MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME

Join the forum, it's quick and easy

MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME
MURTADIN_KAFIRUN
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Latest topics
» Yeremia 23 & Ulangan 13 mengisyaratkan Muhammad nabi palsu
jalan menuju iman EmptyFri 02 Feb 2024, 5:21 pm by buncis hitam

» kenapa muhammad suka makan babi????
jalan menuju iman EmptyWed 31 Jan 2024, 1:04 am by naufal

» NYATA & FAKTA : TERNYATA YESUS PILIH MENGAULI KELEDAI DARIPADA WANITA!!! (sebuah penghinaan OLEH PAULUS)
jalan menuju iman EmptyFri 12 Jan 2024, 9:39 pm by Uwizuya

» SORGA ISLAM RUMAH PELACUR ALLOH SWT...........
jalan menuju iman EmptyTue 02 Jan 2024, 12:48 am by Pajar

» Moon Split or Islamic Hoax?
jalan menuju iman EmptyWed 13 Dec 2023, 3:34 pm by admin

» In Islam a Woman Must be Submissive and Serve her Husband
jalan menuju iman EmptyWed 13 Dec 2023, 3:32 pm by admin

» Who Taught Allah Math?
jalan menuju iman EmptyWed 13 Dec 2023, 3:31 pm by admin

» BISNIS GEREJA YUUUKZ....LUMAYAN LOH UNTUNGNYA....
jalan menuju iman EmptyWed 05 Jul 2023, 1:57 pm by buncis hitam

» ISLAM: Palsu, Maut, Tak Akan Tobat, Amburadul
jalan menuju iman EmptySun 07 May 2023, 9:50 am by MANTAN KADRUN

Gallery


jalan menuju iman Empty
MILIS MURTADIN_KAFIRUN
MURTADIN KAFIRUNexMUSLIM INDONESIA BERJAYA12 Oktober Hari Murtad Dari Islam Sedunia

Kami tidak memfitnah, tetapi menyatakan fakta kebenaran yang selama ini selalu ditutupi oleh muslim untuk menyembunyikan kebejatan nabinya

Menyongsong Punahnya Islam

Wadah syiar Islam terlengkap & terpercaya, mari sebarkan selebaran artikel yang sesungguhnya tentang si Pelacur Alloh Swt dan Muhammad bin Abdullah yang MAHA TERKUTUK itu ke dunia nyata!!!!
 

Kebrutalan dan keberingasan muslim di seantero dunia adalah bukti bahwa Islam agama setan (AJARAN JAHAT,BUAS,BIADAB,CABUL,DUSTA).  Tuhan (KEBENARAN) tidak perlu dibela, tetapi setan (KEJAHATAN) perlu mendapat pembelaan manusia agar dustanya terus bertahan

Subscribe to MURTADIN_KAFIRUN

Powered by us.groups.yahoo.com

Who is online?
In total there are 81 users online :: 0 Registered, 0 Hidden and 81 Guests :: 2 Bots

None

[ View the whole list ]


Most users ever online was 354 on Wed 26 May 2010, 4:49 pm
RSS feeds


Yahoo! 
MSN 
AOL 
Netvibes 
Bloglines 


Social bookmarking

Social bookmarking reddit      

Bookmark and share the address of MURTADINKAFIRUN on your social bookmarking website

Bookmark and share the address of MURTADIN_KAFIRUN on your social bookmarking website


jalan menuju iman

Go down

jalan menuju iman Empty jalan menuju iman

Post by paulusjancok Fri 12 Aug 2011, 3:23 pm

Bangkitnya manusia tergantung dari pemikirannya tentang kehidupan, alam semesta dan manusia itu sendiri, serta hubungan antara ketiganya dengan alam sebelum kehidupan dunia dan alam setelah kehidupan dunia ini. Dari pemahaman terhadap hal-hal di atas manusia akan mengatur tingkah lakunya di dalam kehidupan ini. Oleh karena itu, apabila kita ingin merubah tingkah laku manusia menuju akhlaq yang luhur, maka tidak boleh tidak, kita harus mengubah pemahaman (mafahim)-nya tentang kehidupan, alam semesta, manusia, serta alam sebelum dan sesudah kehidupan dunia ini.

Satu-satunya jalan untuk mengubah pemahaman manusia adalah dengan membentuk pemikiran tentang kehidupan dunia, agar dengannya dapat terwujud mafahim tentang kehidupan dunia. Akan tetapi pemikiran tentang kehidupan dunia ini tidak akan terpusat hingga memeberikan hasil, kecuali disertai dengan terbentuknya pemikiran tentang alam, kehidupan dan manusia; tentang alam sebelum dan sesudah klehidupan dunia; dan hubungan antara ketiga unsur tersebut dengan kedua alam ini. Hal ini dapat tercapai dengan memberikan pemahaman yang menyelkuruh mengenai ketiga unsur tersebut.

Dengan pemahaman tersebut akan terpecahkanlah simpul ‘masalah besar’ (al-‘uqdatu al-kubra) yang selalu menjadi pertanyaan dalam setiap diri manusia, yaitu : Dari mana ia bermula, untuk apa keberadaannya, ke mana setelah kehidupan dunia ini (ia akan kembali). Namun pemecahan masalah ini tidak akan mampu mengantarkan manusia menuju kebangkitan yang benar, selama pemecahan itu sendiri bukan merupakan pemecahan yang benar, yaitu sesuai dengan fitrah manusia, mampu memberikan kepuasan kepada akal, dan mampu menenteramkan hati.

Pemecahan yang benar ini tidak akan terwujud kecuali dengan pemikiran yang jernih tentang alam, kehidupan, dan manusia. Pemecahan inilah yang disebut dengan aqidah, yang merupakan landasan berpikir bagi setiap pemikiran cabang yang berhubungan dengan perilaku serta tata aturan dalam kehidupan.



A. Peranan Akal dalam Proses Keimanan

Keimanan adalah suatu hal yang fitri dalam diri setiap manusia. Naluri keberagamaan manusia akan membawanya untuk mencari dan menemukan dzat yang dipercayainya telah menciptakan dan mengatur segala kebutuhannya. Keimanan yang fitri hanya akan muncul dari perasaan hati yang ikhlas belaka. Proses semacam ini tidak akan membawa kepada suatu ketetapan dan ketenangan pikiran. Perasaan hati([1]) semacam ini akan sering menambah-nambah terhadap sesuatu yang diimani dengan hal-hal lain yang realistis. Bahkan mengkhayalkannya dengan sifat-sifat tertentu yang lazin dengan yang diimaninya sehingga dapat menjerumuskannya kepada keesesatan dan kemusyrikan. Penyembahan terhadap berhala, khurafat, dan lain sebagainya tak lain dan tak bukan adalah akibat dari salahnya perasaan hati ini. Oleh karena itu Islam tidak membiarkan perasaan hati (wijdan) ini sebagai satu-satunya jalan menuju iman. Islam telah menjadikan akal sebagai penyeimbang dalam proses keimanan. Dengan demikian akal memiliki peranan yang sangat penting dalam proses keimanan.

Proses perenungan atas ‘masalah besar’ dan pemahaman tentang alam, kehidupan, dan manusia; alam sebelum dan sesudah kehidupan dunia; serta hubungan antara ketiga unsur tersebut dengan keduanya tidak lepas dari peranan akal.

Al-Qur’an telah banyak menyatakan pandangannya tentang benda-benda alam semesta dan penciptaan manusia sebagai jalan pembuktian keberadan Sang Pencipta, yang tentunya tidakakan lepas dari peranan akal.

Firman Allah :

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tandfa (ayat-ayat) bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran : 190)

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah diciptakannya langit dan bumi serta berlain-lainnya bahasa dan warna kulitmu…….”(QS. Ar-Rum : 22)

“Apakah mereka tidak memperhatina unta, bagaimana ia diciptakan? Dan langit, Bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan?” (QS. Al-Ghasyiyah : 17-20)

“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apa ia diciptakan. Dia diciptakan dari air yang memancar, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan” QS. Ath-Thariq : 5-7)

Dari beberapa ayat tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa sudah seharusnya setiap muslim menjadikan imannya betul-betul lahir dari proses berpikir, penelitian dengan disertai dali-dalil yang menguatkannya. Akan tetapi perlu disadari bahwa akal manusia memiliki kemampuan yang terbatas. Akal manusia hanya mampu membuktikan keberadaan sesuatu yang tidak terjangkau olehnya apabila ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk atasnya. Dengan keterbatasannya, yang hanya mampu mengidentifikasi sesuatu yang dapat dideteksi dengan panca indera, maka petunjuk yang dapat digunakan dalam pembuktian eksistensi sesuatu yang tidak terjangkau olehnya adalah petunjuk-petunjuk yang mampu diindera. Kenyataannya ketiga unsur (manusia, alam, dan kehidupan) itu dapat terjangkau oleh panca indera manusia, sehingga akal menggunakan informasi yang diperolehnya mengenai ketiga unsur tersebut di atas sebagai landasan dalam proses menuju iman.

Dengan keterbatasan akalnya tersebut, Islam melarang manusia untuk berpikir langsung tentang dzat Allah. Sebab, manusia memiliki kecenderungan (bila ia hanya menduga-duga tanpa memiliki acuan kepastian) menyerupakan Allah Swt. dengan suatu makhluk. Dalam hal ini Rasulullah Saw. bersabda :

“Berpikirlah kamu tentang makhluq Allah, tetapi jangan kamu berpikir tentang dzat Allah. Sebab kamu tidak akan sanggup mengira-kira tentang hakikat-Nya yang sebenarnya.” ([2])

Akal manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang dzat Allah yang sebenarnya,begitu pula tentang bagaimana Allah Swt. melakukan aktivitas-Nya. Dzat Allah bukanlah materi yang bisa diukur. Kita hanya dibebani kewajiban untuk percaya dengan sifat-sifat Allah yang disampaikan-Nya melalui wahyu yang diturunkan kepada utusan-Nya.

Apabila didapati suatu ayat Al-Qur’an ataupun sabda Rasulullah yang memberitakan tentang dzat dan aktivitas Allah Swt., maka manusia tidak diperkenankan untuk membahas dan menta’wilkannya sesuai dengan kemampuan akalnya. Lebih baik hal tersebut diserahkan kepada Allah, karena hal itu memang di luar jangkauan logika manusia. Itulah yang dilakukan oleh para shahabat, tabi’in dan ulama’ salaf. Imam Ibnu Al-Qayyim berkata,([3])

“Para sahabat berbeda pendapat dalam beberapa masalah. Pada hal mereka adalah ummat yang dijamin sempurna imannya. Tetapi Al-hamdulillah, mereka tidak pernah terlibat pertentangan paham satu sama lain dalam menghadapi masalah asma Allah, perbuatan-perbuatan Allah, sifat-sifat-Nya. Mereka menetapkan apa yang diutarakan Al-Qur’an dengan suara bulat. Mereka tidak menta’wilkannya, juga tidak memalingkan pengertiannya.”

Ketika Imam Malik ditanya tentang persemayaman-Nya (istawa), beliau lama tertunduk dan bahkan mengeluarkan keringat. Lalu mengangkat kepala dan berkata,([4])

“Persemayaman itu bukanlah suatu yang tidak diketahui. Juga kaifiyah (cara)nya bukanlah hal yang dapat dipahamkan. Sedangkan menimaninya adalah wajib, tetapi menanyakannya adalah bid’ah”

Begitulah jalan yang ditempuh para salafu ash-shalih, Imam Asy-Syafi’ie, Muhammad Abdul Hasan Asy-Syaibani, Imam Ahmad bin Hambal, dan lain-lain.



B. Iman Kepada Adanya Yang Maha Pencipta

Sesungguhnya setiap orang yang mau menggunakan akalnya akan mampu memahami bahwa dibalik segala sesuatu yang ada di jagad raya ini terdapat suatu dzat yang menciptakannya. Bukti tentang adanya dzat Pencipta tersebut dapat dipahamkan sebagai berikut.

Bahwa pada dasarnya segala sesuatu yang dapat diindera (dilihat, didengar, diraba, dirasakan, dibaui) pastilah akan terjangkau oleh akal manusia. Segala sesuatu yang terindera tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga unsur, yaitu manusia, alam semesta, dan kehidupan. Ketiga unsur tersebut bersifat terbatas, lemah, serba kurang dan saling membutuhkan ssatu sama lain. Misalnya manusia, ia akan tumbuh dan berkembang tergantung terhadap segala sesuatu sampai suatu batas yang tidak dapat dilampainya lagi, ia selalu membutuhkan segala sesuatu yang telah tersedia di alam. Begitu pula alam yang merupakan kumpulan dari benda-benda angkasa yang bersifat terbatas. Dengan segala sifat terbatasnya ini, maka sangatlah mustahil apabila ketiga unsur tersebut bersifat azaliy (tidak berawal dan tidak berakhir). Manusia hidup hanya dalam beberapa tahun saja, dan pada akhirnya alam dan kehidupan ini pun akan mengalami kehancuran (fana’ = tidak kekal)

Secara logika, di balik semua ini tentu ada “dzat lain” yang menciptakan dan mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan ketiga unsur tersebut. Dzat lain inilah yang bersifat azaliy, yang menciptakan manusia, alam, dan kehidupan.

Dalam menentukan sifat “dzat lain” (Pencipta) ini terdapat tiga kemungkinan. Pertama, Ia diciptakan oleh yang lain. Kedua, Ia menciptakan dirinya sendiri. Ketiga, Ia bersifat azaliy, wajibul wujud.

Kemungkinan pertama yang menyatakan bahwasanya Ia diciptakan oleh yang lain adalah kemungkinan yang bathil (salah), tidak dapat diterima oleh akal. Bagaimana mungkin sesuatu yang diciptakan oleh sesuatu yang lain akan memiliki sifat yang tidak terbatas? Demikian pula kemungkinan yang kedua yang menyatakan bahwa Ia menciptakan dirinya sendiri adalah sesuatu yang tidak logis. Sebab, dalam satu saat yang sama Ia menjadi pencipta dan sesuatu yang diciptakannya. Sudah pasti kemungkinan ini adalah sesuatu yang tidak dapat diterima oleh akal manusia. Maka dari itu, Pencipta (Khaliq) haruslah bersifat azaliy, tidak berawal dan tidak berakhir, tidak diciptakan oleh sesuatu yang lain dan wajib adanya (wajibul wujud). Dialah Allah Swt. Yang Maha Awal dan Yang Maha Akhir.

Iman yang lahir dari proses berpikir, mencari, memperhatikan, dan menjadikan akal sebagai penyeimbang adalah keimanan yang sempurna. Apabila perasaan hati (wijdan) yang muncul diiringi dengan proses pemahaman akal yang logis dan disertai dalil-dalil yang menguatkannya, maka akan semakin menguatkan keimanan dan keyakinan akan keberadaan Sang Khaliq dengan segala sifat kesempurnaan-Nya.

Dengan demikian, iman kepada Allah adalah beriman kepada keberadaan (eksistensi = wujud) Allah sebagai Sang Khaliq yang menjadi penyebab mula (causa prima) atas adanya manusia, kehidupan dan alam semesta. Allah pula yang mengatur seluruh proses yang terjadi di jagad raya ini. Sebagai Khaliq, tentunya Allah memiliki sifat-sifat kesempurnaan yang mustahil dimiliki oleh makhluq-Nya. Karenanya, keimanan kepada Allah harus pula disertai keimanan kepada sifat-sifat kesempurnaan-Nya yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, biasa disebut dengan Al-Asma’u al-Husna (nama-nama yang baik). Nama-nama tersebut adalah ciptaan Allah sendiri yang hanya layak dan sesuai untuk Dia sendiri. Suatu hal yang sangat logis, sebab tak ada satu makhluq pun di alam ini yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan tersebut.



C. Bukti-bukti Al-Qur’an adalah Kalam Allah

Di samping ingin mencari kebenaran yang hakiki tentang Al-Khaliq yang disembahnya, manusia juga memerlukan sebuah sistem yang telah ditetapkan oleh Khaliqnya. Untuk itu Allah Swt. telah menetapkan aturan-aturan bagi manusia agar memperoleh ketenangan dan ketenteraman dalam kehidupannya. Allah telah mengutus para nabi dan rasul untuk menyampaikan aturan-aturan yang telah ditetapkannya dalam lembaran-lembaran (shuhuf) maupun kitab.

Al-Qur’an adalah kitab terakhir yang diturunkan Allah Swt. sebagai petunjuk bagi seluruh ummat manusia. Bagaimana membuktikan bahwa Al-Qur’an memang datang dari Allah Swt. dapat dilakukan dengan melihat realitas yang telah terjadi selama ini. Al-Qur’an adalah sesuatu yang dapat diindera. Sebuah kitab yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. dalam Bahasa Arab, sehingga memunculkan berbagai sangkaan mengenai asal- usul Al-Qur’an ini. Setidaknya terdapat tiga prasangka tentang hal ini. Pertama, Al-Qur’an adalah hasil karya orang Arab yang dipublikasikan oleh Rasulullah Saw. Kedua, Al-Qur’an adalah hasil karya pribadi Rasulullah Muhammad Saw. yang tidak lain juga berasal dari tanah Arab. Ketiga, Al-Qur’an adalah benar-benar wahyu dari Allah Swt. yang diturunkan kepada Muhammad Saw.

Kemungkinan pertama yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah hasil karya orang Arab adalah sebuah sangkaan yang salah. Al-Qur’an telah menantang orang-orang dari tanah Arab untuk membuat yang serupa dengannya. Dan tidak seorang pun yang berhasil membuatnya. Sebagaimana dapat ditemukan dalam firman-Nya,

“…Buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an…….” (QS. Al-Baqarah : 23)

“Atau pantaskah mereka (orang-orang kafir) mengatakan : “Muhammad membuat-buatnya. Katakanlah, “ (Kalau benar yang kamu katakan itu) cobalah datangkan sebuah surat yang menyerupainya…….” (QS. Yunus : 38)

Ahli syair dan sastra Arab ternyata bungkam dengan tantangan tersebut. Pada hal pada masa itu, dunia bahasa dan sastra Arab tengah mengalami puncak keemasan dan kejayaan. Sampai-sampai ada pasar khusus, Ukads dan Dzil Majaz, sebagai tempat pertandingan menggubah sastra dan bahasa. Teks sastra yang memenanginya akan ditempelkan di dinding ka’bah (dikenal dengan nama Al-Mu’allaqot)

Memang pada masa itu muncul Musailamah Al-Kadzab yang menciptakan gubahan untuk menandingi ayat Al-Qur’an.

“Hai katak anak dari dua katak, berkuaklah sesukamu. Bagian atasmu di air dan bagian bawahmu di tanah.”

Seorang sastrawan Arab yang sangat masyhur, Al-Jahiz, mengomentari karya Al-Kadzab ini dalam kitabnya Al-Hayaawan :

“Aku tidak mengerti apakah gerangan yang menggerakkan jiwa Musailamah menyebut kata katak dan sebagainya itu. Alangkah kotornya gubahan yang dikatakannya sebagai ayat Al-Qur’an yang turun kepadanya sebagai wahyu.”

Sejarah mencatat, bahwa orang Arab dengan segala keunggulan kesusatraannya sampai saat ini tidak ada yang mampu membuat yang semisal dengan Al-Qur’an, walau satu surat saja. Dengan demikian sangatlah mustahil bila Al-Qur’an adalah hasil karya orang Arab.

Selain itu, dapat pula dilihat dari adanya perbedaan kesusastraan Bahasa Al-Qur’an dengan kesusastraan yang biasa dipakai oleh bangsa Arab. Hal-hal yang tidak pernah ada dalam kesusatraan Arab akan tetapi dapat ditemukan dalam Al-Qur’an adalah :

1. Adanya huruf-huruf yang terpotong (Al-Hurufu al Muqotho’ah) akan tetapi memiliki makna. Misalnya : Alif Laam Miiim, Yaa Siin. Kaaf Haa Yaa ‘Ain Shaad, dsb.

2. Berbentuk seperti prosa, akan tetapi memiliki sanjak/rima tertentu.

3. Berbentuk prosa berjudul yang kontinyu, perpindahan dari topik ke topik sangat smood, halus dan tidak terasa.

Kemungkinan kedua yang menyangkakan bahwa Al-Qur’an adalah hasil karya Rasulullah Saw. sebenarnya sudah terbantahkan dengan kenyataan bahwa Rasulullah juga berasal dari tanah Arab. Hal-hal lain yang menguatkan bathilnya sangkaan kedua ini adalah :

1. Beliau mempunyai hadits yang gaya bahasanya jauh berbeda dengan gaya bahasa Al-Qur’an.

2. Adanya kalimat perintah yang ditunjukkan dengan lafazh : qul ( ), nabbi’ ( ), basysyir ( ), dsb. Suatu hal yang mustahil, apabila Muhammad memerintahkan pada dirinya sendiri. Kenapa tidak langsung dilaksanakan saja?

3. Adanya teguran terhadap Rasulullah. Misalnya : QS. Al-Kahfi :23-24, Al-Ahzab : 37, Al-Anfal : 67, At-Taubah : 84, dsb.)

4. Adanya beberapa pengetahuan tentang segala sesuatu yang belum pernah terungkap sebelumnya, pada hal Rasulullah tidak pernah melakukan aktivitas pencarian informasinya tentangnya. Misalnya : Proses terjadinya reproduksi manusia (QS. Al-Mu’min : 67, QS. Al-Hajj : 5, QS. Al-Mu’minun : 12-14), Pusat peredaran planet (QS. Yaa Siin : 37-40), dsb.

Dengan bukti-bukti itu jelaslah bahwa Al-Qur’an bukanlah hasil karya orang Arab yang dipublikasikan oleh Rasulullah dan bukan pula karya pribadi beliau sendiri. Maka satu-satunya kepastian adalah Al-Qur’an merupakan Kalam Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebagaimana telah ditegaskan sendiri dalam Al-Qur’an :

“Dan kalau Al-Qur’an itu bukan datang dari sisi Allah, niscaya mereka menemukan banyak pertentangan” (QS. An-Nisa’ : 81)

“Turunnya Al-Qur’an yang tiada keraguan di dalamnya itu adalah dari Tuhan (Allah), Pengatur sekalian alam.” (QS. As-Sajdah : 2)

Dengan keimanan terhadap Al-Qur’an ini, berarti segala sesuatu yang diberitakannya wajib pula diimani kebenarannya, baik itu terjangkau akal maupun tidak. Sebagaimana masalah-masalah hari qiyamat, mughoyyabat (malaikat, surga, neraka, dsb.) dan lain-lain. Dengan demikian ummat Islam tidak akan seperti Yahudi dan Nashrani yang hanya mengimani sebagian dan tidak mengimani sebagian yang lain.

Firman Allah Swt.,

“Apakah kalian beriman kepada sebagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat.” (QS. Al-Baqarah : 85)

Dengan demikian keimanan terhadap Al-Qur’an membawa konsekwensi untuk melaksanakan segala peraturan (syari’at) yang telah terangkum di dalamnya. Oleh karena itu, keingkaran terhadap hukum-hukum syar’iy baik keseluruhan atau sebagian dapat menyebabkan seseorang menjadi kafir, baik itu berkaitan dengan ibadah, mu’amalah, uqubat, maupun yang lainnya.



Wa Allahu bi ash-Showab.
paulusjancok
paulusjancok
BLUE MEMBERS
BLUE MEMBERS

Male
Number of posts : 809
Age : 36
Humor : Yesus nggak pake sempak...hanya orang GOBLOK yang menyembahnya
Reputation : 1
Points : 6480
Registration date : 2011-08-12

Back to top Go down

Back to top

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum