirim makanan sekedarnya pada Bapak S. yang saat itu di dalam Kamp di Purwodadi.

Penahanan atas anggota dan simpatisan PKI tidak saja menyisakan trauma mendalam bagi mereka namun keluarganya juga harus menghadapi kenyataan hidup yang serba kekurangan. Di Purwodadi banyak keluarga yang hidup dalam kesederhanaan akibat penahanan dan pembunuhan terhadap anggota keluarganya yang dituduh anggota maupun simpatisan PKI. Bahkan di sebuah desa di Purwodadi, dikenal sebagai “kampung janda” karena suami-suami mereka diciduk oleh militer.

Hingga kini tak dapat dipastikan secara pasti berapa jumlah korban yang meninggal dalam peristiwa pembunuhan massal di Purwodadi dalam kurun waktu tahun 1965-1968. H.J.C Princen mengatakan bahwa korban tewas ada sekitar 850 - 1000 orang. Sementara itu menurut perhitungan Maskun Iskandar, seorang wartawan harian Indonesia Raya, korban berkisar 6.000 jiwa.

Berapapun jumlahnya, satu nyawa manusia yang hilang merupakan dosa yang tak terampuni. Maka penegakan hukum ialah jawabannya untuk menghindari perulangan peristiwa serupa.
admin
admin
ADMINISTRATOR
ADMINISTRATOR

Male
Number of posts : 1234
Age : 22
Reputation : -4
Points : 7988
Registration date : 2008-12-18

http://groups.yahoo.com/group/MURTADIN_KAFIRUN/

Back to top Go down

Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal Empty Re: Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal

Post by admin Sun 06 Sep 2009, 10:29 am

Litsus dan Label KTP: Kontrol atas Mantan Tahanan Politik

Penderitaan tidak berakhir begitu saja. Setelah para tahanan politik pulang dari pembuangan di pulau Buru, Nusa Kambangan atau penjara lainnya, aparat militer masih saja melakukan pengawasan pada diri mereka dan keluarganya. Bapak Rk, seorang tahanan politik jebolan Pulau Buru menceritakan bagaimana dirinya diintimidasi oleh aparat setelah pulang dari Pulau Buru pada tahun 1979.

”Sepulangnya dari Pulau Buru, saya membuka praktek sebagai mantri. Obat-obatan yang saya bawa dari Pulau Buru saya gunakan untuk mengobati masyarakat yang membutuhkan. Namun karena hal tersebut, Koramil mendatangi saya dan memanggil saya untuk diinterogasi”¨31

Pengawasan yang extra ketat ini memang diberlakukan bagi mantan tahanan politik. Salah satu cara untuk memantau gerak gerik mereka pemerintah Orde Baru menetapkan untuk memberi tanda khusus Ex Tapol (ET) dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) para mantan tahanan politik.

Tindakan lainnya, selama Orde Baru, keluarga mantan tahanan politik tidak diperkenankan memasuki dunia politik atau menjadi pegawai negeri. Untuk yang satu ini pemerintah menetapkan Penelitian Khusus (Litsus) kepada calon pegawai negeri.

Seorang mantan tahanan politik pernah mengatakan sebuah lelucon bahwa label ET dalam KTP-nya bukan berarti Ex-Tapol tapi tidak lain adalah “elek terus” (Indonesia: Jelek Terus).

Menyitir apa yang pernah dikatakan oleh Ben Anderson bahwa kekuasaan Orde Baru dibangun diatas tumpukan mayat. Namun sejarah membuktikan bahwa atas nama apapun, sebuah orde yang dibangun di atas penderitaan rakyatnya pasti akan tumbang dengan sendirinya.*

„Makalah ini dibuat dalam rangka diskusi yang diselenggarakan Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies (ACICIS) di Yogyakarta 17 Oktober 2002.

(Diambil dari www.apakabar.ws/forums/viewtopic.php?f=1&t )

* * *
admin
admin
ADMINISTRATOR
ADMINISTRATOR

Male
Number of posts : 1234
Age : 22
Reputation : -4
Points : 7988
Registration date : 2008-12-18

http://groups.yahoo.com/group/MURTADIN_KAFIRUN/

Back to top Go down

Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal Empty Re: Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal

Post by admin Sun 06 Sep 2009, 10:31 am

from Umar Said included below

Bahan renungan ini juga disajikan di website

Perjuangan korban 30 September 1965
di Indonesia dan di pengasingan

(bahan renungan ke-1 untuk memperingati 44 tahun 30
September 1965)


Dalam rangka memperingati 44 tahun 30 September 1965, berikut di bawah ini
disajikan bahan dari YPKP 1965/1966 (Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan)
yang secara ringkas mengutarakan masalah korban peristiwa 30 September 1965,
baik yang di Indonesia maupun di pengasingan (luar negeri), sebagai bahan
renungan bersama. Dari bahan ini nyatalah bahwa sebagian besar para korban
tidak tinggal diam. Juga yang di luar negeri, atau di pengasingan. Sehari
setelah terjadinya 30 September 1965, tragedi yang mengerikan itu, berbagai
orang di antara mereka berusaha berbuat sesuatu di pengasingan, antara lain
seperti yang diungkap secara ringkas dalam pertemuan « Silaturahmi Korban
1965 Nasional dan Internasional (Eksil) ». Berbagai orang di antara mereka
itu masih melakukannya sampai saat ini, untuk memperingati sejarah berdarah
tersebut . Bahan berikut di bawah ini ini merupakan inti dari isi
pembicaraan dalam pertemuan yang diadakan di Jakarta 21 Juli 2008 itu,
dimana hadir sebagai narasumber :

* Bedjo Untung (Ketua YPKP 1965/1966): berbicara tentang kondisi para korban
1965/1966 karena perampasan hak-hak sosial, ekonomi, dan politik; pengalaman
perjuangan para korban 1965/1966 dan agenda-agenda perjuangan yang telah
dilakukan, serta harapan perjuangan ke depan.

* Arif Harsana (Moderator Temu Eropa, korban 1965 eksil, tinggal di Jerman):
berbicara tentang para korban 1965/1966 eksil karena perampasan hak-hak
sosial, ekonomi, dan politik; pengalaman perjuangan para korban 1965/1966 di
luar negeri dan agenda-agenda perjuangan yang telah dilakukan, serta harapan
perjuangan ke depan
.
* Harsutedjo (pada 1965 pernah aktif di Himpunan Sarjana Indonesia dan
pernah ditahan, sejarawan yang mendalami peristiwa 1965): berbicara tentang
fakta-fakta dan analisis sejarah peristiwa 1965, dimulai dari pra kondisi
(ekonomi, politik) tahun 1965, 30 September 1965, dan setelahnya; dan
masukan atau harapan perjuangan korban 1965 ke depan.

* Nurcholis (Ketua Tim Penyelidik Peristiwa 1965/1966 Komnas HAM): berbicara
tentang kinerja Tim Penyelidik Peristiwa 1965/1966 Komnas HAM.

Bahan ini juga mengungkap bahwa setelah terjadinya tragedi yang mengerikan
itu terbukti di pengasingan berbagai hal yang penting telah terjadi, untuk
menghadapi akibat 30 September 1965 yang ditimbulkan oleh kontra revolusi
yang dilakukan Suharto dan konco-konconya.

Silakan para peminat peristiwa 30 September 1965 menyimaknya.

A. Umar Said


= = = = = = =



Kerangka Acuan untuk pertemuan
para korban 30 September 1965

Pengungkapan kasus tragedi kemanusiaan dan politik 1965 merupakan pembuka
kotak pandora
tabir kelam sisi lain dari kasus itu. Upaya ini sudah mulai dimotori oleh
Gus Dur sebagai Presiden Indonesia yang pada tahun 2000 mewacanakan mencabut
Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang larangan keberadaan
Marxisme-Leninisme di awal masa reformasi. Dukungan Gus Dur ini membawa
angin segar bagi para korban 1965.

Bagaimana tidak, penderitaan sekian puluh tahun dirasakan begitu berat bagi
para korban. Setelah peristiwa 30 September dan 1 Oktober 1965 terjadi,
penangkapan sewenang-wenang, penculikan, tindak kekerasan, bahkan pembunuhan
terhadap jutaan orang pendukung dan simpatisan pemerintahan Soekarno, para
anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan yang distigma
komunis marak terjadi di seluruh Indonesia demi pelanggengan rejim orde baru
Soeharto yang anti terhadap pemerintahan Soekarno dan komunisme karena
Soeharto antek negara imperialis Amerika.

Namun, dalam perjalanannya upaya humanis ini ditentang berbagai pihak dari
sisa-sisa kekuatan rejim orde baru, termasuk yang berada di dalam kabinet
Gus Dur sendiri. Harapan yang membubung tinggi dari para korban 1965 lantas
sirna karena kasus pelanggaran hak asasi manusia ini hanya bisa diselesaikan
oleh keinginan politik pemerintah yang berkuasa dan digdaya kemanusiaan dan
keadilan di atas hukum negeri ini.

Salah satu yang menjadi justifikasi dan legitimasi hukum dan politik
masyarakat dan negara yang enggan menuntaskan kasus ini adalah konstruksi
sejarah yang manipulatif. Dalam pergulatan bangsa di dunia, sejarah
seringkali digunakan sebagai alat legitimasi (politik) kekuasaan. Karya
sejarah dignakan sebagai media propaganda dan alat legitimasi kekuasaan Orde
Baru. Melalui konstruk-konstruk sejarah ini penguasa melakukan produksi dan
reproduksi ingatan kolektif bangsa Indonesia, termasuk merepresi pemikiran
masyarakat yang selalu diposisikan dalam oposisi biner. Masyarakat yang
membangkang selalu diposisikan sebagai masyarakat yang anti pancasialis
berarti bisa diasosiasikan sebagai komunis yang berarti anti kepada
pemerintah. Masyarakat yang membangkang akan ditempatkan pada stigma oposisi
yang bertentangan dengan dasar-dasar ideologi yang dikultuskan rejim
penguasa, seperti kelompok pancasialis-non pancasialis, kelompok
komunis-nonkomunis.

Monopoli atas « kebenaran » sejarah peristiwa 30 September dan 1 Oktober
1965 oleh pemerintah Orde Baru digunakan sebagai justifikasi peralihan
kekuasaan Soekarno ke Soeharto dan dalih pembunuhan massal pengikut
Soekarno, anggota dan simpatisan PKI, serta orang-orang yang distigmatisasi
komunis. Secara tidak langsung sebagai pra kondisi untuk mengantar pada
penerapan kebijakan ekonomi neoliberal. Soeharto dkk telah menyiapkan pacu
landas pesawat negara-negara imperialis untuk mendarat ke Indonesia.
Sementara itu, nasib korban masih diabaikan.

Selama puluhan tahun, para korban 1965 yang berada di tanah air, yang masih
hidup, menjalani siksaan di bui dengan perlakukan yang tidak manusiawi dan
tanpa kejelasan hukum. Para korban ini ditangkap tanpa melalui proses hukum.
Artinya tidak ada kejelasan tentang kebebasan mereka. Beberapa di antara
mereka wafat di dalam penjara atau dieksekusi mati oleh para militer
antek-antek Soeharto.

Keluarga mereka pun mengalami perampasan hak sipil, politik, ekonomi,
sosial, dan budaya sebagai hak dasar warga negara dan dijamin oleh
peraturan perundang-undangan negara kita. Saat para tahanan politik ini
bebas bukan berarti hak-hak dasar mereka dipenuhi kembali oleh negara.
Kebebasan mereka masih « disandera » oleh dampak dari perampasan hak
tersebut dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik mereka.

Tidak hanya orang-orang yang menjadi korban dari « kudeta merangkakï » yang
dilancarkan Suharto dkk pada tahun 1965 yang ada di tanah air. Tetapi juga,
orang-orang yang saat peristiwa 30 September 1965 berada di luar negeri.
Mereka yang berada di luar negeri berangkat membawa tugas dari bangsa
dikirim oleh pemerintahan Soekarno dengan latar belakang profesi yang
beragam, antara lain dokter, sastrawan, wartawan, insinyur, dan mahasiswa
yang belajar ke luar negeri (banyak yang berada di Eropa, China, dan Rusia).
Selain itu, ada beberapa yang terlibat di organisasi internasional,
mengikuti perayaan, dan yang sedang berobat. Sebagian besar dari orang-orang
ini terdiri dari pelajar atau mahasiswa karena pada akhir 1950-an sampai
dengan 1965 ada banyak pemuda Indonesia yang dikirim ke luar negeri untuk
tugas belajar sebagaimana misi Soekarno yang menginginkan pemuda-pemudi
Indonesia kelak dapat membangun kemandirian pembangunan Indonesia tanpa
tergantung oleh negara-negara kapitalis. Mereka menimba ilmu di berbagai
perguruan tinggi terkenal di beberapa negara Eropa Barat maupun Eropa Timur.
Mereka ini yang sering disebut media dengan exile. Eksil adalah mereka yang
melarikan diri ke luar negeri akibat berbagai tingkat tekanan politik
pemerintah.

Pergolakan politik 1965 yang begitu memanas dalam skala nasional dan
internasional yang dimenangi oleh kelompok-kelompok boneka imperialis
membuat mereka terhalangi untuk pulang.Setelah terbitnya Surat Perintah 11
maret 1966, pemegang kekuasaan tertinggi secara de facto saat itu, yakni
Soeharto mengintruksikan beberapa Kedutaan Besar Republik Indonesia di
masing-masing negara memanggil semua warga Indonesia untuk disodorkan surat
dukungan kepada pemerintah Soeharto sebagai penguasa baru di Indonesia.
Mereka yang berada di luar negeri yang masih menggangap Soekarno masih
presiden yang sah memimpin bangsa Indonesia tidak mau menandatangani surat
itu. Konsekuensinya, penguasa mencabut paspor mereka dan mencabut status
kewarganegaraannya. Salah satunya dialami oleh Duta Besarnya sendiri yang
bertugas di Kedutaan Republik Indonesia untuk Kuba, AM Hanafi dan Duta Besar
Republik Indonesia untuk Mali, S Tahsin Sandjadirdja.

Bentuk pencabutan paspor dan kewarganegaraan atas tuduhan yang tidak pernah
terbuktikan sampai sekarang merupakan kepuïtusan di luar hukum, ekstra
judisial. Keputusan ini merupakan pelanggaran hukum paling berat dan
melanggar hak asasi manusia. Mereka yang tidak bisa kembali ke tanah air
harus berpisah dengan sanak keluarga dan banyak di antara mereka hanya
memiliki modal yang sedikit untuk waktu yang begitu lama di negeri orang.

Pada masa pemerintahan Gus Dur, Menteri Hukum dan Perundang-undangan
(Menkumdang) Yusril Ihza Mahendra diutus ke luar negeri menemui orang-orang
Indonesia yang telah kehilangan hak dan kewarganegaraannya itu.. Hal ini
dalam rangka perhatian khusus soal kepulangan dan pengakuan
ke-warganegaraannya kepada para korban yang diasingkan. Tapi, niat baik itu
ternyata terhalang oleh tarik ulur kepentingan politis sehingga rencana ini
gagal sampai pada penggulingan kekuasaan pemerintahan Gus Dur. Sampai saat
ini, persoalan paspor dan kewarganegaraan masih belum diselesaikan, sehingga
mereka hanya bisa datang tetapi tidak bisa pulang.

Di tanah pengasingan ini, banyak diantara mereka yang hijrah ke Barat ketika
usianya sudah lanjut dan terlambat dalam mencari kehidupan di masa tuanya
bekerja sebagai sopir taksi atau penjaga kantin sekolah, namun bergelar PhD.
Ada juga yang meraih prestasi yang membanggakan, misalnya Dr Manuaba yang
menjadi peletak dasar-dasar pengembangan nuklir di Hongaria, DR Waruno Mahdi
yang menjadi peneliti di Max Planc Institute Jerman dan penyusun kamus
bahasa Melanesia,

Bambang Soeharto lulusan Institut Pertelevisian Cekoslovakia yang pernah
menjadi satu-satunya orang kelahiran non-Jerman yang sempat menjadi Direktur
WDR (TVRI-nya Jerman), Prof Ernoko Adiwasito yang menjadi mahaguru ilmu
ekonomi di Venezuela, dan apoteker sukses lulusan Bulgaria yang kini mukim
di Berlin, Sri Basuki (Ari Junaedi, 2008). Selain itu ada yang menerbitkan
buku memoar sebagai salah satu upaya melawan hegemoni sejarah 1965 yang
dimanipulasi oleh penguasa orde baru, seperti yang ditulis oleh Imam
Soedjono dalam Yang Berlawan, biografi Ibrahim Isa, Umar Said, JJ Kusni,
Sobron Aidit, biografi Mawie Ananta Jonie, eks eksil-cum-penyair yang kini
menetap di negeri Belanda. Menurut Ari Junaedi (2007), Doktor Universitas
Padjadjaran (Unpad) Bandung yang meneliti pola komunikasi para pelarian
politik tragedi 1965 di mancanegara, jumlah korban yang ada di luar negeri
mencapai 1.500 orang.

Kasus 1965 sampai saat ini masih menjadi pekerjaan rumah negara ini dan
belum memberikan hasil signifikan bagi para korban meskipun sudah
terbentuknya Tim Penyelidik Peristiwa 1965/1966 Komnas HAM. Ketidakseriusan
negara dalam menuntaskan kasus ini membuat para korban 1965 tidak tinggal
diam. Di Eropa sendiri, telah dibentuk komunitas para korban 1965 membahas
peristiwa 1965 dan peristiwa sosial,ekonomi, dan politik di tanah air.

Komunitas ini bernama Temu Eropa. Temu Eropa mencoba menggalang para korban
1965 yang selama ini tinggal di Eropa untuk saling berkomunikasi dan
berdiskusi. Beberapa agenda telah mereka lakukan sebagai perhatian dari
peristiwa yang membuat mereka sampai saat ini diasingkan di Eropa. Karena
letaknya di Eropa, maka posisi pergerakan teman-teman yang ada di Eropa
begitu strategis jika dilihat dari saluran-saluran politis yang tersedia di
negara-negara Eropa. Sehingga diharapkan terjadi penggalangan dukungan
internasional secara langsung untuk mendapatkan perhatian dan tekanan
internasional terhadap pemerintah. Beberapa lembaga internasional yang
memiliki perhatian terhadap kasus 1965 (termasuk Perhimpunan Bangsa-bangsa
(PBB)) ada disana. Peluang saluran-saluran politis di tingkat internasional
bisa dimanfaatkan oleh teman-teman Temu Eropa untuk disinergikan dengan
pergerakan para korban 1965 yang ada di tanah air.

Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966 yang berdiri sejak
tahun 1999, merupakan salah satu organisasi korban 1965 yang sampai saat ini
melakukan berbagai upaya politis dan sosial, termasuk pengungkapan sejarah
kelam pada tahun 1965 untuk pelurusan sejarah yang mengedepankan kebenaran
bagi publik dan keadilan bagi korban, mencoba menjalin kerja bersama untuk
menggalang kekuatan politis dan memanfaatkan instrumen-instrumen hukum yang
ada, baik di tingkat nasional maupun internasional. Beberapa daftar korban
pembunuhan atau penghilangan paksa di tahun 1965/1966 sudah dilaporkan ke
PBB dan telah mendapatkan respon balik yang positif.


(Diambil dari :
http://www.mail-archive.com/forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com/msg46445.ht
ml)

* * *
admin
admin
ADMINISTRATOR
ADMINISTRATOR

Male
Number of posts : 1234
Age : 22
Reputation : -4
Points : 7988
Registration date : 2008-12-18

http://groups.yahoo.com/group/MURTADIN_KAFIRUN/

Back to top Go down

Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal Empty Re: Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal

Post by admin Wed 09 Sep 2009, 8:29 pm

Bahan renungan ini juga disajikan di website http://umarsaid.free.fr/



Peraturan-peraturan gila semasa Orde Baru



(bahan renungan ke-3 untuk memperingati 44 tahun 30 September 1965)

Rejim militer Orde Baru yang dikepalai Suharto selama 32 tahun telah memerintah dengan mentrapkan berbagai macam « peraturan perundang-undangan gila », yang ditujukan bagi para eks-tapol atau orang-orang yang pernah ditahan, yang menurut Kopkamtib berjumlah 1.900 000 orang. Peraturan perundang-undangan yang paling sedikitnya ada 30 macam ini, memang terutama sekali berlaku bagi seluruh anggota PKI dan ormas-ormas yang bernaung di bawah PKI. Namun, dalam prakteknya banyak sekali orang yang tidak ada sangkut-pautnya dengan PKI pun ikut-ikut menderita kesulitan dengan adanya berbagai peraturan yang aneh-aneh itu.

Seperti kita ingat atau kita ketahui ada peraturan « Surat bebas G30S » bagi orang yang melamar pekerjaan. Bahkan, ada yang untuk sekolah pun diharuskan punya surat ini. Ada pula peraturan yang gila juga, yaitu apa yang dinamakan « bersih lingkungan ». Artinya, kalau ada orang yang salah satu saja di antara sanak-saudaranya yang diduga atau dituduh dekat dengan PKI atau organisasi-organisasi kiri maka ia akan mendapat berbagai kesulitan.

Istilah « tidak terlibat baik langsung maupun tak langsung dalam gerakan kontra revolusi G30S/PKI » merupakan momok yang mengancam banyak orang selama puluhan tahun. Bahkan, yang lebih gila lagi, adalah bahwa ancaman ini berlaku juga bagi anak-cucu mereka, walaupun mereka jelas-jelas sekali tidak tahu menahu sama sekali dengan G30S.

Dengan membaca kembali bahan dari LPR KROB (Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rejim Orde Baru) di bawah ini kita melihat bahwa rejim militer Suharto sudah melakukan kejahatan besar sekali, dengan membikin peraturan atau perundang-undangan yang diskriminatif dan menyusahkan banyak orang, dan selama puluhan tahun pula ! Dalam hal ini peran Golkar adalah sama saja busuknya atau jahatnya dengan golongan militer. Dosa-dosa besar Golkar tidak bisa dipisahkan dengan dosa para pimpinan militer pendukung Suharto. Golkar dan kontra-revolusi yang dibenggoli oleh Suharto adalah satu dan senyawa.

Silakan para pembaca menyimak kembali dan merenungkan dalam-dalam berbagai hal yang diutarakan oleh dokumen LPR KROB bulan September 2006, yang berikut di bawah ini.


  1. Umar Said


= = = = = = =



Tragedi 65/66


« Tragedi 65/66 terjadi 41 tahun yang lalu. Rangkaian peristiwa yang saling berkaitan antara yang satu dengan lainnya. Dilaksanakan tahap demi tahap untuk memuluskan tercapainya tahapan terakhir. Terkenal dengan kudeta merangkak.G30S 1965. Dalam peristiwa ini mengakibatkan korban dibunuh, 6 orang jenderal dan 1 orang perwira.

Tragedi 65/66, Pembantaian Massal
Tanggal 17 Oktober 1965 pasukan elite RPKAD dipimpin Kolonel Sarwo Edhi
Wibowo menuju Jawa Tengah. Tanggal 22 Oktober 1965 terjadi pembantaian massal
selama dua minggu di Jawa Tengah; diteruskan di Jawa Timur selama satu bulan
dan kemudian beralih di Bali.
Di Sumatera Utara pembantaian dilaksanakan 1 Oktober 1965. Pembantaian yang
sama terjadi di daerah lain di Indonesia.

Penyalahgunaan SP (Surat Perintah) 11 Maret 1966
Penerima SP, Soeharto menyalahgunakan SP 11 Maret 1966 oleh pemberinya,
Soekarno. SP 11 Maret 1966 adalah pendelegasian kekuasaan (delegation of
authority) tetapi ditafsirkan oleh penerimanya, Soeharto, sebagai pemindahan
kekuasaan (transfer of authority). Beranjak dari pengertian yang salah ini,
digunakan oleh Soeharto untuk menangkap menteri, pembantu setia Bung Karno,
dengan alasan diamankan.
Tidak hanya para menteri, tetapi pengikut Bung Karno dari partai-partai
nasional dan Islam, 125 ormas buruh, tani, wanita, pemuda, pelajar/mahasiswa,
seniman/sastrawan, guru, pamong desa, etnis Tionghoa, semuanya dilibas.

Kudeta terhadap Presiden RI yang sah, Soekarno
Tahapan akhir rangkaian peristiwa ini adalah tujuan sebenarnya yang dituju.
Kudeta Presiden RI yang sah, Soekarno. Melalui MPRS yang sudah dibongkar-pasang
agar dianggap konstitusional, Soeharto diangkat menjadi Presiden RI pada tahun
1967.

Kudeta merangkak ini didukung sepenuhnya oleh CIA (AS). « Sukses » di
Jakarta ada kemiripan dengan kejadian di Cile 1970. Ketika itu CIA melaksanakan
misi amat rahasia, melakukan pembunuhan terhadap Jenderal Schneider, Kepala
Staf AD Cile yang telah menolak melakukan kudeta untuk menghalangi pemilihan
Salvador Allende sebagai presiden. Selanjutnya, CIA mendukung komplotan AD Cile
melakukan kudeta berdarah terhadap Presiden Allende yang telah terpilih secara
demokratis. Jenderal Pinochet naik tahta. Bandingkan nasib Jenderal Schneider
dan Jederal A Yani, Allende dengan Bung Karno. Salah satu operasi penyesatan
CIA untuk meningkatkan suhu politik di Cile dengan menyebarkan kartu-kartu
kepada tokoh serikat buruh kiri maupun para perwira militer kanan dengan
tulisan Djakarta ce acerca (Jakarta sedang mendekat).

Tap MPRS 25/1966 tentang Pembubaran dan Pelarangan PKI merupakan instrumen
politik bagi Soeharto dan pendukungnya untuk « membersihkan » mereka yang loyal
terhadap Soekarno di kabinet Dwikora, MPRS, DPRGR. Kemudian melalui UU No
10/1966 tentang Kedudukan MPRS dan DPRGR, Soeharto mengangkat orang-orang
kepercayaannya untuk menduduki jabatan anggota MPRS, DPRGR dan kabinet
tandingan yang disebut kabinet Ampera terutama dari golongan militer.

Dalam UU No 10/1966 untuk pertama kali muncul istilah « tidak terlibat
baik langsung maupun tak langsung dalam gerakan kontra revolusi G30S/PKI dan
atau organisasi terlarang/terbubar lainnya », terutama menyangkut persyaratan
untuk menduduki jabatan politik atau publik.

Peristiwa 1965 merupakan tahun pembatas zaman. Zaman berubah antara
sebelum 1965 dan sesudahnya. Perubahan itu terjadi dalam bidang ekonomi,
politik dan sosial budaya secara serentak. Ajaran Bung Karno untuk menentukan
arah revolusi Indonesia dihancurbinasakan.

Sesudah tahun 1965, politik luar negeri berubah total. Dari nonblok
menjadi pro barat, menjadi pengikut AS. Ekonomi Indonesia yang dulunya berdikari
berubah menjadi ekonomi yang tergantung pada modal asing. Dalam bidang
kebudayaan, sebelum 1965, bebas berpolemik; sesudah 1965 budaya seolah-olah
satu, menjadi monolitik. Tidak ada lagi perbedaan, semua seragam.

Tindakan Keji

Tragedi 65/66, kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan warga
negara tak bersalah menurut keterangan almarhum Jenderal Sarwo Edhi Wibowo
Komandan Resimen RPKAD kepada Permadi SH berjumlah 3 juta orang. Kuburan massal
berserakan di berbagai tempat di Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sumatera Utara
dan tempat-tempat lain. Belum lagi mayat-mayat yang dimasukkan luweng dan
dibuang di sungai-sungai.

Penahanan/pengasingan/dihukum berjumlah 1.900.000 orang menurut
keterangan resmi Kopkamtib. Penjara di seluruh Indonesia dijadikan tempat
tahanan. Bila penjara sudah penuh, gedung lainnya dipergunakan seperti Gudang
Padi di Bojonegoro (Jawa Timur).

Pulau Nusakambangan, Pulau Buru, Plantungan, Pulau Kemarau (Sumatera
Selatan) dijadikan tempat pengasingan/konsentrasi kam. Dengan mengerjapaksakan
tapol didirikan tempat-tempat isolasi di beberapa daerah seperti Argosari
(Kalimantan Timur), Loe Mojong (Sulawesi Selatan), Nanga-Nanga, Kendari
(Sulawesi Tenggara), Wadas Lintang, Brebes Jawa Tengah.

Penangkapan dan penahanan seringkali disertai dengan perampasan harta
benda seperti rumah, tanah, uang, perhiasan, surat-surat berharga. Selama masa
penahanan tapol mengalami interogasi yang disertai penyiksaan, dipukuli dengan
tangan kosong, atau dengan alat, digunduli, disetrum dan dipaksa menyaksikan
penyiksaan tahanan lainnya.

Bagi tapol perempuan mengalami pelecehan seksual bahkan ada yang
diperkosa berkali-kali. Ibu-ibu tapol yang mengandung terpaksa melahirkan dalam
tahanan/penjara. Isteri tapol laki-laki dijadikan sasaran rayuan gombal aparat
negara. Sebagian dari mereka yang ditahan dalam usia sangat muda sehingga
kehilangan kesempatan untuk menikmati masa muda, terpaksa putus sekolah dan
bereproduksi.

Setidaknya ada dua cara yang digunakan dalam proses « pembersihan »
terhadap mereka yang dituduh sebagai orang komunis.
Pertama: cara nonformal, yaitu operasi « pembersihan » tanpa prosedur
yang oleh pihak militer dengan memobilisasi organisasi-organisasi paramiliter
yang bernaung di berbagai organisasi. Kelompok ini diberi kewenangan untuk
bertindak menjadi hukum dan hakim sekaligus.

Kedua: secara formal penangkapan dan pemeriksaan terhadap orang-orang
yang dituduh komunis dilakukan oleh sebuah sistem atau lembaga di bawah
Kopkamtib atau Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda). Di tingkat pusat, disebut
Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu); di daerah disebut Tim Pemeriksa Daerah
(Teperda). Tim diberi otoritas untuk melakukan proses screening terhadap semua
orang yang dituduh sebagai komunis, kemudian membuat klasifikasi dan
penggolongan. Setelah melalui screening para tahanan dikirimkan ke kam-kam
tahanan. Tidak ada jaminan kepastian hukum terhadap jutaan tahanan yang dituduh
komunis.

Dengan demikian « pembersihan » terhadap mereka yang dituduh komunis
dijalankan sangat sistematis dengan menggunakan hirarki kekuasaan, melalui
penerbitan peraturan maupun tindakan aparat; dan terjadi secara meluas di
seluruh wilayah RI. Kopkamtib tak lain seperti mesin penggilas yang digunakan
untuk melumatkan siapapun di persada tanah air Indonesia tercinta yang hendak
melawan kekuasaan Soeharto, kekuasaan Orde Baru.

Perlakuan Yang Diskriminatif

Sampai tahun 1979, datang tekanan dari dunia internasional, terutama
dari Amnesti Internasional dan negara-negara donor. Mereka mendesak Indonesia
untuk mengeluarkan para tahanan politik dari kam-kam tahanan sebagai prasyarat
untuk cairnya bantuan internasional bagi pemerintah Indonesia.

Tahun 1979, tapol secara formal dibebaskan. Dalam Surat Pembebasan /
Pelepasan dinyatakan bahwa mereka tidak terlibat dalam peristiwa G30S/PKI.
Dalam kenyataannya, pembebasan bukan berarti kebebasan tanpa syarat bagi mantan
tapol, mereka masih dikenakan « wajib lapor » kepada pejabat dan lembaga
kemiliteran yang ada di sekitar tempat tinggalnya.

Tindakan demikian dianggap belum cukup. Mantan tapol diberlakukan
berdasarkan peraturan yang diskriminatif. Tidak kurang dari 30 peraturan
perundang-undangan yang diskriminatif diterbitkan, antara lain:

Surat Edaran BAKN No 02/SE/1975 tentang tidak diperlukan Surat Keterangan
Tidak Terlibat dalam G30S/PKI bagi pelamar calon pegawai negeri sipil yang pada
tanggal 1 Oktober 1965 calon ybs masih belum mencapai 12 tahun penuh.
Keppres No 28/1975 tentang Perlakuan terhadap mereka yang terlibat PKI
Golongan C. Golongan C dibagi menjadi Golongan C1, C2, dan C3. Terhadap pegawai
negeri termasuk pegawai/karyawan perusahaan milik negara Golongan C dikenakan
tindakan administratif sbb: Golongan C1 diberhentikan tidak dengan hormat
sebagai pegawai negeri; Golongan C2 dan C3 dikenakan tindakan administratif
lainnya dengan memperhatikan berat ringannya keterlibatan mereka.

SK No 32/ABRI/1977 tentang Pemecatan sebagai Pegawai TNI karena dituduh
terlibat PKI.
Inmendagri No 32/1981 tentang Pembinaan dan Pengawasan Bekas Tahanan dan
Bekas Narapidana G30S/PKI. Larangan menjadi pegawai negeri sipil, anggotan
TNI/Polri, guru, pendeta dan lain sebagainya bagi mereka yang tidak bersih
lingkungan. Pada KTP mantan tapol dicantumkan kode ET.

Keppres No 16/1990 tentang Penelitian Khusus bagi Pegawai Negeri RI.
Penelitian khusus bukan hanya ditujukan kepada korban langsung tetapi berlaku
juga bagi anak dan/atau cucu korban yang dituduh terlibat G30S/PKI.
Kepmendagri No 24/1991 tentang Jangka Waktu berlakunya KTP bagi penduduk
berusia 60 tahun ke atas. KTP seumur hidup tidak diberlakukan bagi warga negara
Indonesia yang terlibat langsung atau pun tidak langsung dengan Organisasi
Terlarang (OT).

Permendagri No 1.A/1995 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dalam
rangka Sistem Informasi Manajemen Kependudukan. KTP yang berlaku seumur hidup
hanya berlaku bagi WNI yang bertempat tinggal tetap dan tidak terlibat langsung
atau pun tidak langsung degnan Organisasi Terlarang (OT).

Inmendagri No 10/1997 tentang Pembinaan dan Pengawasan Bekas Tahanan dan
Bekas Narapidana G30S/PKI. Inmendagri ini sebagai pengganti Inmendagri No
32/1981. Ketentuan dan larangan masih tetap sama seperti Inmendagri No 32/1981.
Perubahannya adalah kode ET tidak dicantumkan lagi pada KTP mantan tapol,
tetapi pada KK (Kartu Keluarga) tetap dicantumkan kode ET.

UU No 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi/Kabupaten/Kota. Syarat anggota DPR, DPD, DPD Provinsi / Kabupaten/Kota
bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI termasuk organisasi massanya atau
bukan orang yang terlibat langsung dalam G30S/PKI.

Kekerasan struktural berupa peraturan yang diskriminatif tidak hanya tertuju
kepada mantan tapol korban Tragedi 65/66 tetapi juga terhadap anak dan cucu
mereka. Perlakuan demikian telah memporakporandakan harapan dan masa depan
jutaan warga negara Indonesia termasuk ribuan warga negara Indonesia di luar
negeri yang dicabut paspor mereka secara paksa oleh KBRI setempat. Dampak
peristiwa ini dirasakan oleh korban Tragedi 65/66 baik berupa stigmatisasi
sebagai orang yang tidak « bersih lingkungan » atau pun diskriminasi dalam hak
politik, sosial dan ekonomi.

Secara umum proses diskriminasi terhadap korban Tragedi 65/66 dimulai
ketika secara sepihak keputusan politik dikeluarkan oleh Jenderal Soeharto yang
ditunjuk sebagai Panglima Kopkamtib oleh Presiden Soekarno. Keputusan politik
dikeluarkan Jenderal Soeharto tanggal 12 Maret 1966 untuk membubarkan dan
melarang PKI dan semua organisasi yang dicurigai berasas/berlindung/bernaung di
bawahnya dari pusat sampai di seluruh wilayah Indonesia.

Pemerintahan Daerah melalui Peraturan Daerah (Perda) membatasi hak
politik mantan tapol dan keluarganya terutama untuk partisipasi politik di
tingkat lokal. Jabatan Kepala Desa hingga anggota legislatif tingkat daerah
mengharuskan calonnya « bebas G30S/PKI ».

Setelah rezim Soeharto tidak lagi berkuasa beberapa peraturan dan kebijakan
yang mendiskriminasikan mantan tapol dan keluarganya dicabut. Badan Koordinasi
Keamanan dan Stabilitas Nasional (Bakorstanas) lembaga pengganti Kopkamtib pada
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid telah dibubarkan melalui Keppres No
38/2000. Dinas Sosial Politik (Dissospol) lembaga sipil yang diberi otoritas
melakukan proses « penelitian khusus » (litsus) terhadap masyarakat sipil telah
dihapuskan. Tetapi pergantian rezim ternyata bukan jaminan bahwa praktik
diskriminasi tidak lagi diberlakukan.

Perjuangan menuntut Rehabilitasi, Kompensasi, Restitusi, dan Penghapusan
Diskriminasi

Warga negara Indonesia korban Tragedi 65/66 tidak pernah dihukum
bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap. Setelah dibebaskan diperlakukan secara diskriminatif.

Rehabilitasi menjadi tuntutan utama bagi mantan tapol Tragedi 65/66
setelah beberapa tahun dibebaskan tanpa kebebasan. Setelah terbentuknya lembaga
yang menghimpun dan menyatukan korban Tragedi 65/66 perjuangan menuntut
rehabilitasi, kompensasi, restitusi dan menghapus diskriminasi berjalan lebih
terorganisasi.

Berbagai jalan dan cara telah ditempuh; 6 (enam) kali mengajukan
permohonan kepada Presiden RI, menemui Ketua MA RI, mengajukan gugatan class
action kepada Pengadilan Negeri, mengajukan pengujian (judicial review)
terhadap Pasal-Pasal UU yang bertentangan dengan UUD Negara RI 1945,
membeberkan Tragedi 65/66 dalam sidang Komisi Tinggi HAM PBB, mengirim surat
kepada Sekjen PBB.

Hasil yang Bisa Dicapai

Perjuangan untuk menuntut rehabilitasi umum, kompensasi, restitusi
serta penghapusan diskriminasi cukup lama dan tak kenal lelah telah dilakukan;
baik melalui lembaga korban sendiri maupun dengan menggalang kerja sama dengan
LSM dan semua pihak yang sama-sama memperjuangkan terwujudnya demokrasi,
kebenaran, keadilan dan HAM.

Dan jerih payah yang sudah dilakukan hasil yang bisa dicapai tidak bisa
dikatakan tidak ada sama sekali. Tetapi memang masih belum memenuhi harapan.

Persyaratan Rehabilitasi Umum

Dan hasil pertemuan antara delegasi mantan tapol Tragedi 65/66 yang
dipimpin Sumaun Utomo, Ketua Umum DPP LPR-KROB dengan Ketua MA RI (14/3/2003)
maka Ketua MA RI mengirim surat kepada Presiden RI tentang permohonan
rehabilitasi Korban Tragedi 65/66. Kemudian disusul surat Wakil Ketua DPR RI
dan Ketua Komnas HAM kepada Presiden RI tentang masalah yang sama. Dengan
demikian rehabilitasi umum dengan adanya pertimbangan tersebut dilihat dari
segi:

Hukum
Surat Ketua MA RI No KMA/403/VI/2003, 12/6/03, Perihal permohonan
rehabilitasi.

Politik
Surat Wakil Ketua DPR RI No KS.02/37.47/DPR RI/2003 Sifat: Penting, Derajat:
Segera, 25/7/2003, Perihal Tindak Lanjut surat MA RI.

Kemanusiaan
Surat Komnas HAM No 147/TUA/VII/2003, 25/8/2003, Perihal Rehabilitasi
terhadap para korban G30S/PKI 1965.
Surat Komnas HAM No 33/TUA/II/2005, 8/2/2005, Perihal Pemulihan mantan
tahanan politik yang dikaitkan dengan Peristiwa G30S/PKI

Maka tak ada alasan bagi Presiden RI untuk tidak menggunakan hak
prerogatifnya menurut Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 mengeluarkan Keppres
Rehabilitasi Umum terhadap korban Tragedi 65/66.

Penghapusan Diskriminasi

Putusan MK RI, 24/2/2004

Permohonan pengujian (judicial review) Pasal 60 huruf (g) UU No 12/2003
yang diajukan oleh DPP LPR-KROB kepada MK RI (17/11/2003) yang sebelumnya
masalah yang sama diajukan oleh Deliar Noor dkk, menghasilkan: Putusan Perkara
No 011-017/PUU-I/2003, 24/2/2004 yang menyatakan bahwa Pasal 60 huruf (g) UU No
12/2003 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.

Dengan putusan ini hak politik korban Tragedi 65/66 telah dipulihkan
dan hak kewarganegaraan korban Tragedi 65/66 telah dikembalikan, yang selama 39
tahun telah dirampas secara sewenang-wenang tanpa dasar hukum.

Sebagai warga negara korban Tragedi 65/66 tidak hanya sebagai pemilih
aktif tetapi sekaligus pemilih pasif. Akses untuk dicalonkan sebagai anggota
badan legislatif baik di pusat maupun di daerah terbuka. Putusan ini dinilai
bersejarah, karena sebelum putusan diterbitkan sebagai warga negara korban
Tragedi 65/66 diperlakukan secara diskriminatif dan dikucilkan. Dampak dari
putusan MK RI ini beberapa peraturan yang diskriminasi dicabut, peraturan baru
diterbitkan.
Permendagri No 28/2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk
dan Pencatatan Sipil di Daerah

Pasal 16 ayat (5), KTP untuk penduduk WNI yang berusia 60 tahun ke atas
berlaku seumur hidup.
Pasal 74, dengan berlakunya Peraturan ini Peraturan Kepala Daerah mengenai
penyelenggaraan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil agar disesuaikan.
Pasal 77 ayat (3), Permendagri No 1.A/1995 dinyatakan tidak berlaku.

Sebelum berlakunya Kep Mendagri No 24/1991 dan Permendagri No 1.A/1995.
Mengenai Kepmendagri No 24/1991 sesuai dengan surat jawaban Mendagri kepada
DPP LPR-KROB dinyatakan sudah diganti dengan Permendagri No 28/2005 (surat
Mendagri No 474.4/874/MD, 27/3/2006).

Sejak terbitnya Permendagri No 28/2005 maka status kewarganegaraan korban
Tragedi 65/66 setara dengan warga negara Indonesia lainnya.
UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia

Asas yang digunakan UU No 12/2006 menganut asas persamaan dalam hukum dan
asas nondiskriminatif yang berhubungan dengan suku, ras, agama, golongan, jenis
kelamin dan jender.
Dengan diterbitkannya UU No 12/2006, UU No 62/1985 tentang Kewarganegaraan
tidak berlaku dan tidak ada lagi warga negara keturunan karena semua adalah
WNI.

Penjelasan Pasal 2, bahwa yang dimaksud ?Bangsa Indonesia Asli? adalah orang
Indonesia yang menjadi WNI sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri.
UU No 12/2006 tidak mensyaratkan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik
Indonesia) dan sejenisnya, cukup akta lahir.
Dengan demikian warganegara korban Tragedi 65/66 dari etnis apapun termasuk
etnis Tionghoa tidak didiskriminasikan.

Pasal 42, warganegara Indonesia yang bertempat tinggal di luar wilayah
negara RI selama 5 (lima) tahun atau lebih tidak melaporkan diri kepada
Perwakilan RI sebelum UU ini diundangkan dapat memperoleh kembali
kewarganegaraannya dengan mendaftarkan diri di Perwakilan RI dalam waktu paling
lambat 3 (tiga) tahun sejak UU ini diundangkan sepanjang tidak mengakibatkan
kewarganegaraan ganda.

Sejak Putusan MK RI bahwa Pasal 60 huruf (g) UU No 12/2003 bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (24/2/2004) maka
terbit Permendagri No 28/2005 (5/7/2005) tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil di Daerah dan UU No 12/2006
(1/8/2006) tentang Kewarganegaraan RI.

Tetapi masih ada peraturan yang diskriminatif belum dihapus seperti
Keppres No 28/1975, Surat Edaran No 02/SE/1975, Inmendagri No 10/1997. Utamanya
yang bersangkutan dengan masalah pelanggaran HAM berat yang terjadi 41 tahun
yang lalu, Tragedi 65/66 belum ada upaya untuk dituntaskan. Penghapusan
diskriminasi hanya sebagian dari keseluruhan penyelesaian masalah korban
Tragedi 65/66, belum merupakan pemecahan secara esensiil.

Penyelesaian masalah korban Tragedi 65/66 ialah:

Negara harus mengakui bahwa Tragedi 65/66 adalah pelanggaran HAM berat
oleh negara. Negara harus minta maaf pada korban dan rakyat Indonesia.
Penanggung jawab pertama dan utama harus diadili.
Negara harus memenuhi hak korban seperti yang tertera dalam Konvenan PBB,
yaitu rehabilitasi, kompensasi, restitusi yang merupakan hak melekat pada
korban tanpa mempermasalahkan pelakunya teridentifikasi atau tidak.
Negara harus menjamin bahwa peristiwa serupa seperti itu tidak akan
terjadi lagi.

Peraturan perundang-udangan sebagai landasan untuk menyelesaikan
masalah korban Tragedi 65/66 sudah tersedia. Yang pasti, peraturan itu bukan
sekedar hiasan pada lembar tumpukan kertas. Pemerintah harus berlapang dada,
menunjukkan kemauan baik dan niat yang sungguh-sungguh.

41 tahun telah berlalu, nasib korban Tragedi 65/66 masih tak menentu.
Teringat selalu kata-kata mutiara Bung Karno (17 Agustus 1960), « Hak tak dapat
diperoleh dengan mengemis, hak hanya dapat diperoleh dengan perjuangan ».

(Dikumpulkan dari berbagai sumber)

Mudjayin

(Diambil darihttp://www.freelists.org/post/nasional_list/ppiindia-Fwd-Kutipan-Warta-DPP-LPRKROB-41-Tahun-Tragedi-6566 )
admin
admin
ADMINISTRATOR
ADMINISTRATOR

Male
Number of posts : 1234
Age : 22
Reputation : -4
Points : 7988
Registration date : 2008-12-18

http://groups.yahoo.com/group/MURTADIN_KAFIRUN/

Back to top Go down

Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal Empty Re: Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal

Post by admin Thu 17 Sep 2009, 2:52 am



Tulisan ini juga disajikan di website http://umarsaid.free.fr/

Kisah-kisah menyedihkan para ibu

korban peristiwa 1965
(bahan renungan ke-5 untuk memperingati 44 tahun 30 September 1965)
Ketika memperingati 44 tahun 30 September 1965 seyogianyalah kita semua tidak melupakan kepada banyaknya penderitaan, kepahit-getiran, kesedihan, atau kesengsaraan yang dialami oleh para ibu, istri para korban pembunuhan besar-besaran di seluruh tanah-air dan istri para eks-tapol. Sebab, patut selalu diingat bahwa korban pembunuhan massal yang berkaitan dengan peristiwa 1965 berjumlah jutaan (bahkan 3 juta menurut Sarwo Edhie) sedangkan jumlah orang yang pernah ditahan di seluruh Indonesia adalah sampai 1,9 juta orang (menurut Kopkamtib).
Besarnya jumlah orang-orang yang dibunuhi secara massal itu, ditambah pula dengan banyaknya orang-orang yang pernah ditahan -- secara sewenang-wenang ! --merupakan peristiwa besar bersejarah yang penting untuk selalu dikenang oleh seluruh bangsa kita, termasuk anak-cucu kita di kemudian hari.
Apalagi, kalau kita ingat bahwa sebagai akibat dibunuhinya jutaan orang dan ditahannya begitu banyak eks-tapol, dengan sendirinya ada juga jutaan para ibu ( istri para korban pembunuhan dan istri para eks-tapol) yang mengalami banyak sekali berbagai macam penderitaan berkepanjangan yang sangat menyedihkan. Sebab, kebanyakan para ibu (istri para korban 65 dan istri para eks-tapol itu bersama anak-anak mereka) terpaksa ditinggalkan suami secara mendadak, tanpa persiapan, dan tanpa sarana untuk hidup. Berapa jumlah mereka, sulitlah dikatakan dengan pasti, walaupun kiranya dapat diduga sampai puluhan juta.
Sudah sejak beberapa waktu yang lalu mulai dapat didengar kisah-kisah yang menyedihkan dari para istri yang ditinggalkan para suami mereka akibat pergolakan politik waktu itu. Sebagai kebiasaan keluarga Indonesia, mereka itu kebanyakan mempunyai anak, dua tiga orang, bahkan ada yang sampai 6 orang. Dapat dibayangkan betapa beratnya tanggungan hidup para ibu-ibu ini, yang harus menghidupi anak-anak mereka tanpa suami. Dan begitu itu pun banyak yang sampai bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun.
Itulah sebabnya terdengar juga kisah-kisah nyata menyedihkan, yang menceritakan bahwa banyak ibu-ibu yang terpaksa menitipkan anak-anak mereka kepada orang tua mereka, atau saudara-saudara mereka (itupun kalau mau, atau kalau berani menerimanya). Ada yang karena mempunyai anak banyak, maka terpaksa dititipkan terpisah-pisah. Banyak ibu-ibu yang tega hati untuk berpisah dengan anak-anak kesayangan mereka, karena dipaksa oleh keadaan atau berbagai pertimbangan (karena tidak bisa memberi makan dan menjaga kesehatan mereka, atau karena keamanan, atau terpaksa kawin lagi, umpamanya).
Namun, banyak juga kisah-kisah yang menampilkan ibu-ibu istri para korban pembunuhan 65 dan istri para eks-tapol, yang dengan tekad teguh yang mengagumkan, berjuang dengan susah-payah dan dengan segala jalan dan cara, untuk bisa terus hidup dan menghidupi anak-anak mereka, yang ditinggalkan oleh ayah-ayah yang dibunuh atau ditahan.
Bahan pendidikan untuk seluruh bangsa
Karena besarnya jumlah istri para korban pembunuhan dan istri para eks-tapol, dan tersebarnya mereka itu di banyak tempat di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Maluku dll dll, maka dengan sendiriya banyak sekali berbagai macam kisah mereka yang bisa diangkat.
Kisah penderitaan para ibu sebagai akibat peristiwa 65 adalah khasanah bangsa yang sangat berharga dan penting sekali. Kisah-kisah ini bisa merupakan bahan yang ideal sekali untuk pendidikan bangsa di bidang politik, moral atau kehidupan bermasyarakat.
Mengingat luasnya dan besarnya penderitaan kaum istri para korban pembunuhan 65 dan istri para eks-tapol – beserta anak-anak mereka --, dan mengingat pula jangka waktu yang begitu lama (beberapa puluh tahun!), maka kiranya bisa dikatakan bahwa kisah-kisah mereka ini merupakan sumbangan besar sekali bagi bangsa, termasuk generasi kita yang akan datang. Tidak banyak rakyat di dunia yang mempunyai khasanah yang mengandung isi pendidikan serta bahan sejarah sosial yang sebesar atau seluas kisah-kisah jutaan para ibu Indonesia, istri para korban 65 dan istri para eks-tapol itu.
Hukuman yang berkepanjangan bagi keluarga
Kalau dipandang secara jauh dan luas, maka bisa disimpulkan bahwa kisah-kisah para istri para korban peristiwa 65 (dan bermacam-macam kisah menyedihkan lainnya) adalah milik bersama seluruh bangsa, dan bukannya hanya milik keluarga para korban saja. Dan bukan pula hanya milik golongan kiri pendukung Bung Karno, atau anggota PKI dan simpatisan-simpatisannya saja. Bahkan, segala jenis penentang politik Bung Karno dan segala macam orang atau kalangan yang anti- PKI pun, seharusnya juga ikut merasakan kepedihan, kesengsaraan, penderitaan, kesedihan, para ibu yang jumlahnya begitu besar itu. Karena, penderitaan puluhan juta para ibu-ibu dalam jangka waktu yang begitu adalah merupakan aib besar seluruh bangsa Indonesia. Artinya, terutama aib juga bagi para pendukung Orde Baru.
Adalah hak seseorang untuk tidak menyetujui politik Bung Karno atau anti PKI, namun bersikap acuh-tak-acuh terhadap kesengsaraan besar dan yang berkepanjangan yang diderita oleh jutaan para istri korban 65 ( bersama anak-anak mereka !) adalah sikap yang betul-betul tidak manusiawi, tidak mencerminkan iman yang benar, dan bertentangan dengan moral yang beradab. Sebab, sebagian terbesar dari para istri korban 65 itu (Harap sekali lagi ingat : bersama anak-anak mereka !) adalah sama sekali tidak bersalah apa-apa.
Adalah tidak adil, dan tidak bisa dibenarkan sama sekali, bahwa mereka harus menderita penyiksaan berkepanjangan begitu lama -- yang berupa berbagai penderitaan dan kesengsaraan -- hanya karena bersuami dengan orang-orang yang dibunuh serta dipenjarakan (yang kebanyakan juga tidak berdosa apa-apa sama sekali). Dengan begini bisa diartikan bahwa para istri korban 65 (bersama anak-anak mereka) juga ikut dihukum, dan dalam jangka lama pula, walaupun tidak bersalah apa-apa.
Mempersoalkan kasus korban 65 adalah berguna sekali
Kalau menurut nalar yang sehat, membunuh atau memenjarakan (dalam jangka lama ) jutaan suami atau bapak anak-anak (yang tidak bersalah apa-apa !) saja sudah merupakan kejahatan kemanusiaan yang luar biasa besarnya. Apalagi kalau ditambah dengan menyengsarakan atau menyiksa dalam jangka lama sekali para istri mereka yang begitu banyak. Jelaslah bahwa hal yang demikian merupakan kejahatan yang lebih besar lagi, bahkan berlipat ganda. Inilah yang pernah terjadi di Indonesia pada masa lalu yang belum lama, yang sisa-sisa akibatnya masih bisa dijumpai sampai sekarang ini di banyak tempat di seluruh negeri.
Oleh karenanya, setiap orang Indonesia yang berfikiran waras, atau berhati manusiawi, atau beriman yang benar, pastilah akan menganggap bahwa keadaan yang begitu itu adalah merupakan aib besar kita semua, tidak peduli apakah tergolong pendukung atau penentang Orde Baru. Sebab, para istri korban 65 adalah sesama ummat manusia, dan sesama warganegara Republik Indonesia, seperti orang lainnya. Ini merupakan urusan seluruh bangsa.
Itulah sebabnya maka persoalan keluarga korban pembunuhan dan keluarga eks-tapol, yang sebagian terbesar sampai sekarang masih belum terselesaikan (sesudah 44 tahun terjadinya peristiwa 65 dan sesudah lebih dari 11 tahun jatuhnya Suharto) tetap perlu diangkat. Mengangkat terus atau mempersoalkan pembunuhan besar-besaran dan penahanan begitu banyak orang tidak bersalah – ditambah penyiksaan berkepanjangan para istri dan anak-anak mereka – adalah berguna sekali sebagai pelajaran dan peringatan untuk kita semua, termasuk generasi yang akan datang.
Karenanya, segala macam kegiatan kolektif dari berbagai kalangan masyarakat untuk mengangkat kembali peristiwa yang merupakan noda atau aib besar bangsa kita ini justru hanya akan mendatangkan kebaikan bagi bangsa seluruhnya. Hanyalah orang-orang atau kalangan yang berpandangan picik, bernalar cupet, dan beriman tidak sehatlah yang tidak menyetujui dibongkarnya segala penyakit yang merusak tubuh bangsa dan dihapuskannya segala najis yang mengotori sejarah bangsa kita.
Kalau makin terlambat, kita akan menyesal
Mengingat itu semuanya, seyogianyalah kita bersama-sama berusaha mendorong lebih kuat lagi lahirnya berbagai karya (tulisan, lukisan, puisi, atau sekadar catatan), baik yang dihasilkan sendiri oleh para ibu korban pembunuhan 65 dan istri para eks-tapol, maupun yang dibuat oleh berbagai kalangan lainnya (umpamanya : wartawan, penulis, sejarawan, mahasiswa, atau siapa saja yang mau), yang mengangkat kisah-kisah para istri korban peristiwa 65 dan para korban lainnya pada umumnya.
Memang, selama ini sudah muncul juga berbagai buku atau pamflet yang berisi kisah-kisah mengenai pengalaman penderitaan kaum ibu para istri korban pembunuhan 65 dan istri para eks-tapol. Namun, dibanding dengan besarnya skala kasus mereka yang sebenarnya, apa yang sudah diterbitkan itu adalah masih sedikit sekali. Sangat sangat sedikit.
Perlu menjadi perhatian kita semua bahwa kebanyakan istri para korban 65 itu sudah lanjut usia, bahkan sudah terlalu lanjut sekali. Yang masih hidup makin banyak sekali berkurang. Karena itu sudah banyak kisah-kisah yang berharga untuk dijadikan peninggalan sejarah sudah tidak bisa kita himpun lagi. Sekarang ini masih ada sisa-sisanya, dan masih belum terlambat untuk menggalinya dengan berbagai cara dan bentuk. Tetapi, sebentar lagi sudah terlambat, dan khasanah penting ini akan ikut terkubur dalam makam mereka masing-masing. Hal yang demikian itu akan menjadi penyesalan besar kita bersama. Kita semuanya akan kehilangan banyak bahan berharga bagi sejarah bangsa.
Posisi istri para korban 65 kuat di berbagai bidang
Perlu diusahakan bersama-sama supaya bisa digali sebanyak mungkin kisah-kisah nyata atau pengalaman dari istri para korban 65 yang masih hidup sekarang ini, atau didorong mereka untuk bersuara, dengan macam-macam cara. Perlulah kiranya menjadi kesadaran bagi mereka (dan juga kita semua) bahwa tidak perlu takut-takut lagi untuk mengemukakan apa-apa saja yang terjadi sebenarnya. Sebab, kalau dipandang dari berbagai segi secara serius, maka bisalah dikatakan bahwa posisi para istri para korban 65 adalah di fihak yang kuat, baik dalam segi hukum dan keadilan, maupun dalam segi politik dan juga moral. Karena itu mereka berhak mengeluarkan suara lantang, dan menuntut keadilan, demi kebaikan bangsa.
Memang, kadang-kadang, tidak mudah bagi mereka untuk bisa menceritakan apa yang mereka alami. Karenanya, tidak perlulah dituntut dari mereka sesuatu yang terlalu muluk-muluk. yang serba bagus penampilannya atau penyajiannya. Yang paling utama adalah supaya berdasar kebenaran dari kenyataan. Kebesaran, keindahan dan kekuatan dari isi kisah-kisah itu justru terletak di kebenaran.
Paris 16 September 2009
A. Umar Said
* * *
PS Harap baca juga :
Kepala Ayah Dipenggal di Depan Mataku
Suara segar korban peristiwa 65
PARA KORBAN PERISTIWA 65 BERHAK MENGGUGAT !


admin
admin
ADMINISTRATOR
ADMINISTRATOR

Male
Number of posts : 1234
Age : 22
Reputation : -4
Points : 7988
Registration date : 2008-12-18

http://groups.yahoo.com/group/MURTADIN_KAFIRUN/

Back to top Go down

Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal Empty Re: Kemunculan Orde Baru dan Pembunuhan Massal

Post by Sponsored content


Sponsored content


Back to top Go down

Back to top

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum