MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME

Join the forum, it's quick and easy

MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME
MURTADIN_KAFIRUN
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Latest topics
» Yeremia 23 & Ulangan 13 mengisyaratkan Muhammad nabi palsu
kritik terhadap jahiliyah modern EmptyFri 02 Feb 2024, 5:21 pm by buncis hitam

» kenapa muhammad suka makan babi????
kritik terhadap jahiliyah modern EmptyWed 31 Jan 2024, 1:04 am by naufal

» NYATA & FAKTA : TERNYATA YESUS PILIH MENGAULI KELEDAI DARIPADA WANITA!!! (sebuah penghinaan OLEH PAULUS)
kritik terhadap jahiliyah modern EmptyFri 12 Jan 2024, 9:39 pm by Uwizuya

» SORGA ISLAM RUMAH PELACUR ALLOH SWT...........
kritik terhadap jahiliyah modern EmptyTue 02 Jan 2024, 12:48 am by Pajar

» Moon Split or Islamic Hoax?
kritik terhadap jahiliyah modern EmptyWed 13 Dec 2023, 3:34 pm by admin

» In Islam a Woman Must be Submissive and Serve her Husband
kritik terhadap jahiliyah modern EmptyWed 13 Dec 2023, 3:32 pm by admin

» Who Taught Allah Math?
kritik terhadap jahiliyah modern EmptyWed 13 Dec 2023, 3:31 pm by admin

» BISNIS GEREJA YUUUKZ....LUMAYAN LOH UNTUNGNYA....
kritik terhadap jahiliyah modern EmptyWed 05 Jul 2023, 1:57 pm by buncis hitam

» ISLAM: Palsu, Maut, Tak Akan Tobat, Amburadul
kritik terhadap jahiliyah modern EmptySun 07 May 2023, 9:50 am by MANTAN KADRUN

Gallery


kritik terhadap jahiliyah modern Empty
MILIS MURTADIN_KAFIRUN
MURTADIN KAFIRUNexMUSLIM INDONESIA BERJAYA12 Oktober Hari Murtad Dari Islam Sedunia

Kami tidak memfitnah, tetapi menyatakan fakta kebenaran yang selama ini selalu ditutupi oleh muslim untuk menyembunyikan kebejatan nabinya

Menyongsong Punahnya Islam

Wadah syiar Islam terlengkap & terpercaya, mari sebarkan selebaran artikel yang sesungguhnya tentang si Pelacur Alloh Swt dan Muhammad bin Abdullah yang MAHA TERKUTUK itu ke dunia nyata!!!!
 

Kebrutalan dan keberingasan muslim di seantero dunia adalah bukti bahwa Islam agama setan (AJARAN JAHAT,BUAS,BIADAB,CABUL,DUSTA).  Tuhan (KEBENARAN) tidak perlu dibela, tetapi setan (KEJAHATAN) perlu mendapat pembelaan manusia agar dustanya terus bertahan

Subscribe to MURTADIN_KAFIRUN

Powered by us.groups.yahoo.com

Who is online?
In total there are 52 users online :: 0 Registered, 0 Hidden and 52 Guests :: 1 Bot

None

[ View the whole list ]


Most users ever online was 354 on Wed 26 May 2010, 4:49 pm
RSS feeds


Yahoo! 
MSN 
AOL 
Netvibes 
Bloglines 


Social bookmarking

Social bookmarking reddit      

Bookmark and share the address of MURTADINKAFIRUN on your social bookmarking website

Bookmark and share the address of MURTADIN_KAFIRUN on your social bookmarking website


kritik terhadap jahiliyah modern

Go down

kritik terhadap jahiliyah modern Empty kritik terhadap jahiliyah modern

Post by paulusjancok Mon 22 Aug 2011, 12:28 am

Kritik terhadap Jahiliah Modern
Muqaddimah fi Fiqhil-Jaahiliyyatil-Mu'aashirah (Pengantar Fikih Jahiliah Modern), yang diterbitkan di Kairo pada 1968, merupakan salah satu buku yang memuat kritik transparan terhadap kehidupan Jahiliah Modern. Buku ini membongkar kebobrokan masyarakat Jahiliah Modern, baik struktur maupun elemennya.12
Pada salah satu bagian terpenting buku ini, penulis menegaskan, "Dalam negara Islam, masyarakat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu masyarakat Islam dan masyarakat nonmuslim. Masyarakat Islam adalah pemilik dan penguasa negara serta pelaksana perkara semua orang dengan adil. Sedangkan masyarakat nonmuslim digolongkan sebagai ahlu ahd dan ahlu dzimmi (jika mereka memilih bergabung dengan negara Islam)."
Mereka harus tetap memegang perjanjian yang telah disepakati, dan kaum muslimin pun harus berbuat baik kepada mereka karena mereka berada di bawah kekuasaan Islam. Jika mereka tidak bersedia mematuhi ketentuan ini, maka mereka digolongkan sebagai ahlu harb (pihak musuh). Penulis buku ini mendasarkan argumennya pada surat at-Taubah: 29, "Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir" (hlm. 58).
Abdul Jawad Yasin mengkritik pemikiran nasionalisme yang berpandangan bahwa semua orang, baik pemeluk Islam, Kristen, Yahudi, dan bahkan ateis, harus diberlakukan sama. Padahal hukum Islam tidak memandang demikian. "Mereka (kaum nonmuslim, --peny.) tidak dapat disamakan seperti itu karena syariat Islam menetapkan aturan yang berbeda terhadap mereka dibandingkan dengan aturan terhadap kaum muslimin, meskipun mereka harus tetap mendapatkan hak-hak perjanjian, tanggungan perlindungan, dan perlakuan baik di lingkungan Islam. Jaminan itu diberikan selama mereka tidak memerangi dan mengusir kaum muslimin dari teritorialnya," tegasnya.
Penulis buku ini menambahkan, "Bagi minoritas Kristen di Mesir dipersilakan membahas persatuan nasional mereka. Maka mereka tidak perlu membayar pajak kepala. Akan tetapi, di bawah naungan negara Islam, tidak ada yang boleh menghindar dari pajak, tidak ada persekongkolan dalam hukum, dan tidak ada ketergantungan terhadap nonmuslim dalam pengaduan dan jihad. Nonmuslim terus berada dalam kondisi terbaik di bawah kekuatan, kebesaran, kebaikan, kehormatan, dan toleransi Islam. Dalam pengertian, mereka berada dalam kondisi ideal yang mendorong mereka memasuki Islam tanpa paksaan (hlm. 59).
Ia mengupas teks materi ke-40 Undang-Undang Mesir yang menyebutkan, "Semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan undang-undang, mereka dipersamakan dalam hak-hak dan kewajiban-kewajiban umum. Mereka tidak dibedakan karena perbedaan kelamin, asal usul, bahasa, agama, dan kepercayaan."
Menanggapi teks tersebut, ia mengatakan, "Teks itu merupakan cetak biru kepercayaan negara sekular." Sementara dalam negara Islam, seperti disebutkannya, "Agama dan kepercayaan merupakan satu-satunya parameter yang membedakan manusia" (hlm. 97).
Pendapatnya ini didasarkan pada pandangan Sayyid Quthub dalam azd-Dzilal mengenai tafsir ayat al-muwaalaat, "Bahwa negara yang hendak dicirikan dengan sebenarnya-benarnya oleh Islam tidak memiliki ciri apa pun kecuali menjadikan Islam sebagai dasar perbedaan etnis dan parameter perubahan hukum antar manusia."
Pandangan ini dibangun di atas dasar pemikiran, "Jika masyarakat menurut teks perundang-undangan terdiri atas warga negara, maka unsur pembentuknya adalah kaum muslimin. Sedangkan golongan nonmuslim yang memasuki (menjadi warga) negara ini dikategorikan sebagai ahlu dzimmah. Kelompok pertama (masyarakat dalam pengertian umum,-peny.) disandarkan pada bumi tumpah darahnya, sedangkan kelompok kedua (masyarakat Islam) disandarkan pada kekuasaan Allah Yang Maha Besar ... Tipe masyarakat yang kedua ini mempunyai ikatan persaudaraan secara teologis, bukan secara geografis sebagaimana dipedomani oleh masyarakat jahiliah" hlm. 101).
Front Islam di Sudan dan Hizbut-Tahrir
Untuk menjelaskan posisi aliran-aliran gerakan Islam kontemporer dari perspektif problem persamaan hak, tampaknya penulis perlu membahas dua kelompok selanjutnya, yaitu Front Islam Nasionalis di Sudan dan Hizbut-Tahrir al-Islam yang giat mempengaruhi terlaksananya perjanjian antara Yordan dan Palestina.
Penulis hendak membahas butir ke-10 Undang-Undang Front Islam Nasionalis di Sudan tentang pasal khusus mengenai tujuan politik dan perundang-undangan. Teks tersebut menyatakan, "Salah satu prinsip Front adalah membentuk hak-hak eksistensi keagamaan kalangan nonmuslim. Mereka berhak memperoleh kebaikan, keadilan, toleransi dalam muamalah, persamaan hak-hak politik dan peradaban, kebebasan berkepercayaan dan beribadah, serta kemerdekaan dalam sistem al-ahwal asy-syakhsyiyyah dan pendidikan agama."13
Dalam penjelasan terakhir yang diterbitkan selepas pembentukan Front Islam Nasionalis pada Juli 1985, dikemukakan bahwa Front tidak mempersempit keterlibatan nonmuslim dalam sektor-sektor pemakmuran kehidupan dunia yang memungkinkan kerja sama antarmanusia secara menyeluruh" (hlm. 26).
Ketua Umum Front Islam Nasionalis, Dr. Hasan ath-Thurabi, mengatakan di depan kongres pendirian organisasi ini, "Kita tentu berharap agar penduduk dan warga negara merasa tenteram, termasuk Ahli Kitab pada umumnya dan masyarakat Kristen khususnya. Ini karena dasar-dasar agama kita --yang lebih dekat dengan dasar-dasar agama mereka-- memberi keluasan kepada kita dan mereka, sedangkan undang-undang lain di muka bumi tidak memberi keluasan seperti itu. Baik kita maupun mereka merupakan pemilik risalah samawi yang didasarkan pada mata rantai para Rasul... Baik kita maupun mereka serupa dalam keimanan, akhlak, ibadah, dan tanggung jawab di hadapan-Nya... Diantara syarat-syarat keimanan bagi kaum muslimin adalah memelihara unsur-unsur hubungan keagamaan, menghormati risalah-risalah samawi, dan tidak membeda-bedakan para Rasul Allah."
Ia pun menerangkan tentang Front, "Hal ini merupakan prakarsa seperti yang pernah dilakukan pada masa lalu, yakni pemberlakuan dasar-dasar dan hukum-hukum Islam yang mengandung ajaran kebebasan akidah, kebudayaan, kehidupan kaum muslimin dan Ahli Kitab yang memegang akidah masing-masing ... Dasar-dasar syariat Islam menjamin hak-hak umum warga negara, baik kaum muslimin maupun nonmuslim, selama mereka berkomitmen terhadap kewajiban-kewajiban umum serta saling memberikan loyalitas antar sesama warga negara. Mereka mempunyai hak dan kewajiban seperti kita. Bahkan Islam tidak berhenti pada rincian hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang adil, melainkan melampaui keadilan undang-undang menuju keutamaan persaudaraan, kebaikan, dan keadilan."14
Setelah penulis meneliti Undang-Undang Front Islam Nasionalis pada penjelasan terakhir dan pidato ketua umumnya, penulis berpendapat bahwa undang-undang ini menekankan persamaan hak-hak politik antar warga negara, baik muslim maupun nonmuslim. Berbagai dokumen Front Islam Nasionalis tidak mengandung isyarat apapun mengenai perjanjian terhadap ahlu dzimmah atau masalah pajak kepala.
Mengenai Hizbut-Tahrir, penulis menemui pandangan yang inkonsisten. Kelompok ini mengungkapkan berbagai program undang-undang negara Islam yang dirancang para pemimpinnya. Di dalam rancangan itu disebutkan bahwa konsep-konsep yang mereka canangkan diambil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.15 Berikut penulis kutipkan beberapa program yang berkaitan dengan topik persamaan hak antara kaum muslimin dan nonmuslim, yaitu:
Pasal 20: Pengontrolan penguasa Islam adalah hak mereka. Merupakan fardhu kifayah bagi orang-orang Islam dan nonmuslim --yang telah berhak--untuk mengajukan pengaduan bila melihat ketidakadilan para penguasa atau menerima perlakuan tidak wajar dari penguasa Islam.
Pasal 103: Setiap warga negara yang telah dewasa dan berakal, baik pria maupun wanita dan muslim atau nonmuslim, berhak menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hanya saja, keanggotaan nonmuslim terbatas pada masalah pengaduan ketidakadilan penguasa atau pemberlakuan penguasa (atau masyarakat) Islam yang tidak wajar terhadap masyarakat yang diwakilinya.
Pasal 105: Syura merupakan hak orang-orang Islam saja. Sedangkan mengeluarkan pendapat merupakan hak semua warga negara, baik muslim maupun nonmuslim.
Pasal 140: Ahli dzimmi dibebani pembayaran jizyah (pajak kepala). Jizyah diambil dari pria dewasa selama mereka mampu membayarnya, tidak diambil dari wanita dan anak-anak.
Pasal 142: Mencukupkan pembayaran pajak biasa yang diperbolehkan syariat untuk mengisi baitul-mal (kas negara) dari kaum muslimin. Sedangkan warga nonmuslim tidak dikenai pajak ini secara mutlak dan hanya dikenai pajak kepala.
Penulis berpendapat bahwa rancangan undang-undang ini berupaya keras memperluas peluang kerja sama politik. Hal itu dapat dilihat pada pasal 21 yang memperbolehkan berdirinya partai politik serta diperbolehkannya wanita memasuki Majelis Permusyawaratan Rakyat dan melakukan seluruh hak musyawarah. Akan tetapi, dalam hal ini berbeda dengan peluang yang diberikan kepada nonmuslim
Penulis pernah membaca tulisan seorang peneliti muda mengenai universitas-universitas Islam kontemporer yang dikirimkan kepada Universitas Islam di Madinah al-Munawarah. Dalam hasil penelitian itu antara lain dibahas mengenai Hizbut-Tahrir yang memberikan kesempatan kepada nonmuslim di MPR untuk mengadukan ketidakadilan penguasa muslim. Sang peneliti tidak menyetujui pemikiran tersebut dengan alasan bahwa MPR merupakan salah satu bagian penting dari pemerintahan Islam, maka tidak sah mengangkat orang kafir sebagai anggotanya, karena dapat terjadi ia memerintah si muslim. Peneliti itu menjelaskan bahwa MPR bertugas membahas kebijakan-kebijakan pemerintahan Islam. Lalu bagaimana mungkin rahasia-rahasia majelis diserahkan kepada orang kafir lantaran dia adalah anggota MPR?16
Undang-undang Iran dan Jami'at Islami Pakistan
Ada dua gerakan Islam di luar Arab yang tak dapat dilupakan, yakni revolusi Islam di Iran dan Jamaah Islam di Pakistan. Penulis berusaha menjelaskan keduanya sebatas tersedianya sumber-sumber yang ada pada penulis.
Beberapa pasal Undang-Undang Iran menjelaskan posisi warga nonmuslim, yakni sebagai berikut.17
Pasal 3: Tujuan pemerintah adalah menjamin kebebasan politik dan sosial dalam batas undang-undang, menghilangkan diskriminasi yang tidak adil, dan memberikan kesempatan kepada semua warga negara dalam semua sektor, material maupun immaterial.
Pasal 12: Aliran resmi di Iran adalah Syi'ah Ja'fariyah atau Syi'ah Dua Belas. Aliran-aliran Islam lain dan mazhab Hanafi, Syafi'i, Maliki, Hambali, dan Zaidi juga dihargai. Mengikuti aliran-aliran tersebut --dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam sesuai dengan pemahamannya-- diperbolehkan secara bebas. Aliran-aliran ini memperoleh panduan resmi dan di bawah pengawasan dalam masalah pendidikan, pengajaran Islam, dan ahwalusy-syakhshiyyah (bagian dari hukum privat, --pent.), serta hal-hal yang terkait dengannya, seperti masalah peradilan.
Pasal 13: Orang-orang Iran Zaradesyt, Yahudi, dan Nasrani sebagai kelompok minoritas agama memperoleh kebebasan melaksanakan ajaran agama masing-masing dalam lingkup undang-undang. Mereka berhak beramal sesuai dengan kaidah-kaidah ahwalusy-syakhshiyyah dan ajaran-ajaran agama.
Pasal 14: Merujuk pada ayat Al-Qur'an (yang terjemahannya adalah) sebagai berikut. "Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil" (al-Mumtahanah: Cool. Oleh karena itu, pemerintah Republik Islam Iran dan kaum muslimin wajib bergaul dengan kalangan nonmuslim berdasarkan sunnah secara wajar, adil, dan islami. Kaum nonmuslim harus mendapatkan hak-hak kemanusiaannya. Pasal ini berlaku bagi mereka yang tidak melakukan aktivitas apa pun yang berlawanan dengan Islam atau Republik Islam Iran.
Pasal 64: Kelompok Zaradest dan Yahudi, Nasrani Asyuri dan Kaldani, dan Nasrani Arman di utara dan selatan Iran masing-masing berhak mengangkat seorang wakil dalam MPR Islam. Jika populasi kelompok minoritas bertambah, mereka berhak mendapatkan tambahan jatah seorang wakil untuk setiap 150.000 jiwa setiap sepuluh tahun.
Pasal 67: Pengambilan sumpah wakil rakyat menggunakan Al-Qur'an, sedangkan wakil minoritas dengan Kitab Sucinya masing-masing.18
Dari undang-undang di atas dan aturan-aturan Republik Islam Iran lainnya, penulis tidak menemukan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip persamaan hak antar warga negara. Penulis berpendapat bahwa redaksi undang-undang tersebut memberikan penegasan pada perlindungan terhadap semua pihak tanpa kecuali. Akan tetapi, penulis melihat kekhususan undang-undang itu, yakni bahwa kaum nonmuslim tidak dilibatkan dalam bidang politik, meskipun mereka berhak menjadi anggota MPR. Ini karena dari 270 anggota MPR hanya ada 4 orang wakil nonmuslim. Jumlah sekecil itu pun tidak dapat memasuki berbagai panggung politik seperti partai, parlemen, dan badan legislatif.
Revolusi Islam di Iran merupakan hal yang fenomenal, sebab, menurut keyakinan kaum Syi'ah, Republik Islam Iran merupakan negara bermazhab Ja'fari yang pertama kali didirikan sejak dua belas abad, yakni sejak bersembunyinya Imam mereka yang ke-12. Selama itu, mazhab Ja'fari tetap survive meskipun Bani Buwaihi, sebagian raja Persia, dan kaum Safawi berusaha melenyapkan mereka. Akan tetapi, pada periode itu, kekuasaan tidak dibangun di atas pundak para mullah (fuqaha/pakar yurisprudensi Islam) dan konsep Wilayatul-Faqih (Kepemimpinan Para Fuqaha) belum dielaborasi. Konsep ini baru dimunculkan pada Revolusi Islam Iran pada 1979.
Karena dilatarbelakangi oleh keinginan historis untuk mendirikan negara yang dikuasai para fuqaha, maka konsep-konsep politik Republik Islam Iran senantiasa terbuka. Mereka tidak keberatan menerima partisipasi nonmuslim dalam pemerintahan, bahkan dalam teks undang-undang tidak terdapat persyaratan bahwa perdana menteri atau menteri harus beragama Islam.
Dalam penelitian lapangan, penulis menemukan bahwa kekhususan sikap terhadap nonmuslim ini tidak terbatas pada pemberian kesempatan kepada mereka untuk terlibat dalam pemerintahan saja, melainkan hingga pada membantu umat Islam dalam merumuskan kebijakan-kebijakan politik, meskipun jumlah wakil mereka di MPR hanya tujuh orang.
Maka peneliti yang menyadari kenyataan ini akan mengkonstatir bahwa kaum muslim dan nonmuslim saling bekerja sama dengan berlandaskan pada persamaan hak dalam kehidupan politik dan peradaban seperti yang direfleksikan oleh realitas Islam kontemporer. Pernah dikatakan bahwa pemerintah Republik Islam Iran memperlakukan kaum Yahudi dan Baha'i dengan buruk. Sebenarnya hal tersebut tidak dilakukan karena mereka Yahudi dan Baha'i, melainkan karena keduanya menentang revolusi Islam secara langsung maupun tidak langsung. Kalangan nonmuslim lain terbukti hidup berdampingan secara damai dan wajar dengan masyarakat Islam dan memberikan kontribusi signifikan dalam kegiatan perdagangan khususnya.
Karenanya, kita perlu menggarisbawahi bahwa dalam eksperirnen revolusi di Iran, undang-undang disusun dengan memuat prinsip-prinsip persamaan hak antara muslim-nonmuslim dalam politik dan peradaban. Undang-undang Republik Islam Iran memberikan hak suara dan pencalonan diri sebagai anggota MPR kepada kaum nonmuslim, sebagaimana dikonsepkan pula oleh kelompok-kelompok Islam lainnya.
Marilah kita menengok sikap Jami'at Islami Pakistan mengenai topik ini. Pandangan-pandangan pendiri organisasi ini, Abul A'la al-Maududi, senantiasa menjadi frame of reference bagi generasi berikutnya, sebagaimana pengaruh pemikiran Hasan al-Banna terhadap para tokoh penerusnya di lingkungan al-Ikhwan al-Muslimun.
Sebagai rujukan, penulis menggunakan dua tulisan Abul A'la al-Maududi, yakni Tadwiinud-Dustuuril-Islaami (Penyusunan Undang-undang Islami) yang ditulis pada 1952 dan Huquuqu Ahludz Dzimmahfii ad-Daulah al-Islaamiyyah (Hak-hak Ahlu Dzimmah di Negara Islam) yang terbit pada 1948 dalam suasana pembentukan undang-undang negara Pakistan yang baru lahir. Kedua tulisan ini dipublikasikan dalam bunga rampai tulisan Abul A'la al-Maududi dengan topik Sistem Politik Negara Islam.19
Abul A'la al-Maududi mendasarkan pemikirannya pada prinsip, "Kita tidak menemui fakta pada masa kenabian dan khilafah rasyidah yang menyatakan bahwa ahlu dzimmah dapat memilih dan menjadi anggota MPR, memilih kepala pemerintahan negara, qadhi, menteri, gubernur, atau panglima angkatan bersenjata, dan diperbolehkan menyampaikan pendapat dalam pemilihan khalifah. Padahal ahlu dzimmah sudah terdapat pada zaman Rasulullah saw., bahkan jumlahnya mencapai puluhan juta jiwa di masa kekhilafahan rasyidah. Seandainya mereka berhak ikut serta dalam urusan-urusan tersebut, tentu Rasulullah saw. telah memberikan hak tersebut kepadanya dan para sahabat setelah periode Nabi saw. pun akan melakukan hal yang sama." (hlm. 303)
Abul A'la al-Maududi berpendapat bahwa undang-undang Islam membagi masyarakat nonmuslim atas tiga kategori, yaitu: 1. Kelompok yang masuk dalam naungan negara Islam melalui transaksi perdamaian atau perjanjian. 2. Kelompok yang ditaklukkan dalam pertempuran. 3. Kelompok yang berintegrasi ke dalam negara Islam tanpa melalui dua jalur di atas.
Ia menegaskan bahwa Islam menjamin seluruh hak dan kebebasan nonmuslim, kecuali dalam sebagian hak berpolitik sebagaimana diulas sebelumnya. Ia berulang-ulang menyatakan, "Orang-orang yang tidak beriman terhadap prinsip-prinsip Islam tidak berhak mengurus masalah pemerintahan atau menjadi anggota MPR. Mereka pun tidak dapat memilih tokoh-tokoh calon wakil rakyat." Akan tetapi ditambahkannya, "Mereka diberi hak-hak keanggotaan dan suara dalam majelis-majelis lokal, sebab majelis-majelis ini tidak berurusan langsung dengan sistem kehidupan. Mereka bertugas mengurus masalah-masalah untuk merealisasikan keperluan-keperluan lokal." (hlm. 359-360)
Catatan Penutup
Mengakhiri pembahasan ini, penulis mengemukakan beberapa catatan sebagai berikut.
Pertama, sesungguhnya kita mengutamakan studi pendahuluan mengenai hubungan muslim-nonmuslim dalam perspektif keadilan, bukan persamaan hak. Ini karena keadilan berarti memberikan hak kepada penerimanya secara total dan proporsional dalam konteks situasi dan kondisi objektif yang melingkupinya, sedangkan persamaan hak sering diartikan sebagai kesamaan antara dua pihak baik dalam bentuk maupun isi. Melenyapkan simbol-simbol persamaan hak antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas dalam pemerintah, misalnya, bisa dianggap menodai makna keadilan.
Masyarakat Islam telah digiring oleh propaganda persamaan hak kepada kondisi tanpa diskriminasi antara kaum muslimin dan Kristen dalam tugas-tugas yang berlabel keagamaan atau hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan (ideologi).
Sebagai contoh persamaan hak, kita mendengar suara-suara yang menuntut diperbolehkannya pria Ahli Kitab menikahi kaum muslimah. Argumentasi yang dibangun adalah bahwa pria muslim diperbolehkan menikahi wanita Ahli Kitab, maka sebaliknya pun diperbolehkan.
Menurut pendapat penulis, pemikiran tersebut tidak tepat bila ditinjau dari perspektif keadilan, sebab seorang muslim yang menikahi wanita Ahli Kitab, secara syar'i, dituntut untuk menghormati keyakinan sang isteri.
Terjadi selisih pandangan para fuqaha mengenai masalah ini. Sebagian fuqaha berpendapat bahwa sebaiknya seorang suami muslim tidak menekan isterinya yang Ahli Kitab dalam urusan keislaman sehingga tidak dituduh memaksa. Sebagian lagi mengatakan bahwa suami dituntut menjaga keamanan isterinya dalam perjalanan menuju ke gereja. Sedangkan sebagian lagi berpendapat bahwa suami muslim tidak berhak melarang isteri meminum khamar, karena hal itu diperbolehkan agamanya, meskipun sang suami diperbolehkan memberikan nasihat kepadanya.
Keadaannya akan lain bila pria Ahli Kitab menikahi wanita muslim. Ini karena Ahli Kitab tidak mengakui eksistensi agama Islam termasuk masalah kerasulan Muhammad saw. Sangat besar kemungkinannya, mereka akan merusak komitmen wanita muslim terhadap ajaran agamanya atau bahkan mengeluarkannya dari Islam! Na'uzu billahi min dzaalik!
Dalam kondisi tersebut dan kasus-kasus sejenisnya, tesis persamaan hak menjadi simbol dan parameter yang tidak reliabel, sedangkan keadilan merupakan parameter yang lebih objektif dan valid.
Kita berbincang tentang sistem dan klasifikasi, bukan prioritas dan diskriminasi. Penjelasan tentang fenomena kelompok-kelompok sebaiknya berangkat dari kesadaran akan konsep ini. Tujuan kita tetap menghormati seluruh hak dalam bingkai komitmen yang total dengan perspektif keadilan dan kewajaran.
Kedua, membedakan syariat dari fikih. Maksud penulis, membedakan antara ketentuan Al-Qur'an danAs-Sunnah yang bersifat mengikat dengan ijtihad manusia yang sama sekali tidak mengikat dan selalu disandarkan pada penggagasnya. Dalam menghadapi fikih, sebaiknya kita mempertimbangkannya kembali dengan parameter syariat. Bila sejalan dengan teks syariat dan maksud sebenarnya, maka kita boleh menerimanya, tetapi jika bertentangan dengan syariat, kita harus menolaknya.
Misalnya, Al-Qur'an menyatakan bahwa menjaga kemuliaan manusia merupakan salah satu tema penting dalam ajaran Islam. Islam menjelaskan bahwa kita harus berlaku baik terhadap seluruh manusia yang tidak sewenang-wenang terhadap kaum muslimin atau memfitnah Islam. Maka setiap perbincangan atau ijtihad mengenai nonmuslim harus dikembalikan kepada parameter-parameter dan aturan-aturan ini. Bila tidak sejalan dengan parameter-parameter tersebut, berbagai pemikiran itu terbuka untuk dikritik dan disanggah.
Ketiga, lapangan ijtihad fikih tentang kedudukan nonmuslim sangat luas. Seorang peneliti dapat mendalami studinya dengan mempelajari seluruh pandangan dan hipotesis, baik yang positif maupun yang negatif. Hal itu bukanlah suatu kelemahan, melainkan pertanda kesuburan fikih Islam dan tradisi yang tak terbatas.
Keluasan pandangan itu tidak membuat kita menjadi picik, selama kita bersandar pada parameter hukum yang berupa teks-teks syariat dan kaidah-kaidah ushul fikih. Akan tetapi, yang perlu diperhatikan adalah mengapa dalam kondisi tertentu lahir tradisi berpikir yang melahirkan ijtihad yang toleran dan moderat, sedangkan dalam kondisi lain tidak banyak ijtihad yang dihasilkan, melainkan yang memberatkan dan "keras"?
Penulis telah mengupas dua penafsiran mengenai ayat Al-Qur'an surat al-Maidah: 51 yang berkaitan dengan hubungan muslim-nonmuslim. Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpinpemimpin(mu)..." Syekh Muhammad al-Ghazali dan Dr. Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa ayat tersebut merupakan ajakan untuk tidak bekerja sama dengan orang-orang nonmuslim yang memusuhi umat Islam.
Sedangkan Sayyid Quthub berpandangan bahwa ayat tersebut merupakan hukum yang berlaku umum yang mengajak kaum muslimin memisahkan diri dari orang-orang Yahudi dan Nasrani. Penafsiran Sayyid Quthub diikuti oleh gerakan Jamaah Jihad. Penafsiran tersebut juga mencuri perhatian para pemikir lain, menyebar luas, dan menjadi tesis yang paling banyak diikuti oleh umat Islam dewasa ini.
Bukankah kita harus mempelajari situasi-kondisi yang mendorong perlunya pemisahan tegas antara muslim-nonmuslim dan memutar haluan berpikir ke arah panggilan sikap yang baik dan saling mencintai antar sesama manusia?
Bukankah kita perlu memperluas wilayah kajian agar dapat memahami watak periode buruk yang pernah dilalui umat Islam dan unsur-unsur negatifnya?
Keempat, agar kita dapat menempatkan masalah ini secara proporsional, sebaiknya kita mengingat kembali satu hal, yakni kelompok-kelompok kebangkitan Islam yang cenderung bersikap keras terhadap nonmuslim berangkat dari sikap keras pula yang bahkan tak jarang ditujukan kepada sebagian kaum muslimin sendiri. Kelompok-kelompok itu sendiri yang membangun pemikiran kejahiliahan masyarakat dan propaganda saling mengkafirkan.
Kerancuan pola pikir sebagian muslimin terhadap umat Islam lainnya justru tidak lebih lunak dari sikap mereka terhadap kaum nonmuslim. Buku-buku Islam yang penulis teliti, isinya hanya menghakimi umat Islam yang tak sepaham. Bagian inilah yang masih membutuhkan kajian tersendiri.
Penulis tidak ingin memberikan perhatian khusus terhadap studi ini, sebab persoalannya terlampau besar. Salah satu sudut yang penulis analisis ini merupakan bagian dari topik yang sangat luas. Penanganan topik besar tersebut dan solusinya sebaiknya diteliti oleh pakar politik dan ilmuan-ilmuan lain.
Titik pemberangkatan studi yang penulis tawarkan adalah: mengapa para pemuda Islam tertarik pada tesis-tesis yang dominan dan "keras"? Apakah hal ini merupakan fenomena fundamentalisme atau fenomena kebenaran?
Kelima, kepakaran peneliti yang membahas masalah hubungan muslim-nonmuslim tidaklah memadai kecuali bila ia mengakui urgensi penganalisisan topik secara lebih luas dan komprehensif, tidak hanya merumuskan hal-hal yang sudah jelas seperti masalah kewarganegaraan, etnis, dan transaksi ahli dzimmi.
Melainkan penelitian itu juga bertujuan menjernihkan khazanah Islam dari berbagai distorsi dan meninjau kembali sebagian produk ijtihad fikih yang penulis anggap tidak lebih utama daripada pengungkapan hukum-hukum syariat dan tujuan-tujuannya (maqaashid). Literatur yang secara spesifik membahas topik ini adalah buah pikir seorang pakar yurisprudensi Islam, Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, yang bertajuk Ahkaamu Ahluz-Zimmah. Buku tersebut ditulis dalam situasi Perang Salib dan invasi pasukan tempur Tartar ke Dunia Islam.
Kita tidak boleh melupakan kesungguhan dan penelitian para pakar dalam bidang ini, terutama karya Syekh Muhammad al-Ghazali dan Dr. Yusuf Qardhawi, Dr. Abdul Karim Zaidan tentang hukum mengenai ahli zimmi dan orang-orang yang dilindungi, Dr. Muhammad Fathi Utsman mengenai hak-hak manusia dalam Islam dan seruannya untuk mengadakan pengkajian ulang dalam bidang fikih khusus tentang nonmuslim, Dr. Shubhi Mahmashani tentang Islam dan hubungan antar negara, Prof. Ismail Raji al-Faruqi tentang hak-hak nonmuslim di negara Islam, dan Muhammad Jalal Kasyak yang menulis buku Khawathirul Muslim fi Mas'alatil-'Aqalliyyat.
Penulis telah mendeskripsikan berbagai upaya serius di bidang pemikiran untuk mengungkap masalah persamaan hak antar warga negara. Akan tetapi kemampuan menggagas ide saja tidaklah cukup, sebab yang penting adalah bagaimana ide-ide itu dapat diterima. Umat Islampun membutuhkan berbagai kompetensi lain yang dibutuhkan untuk mencari relevansi antara ide-ide dan masa depan.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Catatan Kaki
1 Hasan al-Banna, Majmu'atur-Rasaail, (Beirut: Mu'assasatur-Risaalah), hlm. 207.
2 Ibid., hlm. 236
3 Ibid, hlm. 228
4 Hasan al-Banna, Muzakkiraatud-Da'wah wad-Daa'iyah, hlm. 224
5 Dialog-dialog ini dilakukan di antara Hasan al-Banna dengan Muhammad Hamid Abu Naser (pembimbing al-Ikhwan al-Muslimun saat itu), Farid Abdul Khaliq (staf Kantor Pembinaan yang lalu pada periode Hasan al-Banna), dan Shalah Syadi (salah seorang pemimpin al-Ikhwan al-Muslimun pada periode awal).
6 Cetakan Darul Kutub al-Haditsah, Kairo, cetakan ke-3, 1965.
7 Cetakan Maktabah Wahbah, Kairo, cetakan ke-1, 1977
8 Cetakan Darus Syuruq, Beirut, cetakan ke-10, tanpa tahun.
9 Tanpa penerbit. Buku ini diterbitkan dalam rangka memperingati 50 Tahun al-Ikhwan al-Muslimun.
10 Fiidzilaalil-Qur'an, jilid 3, hlm. 1620
11 Ibid., jilid 2, hlm 907
12 Buku ini merupakan karya seorang qadhi muda, Abdul Jawad Yasin, dan diterbitkan oleh Daruz-Zahra, Kairo.
13 Undang-Undang Front Islam Nasionalis, hlm. 7
14 Lihat Dr Hasan ath-Thurabi, Pidato Ketua Umum Front Islam Nasionalis, Publikasi Front, Sudan, hlm. 9-10.
15 Merupakan kutipan dari rancangan undang-undang susunan Hizbut-Tahrir yang dicetak bersama tanggapan mereka terhadap Rancangan Undang-undang Iran yang diajukan kepada para pemimpin Iran pada 1979.
16 Tulisan tersebut adalah karya Husain Muhammad Jabir yang dimuat dalam Ath-Tharfiiq ila Jama'atil-Muslimin, Kuwait, Darud-Dakwah, cetakan 2, hlm. 310
17 Penulis menggunakan sumber terjemahan berbahasa Arab dari undang-undang yang dikeluarkan oleh Kementerian Irsyaad al-Islami, Teheran, 1403 H.
18 Berbeda dengan Republik Islam Iran, dalam rangka menerapkan syariat Islam, di Sudan pada era kepemimpinan Numery, pengambilan sumpah terhadap anggota MPR baik muslim maupun nonmuslim, dilakukan dengan menggunakan Al-Qur'an. Ketentuan ini dimasukkan dalam UndangUndang Sudan tahun 1985.
19 Bunga rampai tulisan tersebut berjudul Nazariyyatul-Islaam wa Hadyuhu fii as-Siyaasah wa al-Qaanuan wa ad-Dustuur, diterbitkan di Beirut oleh Mu'assasah Risalah pada 1969.

Kebangkitan Islam dalam Perbincangan Para Pakar
(As-Shahwatul Islamiyah Ru'yatu Nuqadiyatu Minal Daakhili)
Penerbit GEMA INSANI PRESS
Jl. Kalibata Utara 11 No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388

http://www.isnet.org/~djoko/Islam/Bangkit/Huwaidi4.html
paulusjancok
paulusjancok
BLUE MEMBERS
BLUE MEMBERS

Male
Number of posts : 809
Age : 36
Humor : Yesus nggak pake sempak...hanya orang GOBLOK yang menyembahnya
Reputation : 1
Points : 6480
Registration date : 2011-08-12

Back to top Go down

Back to top

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum