MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME

Join the forum, it's quick and easy

MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME
MURTADIN_KAFIRUN
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Latest topics
» Yeremia 23 & Ulangan 13 mengisyaratkan Muhammad nabi palsu
pentingnya akidah islam EmptyFri 02 Feb 2024, 5:21 pm by buncis hitam

» kenapa muhammad suka makan babi????
pentingnya akidah islam EmptyWed 31 Jan 2024, 1:04 am by naufal

» NYATA & FAKTA : TERNYATA YESUS PILIH MENGAULI KELEDAI DARIPADA WANITA!!! (sebuah penghinaan OLEH PAULUS)
pentingnya akidah islam EmptyFri 12 Jan 2024, 9:39 pm by Uwizuya

» SORGA ISLAM RUMAH PELACUR ALLOH SWT...........
pentingnya akidah islam EmptyTue 02 Jan 2024, 12:48 am by Pajar

» Moon Split or Islamic Hoax?
pentingnya akidah islam EmptyWed 13 Dec 2023, 3:34 pm by admin

» In Islam a Woman Must be Submissive and Serve her Husband
pentingnya akidah islam EmptyWed 13 Dec 2023, 3:32 pm by admin

» Who Taught Allah Math?
pentingnya akidah islam EmptyWed 13 Dec 2023, 3:31 pm by admin

» BISNIS GEREJA YUUUKZ....LUMAYAN LOH UNTUNGNYA....
pentingnya akidah islam EmptyWed 05 Jul 2023, 1:57 pm by buncis hitam

» ISLAM: Palsu, Maut, Tak Akan Tobat, Amburadul
pentingnya akidah islam EmptySun 07 May 2023, 9:50 am by MANTAN KADRUN

Gallery


pentingnya akidah islam Empty
MILIS MURTADIN_KAFIRUN
MURTADIN KAFIRUNexMUSLIM INDONESIA BERJAYA12 Oktober Hari Murtad Dari Islam Sedunia

Kami tidak memfitnah, tetapi menyatakan fakta kebenaran yang selama ini selalu ditutupi oleh muslim untuk menyembunyikan kebejatan nabinya

Menyongsong Punahnya Islam

Wadah syiar Islam terlengkap & terpercaya, mari sebarkan selebaran artikel yang sesungguhnya tentang si Pelacur Alloh Swt dan Muhammad bin Abdullah yang MAHA TERKUTUK itu ke dunia nyata!!!!
 

Kebrutalan dan keberingasan muslim di seantero dunia adalah bukti bahwa Islam agama setan (AJARAN JAHAT,BUAS,BIADAB,CABUL,DUSTA).  Tuhan (KEBENARAN) tidak perlu dibela, tetapi setan (KEJAHATAN) perlu mendapat pembelaan manusia agar dustanya terus bertahan

Subscribe to MURTADIN_KAFIRUN

Powered by us.groups.yahoo.com

Who is online?
In total there are 93 users online :: 0 Registered, 0 Hidden and 93 Guests :: 1 Bot

None

[ View the whole list ]


Most users ever online was 354 on Wed 26 May 2010, 4:49 pm
RSS feeds


Yahoo! 
MSN 
AOL 
Netvibes 
Bloglines 


Social bookmarking

Social bookmarking reddit      

Bookmark and share the address of MURTADINKAFIRUN on your social bookmarking website

Bookmark and share the address of MURTADIN_KAFIRUN on your social bookmarking website


pentingnya akidah islam

Go down

pentingnya akidah islam Empty pentingnya akidah islam

Post by paulusjancok Fri 12 Aug 2011, 1:27 pm

Sesunggungya agama islam adalah aqidah dan syari’ah.

Adapun yang dimaksud dengan aqidah, yaitu setiap perkara yang dibenarkan oleh jiwa yang denfgannya hati menjadi tentram serta menajdi keyakinan bagi para pemeluknya , tidak ada keraguan dan kebimbangan bagi pemeluknya



Sedangkan yang dimaskud syariah adalah tugas-tugas yang diembankan oleh islam seperti shoslat, zakat, puasa, berbakti kepada orng tua dan lainnya.



Landasann aqidah islamiyah adalah beriman kepada allah , malikat2nya, kitab2nya, para rasulnya, hari akhir, dan beriman kepada qodo ( takdir)nya, yang baik ataupun yang biruk. Firman allah :

“ bukanlah menghadapkan wajahmu kearah timur dan barat itu suatu kebajikan , akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada allah, hari kemudian, malaikat2, kitab2 dan nabi2. (al baqoroh :177)



“ sesunguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran dan perintah kami hanyalah satu, perkataan seperti kejapan mata. (al qomar 49-50).



sabda nabi “ iman adah hendaknya enggkau percaya pada allah, malaikat2, kitab2, rasulnya, hari kemudian dan percaya keppada qodo (takdir) yang baik maupun yang buruk ) ( HR muslim)



pentinggnya aqidah islamiyah



pentinggnya aqidah islamiyah tanpak dalam banyak hal; diantaranya adlah:

1. bahwasanya kebutuhan kit terjjhadap aqidah adalah diatas segala kebutuhan, dan kepentingan kita trerhadap aqihadh adaklah diatas segala kepentingan. Sebab tidak ada kebahagiaan , kenikmatan, dan kegembiraan gbagi hati kecuali dengan beribadah kepada allh rab pencipta segala sesuatu.
2. bahwasanya aqidah islamiyah ddadalah kewajiban yang paling besar dann yang paling ditetkannkan , karna itu, ia adalah sesuatu yang pertama kali diwajibkan kepaada manusia. Rasulullah saw. Besrsabsdda:
3. aku diperintiah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada sesembahna yang ahk kecuali allah dan bahwa muhammada adalah utusan allah (HR Bukhori dan Muslim)
4. bahwa akiqh islamiyah aladalah satu-satunya aqidah yang dbisa mewujudkan kweamana dan kedamaina, kebahagian dan kegembiraan, “ tidak demikian bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepda allah sedang isa berbuat kebajikan , baginya pahala pada sisi tuhannya dan tidak ada kekuatirnan terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati albaqoroh 112. demikian pula , hanya aqidah islamiyalah satu-satunya aqidah yang bisa mewujudakan kecukupan dan kesejahteraan . allah berfirman” jiaklau sekitranya penduduk nnergerui-nergeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumu al a’raf 96
5. sesunggunhnya aqidah islamiyah adalah seab sehingga bisa berkuaasa sdi muka bukmi dan sebab bagi berdirinya daulah islamiyah “ dan sungguh teklah kami tulis didalam zabur sesudah kami tulis dalam Lauz magfuzg bahwasanya biumi ini dipusakai hamba-hambaku yang sholeh.



By DR abdul aziz bin muhammad abdul lathif

Disadur dari kitab “ta’limi lil mubtadi’in”
paulusjancok
paulusjancok
BLUE MEMBERS
BLUE MEMBERS

Male
Number of posts : 809
Age : 36
Humor : Yesus nggak pake sempak...hanya orang GOBLOK yang menyembahnya
Reputation : 1
Points : 6471
Registration date : 2011-08-12

Back to top Go down

pentingnya akidah islam Empty Re: pentingnya akidah islam

Post by paulusjancok Fri 12 Aug 2011, 2:30 pm

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya: "Dan barangsiapa menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya" (An-Nisa': 69).

Pendahuluan

Nilai suatu ilmu ditentukan oleh kandungan ilmu tersebut. Semakin besar nilai manfaatnya semakin penting untuk dipelajari. Ilmu yang paling penting adalah ilmu yang mengenalkan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala , Sang Pencipta. Sehingga orang yang tidak kenal Allah Subhanahu wa Ta'ala disebut kafir. Adakah yang lebih bodoh daripada orang yang tidak mengenal yang menciptakannya?

Allah menciptakan manusia dengan seindah-indahnya dan selengkap-lengkapnya dibanding dengan makhluk/ciptaan lainnya. Kemudian Allah bimbing mereka dengan mengutus para RasulNya (Menurut hadits yang disampaikan Abu Dzar bahwa jumlah para Nabi sebanyak 124.000 semuanya menyerukan kepada Tauhid (diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam At-Tarikhul Kabir 5/447 dan Ahmad dalam Al-Musnad 5/178-179). Sementara dari jalan sahabat Abu Umamah disebutkan bahwa jumlah para Rasul 313 (diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al-Maurid 2085 dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu'jamul Kabir 8/139) agar mereka berjalan sesuai dengan kehendak Sang Pencipta melalui wahyu yang dibawa oleh Sang Rasul.

Orang yang menerima disebut mu'min, orang yang menolaknya disebut kafir serta orang yang ragu-ragu disebut munafik yang merupakan bagian dari kekafiran.

Begitu pentingnya aqidah ini sehingga Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wasalam, penutup para Nabi dan Rasul membimbing ummatnya selama 13 tahun ketika berada di Mekkah dengan menekankan masalah aqidah ini. Karena aqidah adalah landasan semua tindakan. Dia dalam tubuh manusia ibarat kepalanya. Maka apabila suatu ummat sudah rusak, bagian yang harus direhabilitasi adalah aqidah lebih dahulu. Di sinilah pentingnya aqidah ini. Apalagi ini menyangkut kebahagiaan dan keberhasilan dunia dan akhirat. Dialah kunci menuju Surga.

Aqidah secara bahasa berarti sesuatu yang mengikat. Secara definisi aqidah adalah suatu keyakinan yang mengikat hati manusia dari segala keraguan. Aqidah menurut istilah syara' (agama) yaitu keimanan kepada Allah, Malaikat-malaikat, Kitab-kitab, para Rasul, Hari Akhirat, dan keimanan kepada takdir Allah yang baik maupun buruk. Ini disebut Rukun Iman.

Syariat Islam terdiri dua pangkal utama. Pertama: Aqidah yaitu keyakinan pada rukun iman itu, letaknya di hati dan tidak ada kaitannya dengan cara-cara perbuatan (ibadah). Bagian ini disebut pokok atau asas. Kedua: Perbuatan yaitu cara-cara amal atau ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan seluruh bentuk ibadah . Bagian ini disebut cabang. Nilai perbuatan ini baik buruknya, diterima atau tidaknya bergantung yang pertama, yaitu aqidah. Sehingga syarat diterimanya ibadah itu ada dua, pertama : Ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta'ala yaitu berdasarkan aqidah Islamiyah yang benar. Kedua : Mengerjakan ibadahnya sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Ini disebut amal shalih. Ibadah yang memenuhi satu syarat saja, umpamanya ikhlas saja, tetapi tidak mengikuti petunjuk Rasulullah n maka tertolak. Sebaliknya mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam saja tapi tidak ikhlas, karena ingin dipuji manusia, umpamanya, maka amal tersebut juga tertolak. Inilah makna yang terkandung dalam firman Allah yang artinya: "Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutu-kan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya." (Al-Kahfi: 110).

Perkembangan Aqidah

Pada masa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, aqidah bukan merupakan disiplin ilmu tersendiri karena masalahnya sangat jelas dan tidak terjadi perbedaan-perbedaan faham, kalaupun terjadi langsung diterangkan oleh beliau.

Namun, pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib timbul pemahaman -pemahaman baru seperti kelompok Khawarij yang mengkafirkan Ali dan Muawiyah karena melakukan tahkim lewat utusan masing-masing yaitu Abu Musa Al-Asy'ari dan Amru bin Ash. Timbul pula kelompok Syiah yang menuhankan Ali bin Abi Thalib dan timbul pula kelompok dari Irak yang menolak takdir dipelopori oleh Ma'bad Al-Juhani yang dibantah oleh Ibnu Umar karena menyimpang dari kebenaran. (Riwayat ini dibawakan oleh Imam Muslim, lihat Syarh Shahih Muslim oleh Imam Nawawi, jilid 1 hal. 126) Para ulama menulis bantahan-bantahan dalam karya mereka. Terkadang aqidah juga digunakan dengan istilah Tauhid, Ushuluddin (pokok-pokok agama), As-Sunnah (jalan yang dicontohkan Nabi Muhammad), Al-Fiqhul Akbar (fiqih terbesar), Ahlus Sunnah wal Jamaah (mereka yang menetapi sunnah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan berjamaah) atau terkadang menggunakan istilah Ahlul Hadits atau Salaf yaitu mereka yang berpegang atas jalan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dari generasi pertama sampai generasi ketiga yang mendapat pujian dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Ringkasnya : Aqidah Islamiyah yang shahih bisa disebut Tauhid, fiqih akbar, dan Ushuluddin. Sedangkan manhaj (methode) dan contohnya adalah Ahlul Hadits, Ahlul Sunnah dan Salaf.

Bahaya Penyimpangan Aqidah

Penyimpangan aqidah yang terjadi pada seseorang berakibat fatal dalam seluruh kehidupannya, bukan saja di dunia tetapi berlanjut sebagai kesengsaraan yang tidak berkesudahan di akhirat kelak. Dia akan berjalan tanpa arah yang jelas, penuh dengan keraguan dan menjadi pribadi yang sakit personaliti. Biasanya penyimpangan itu disebabkan oleh sejumlah faktor di antaranya :

1. Tidak menguasai pemahaman aqidah yang benar karena kurangnya pengertian dan perhatian. Akibatnya berpaling dan tidak jarang menyalahi bahkan menentang aqidah yang benar.

2. Fanatik kepada peninggalan adat dan keturunan. Karena itu dia menolak aqidah yang benar. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang ummat terdahulu yang keberatan menerima aqidah yang dibawa oleh para Nabi yang artinya: "Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Ikutlah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami." (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk." (Al-Baqarah : 170).

3. Taklid buta kepada perkataan tokoh-tokoh yang dihormati tanpa melalui seleksi yang tepat sesuai dengan argumen Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sehingga apabila tokoh panutannya sesat, maka ia ikut tersesat.

4. Berlebihan (ekstrim) dalam mencintai dan menyanjung orang shalih yang sudah meninggal dunia, sehingga menempatkan mereka setara dengan Tuhan, atau dapat berbuat seperti perbuatan Tuhan. Hal itu terjadi karena anggapan bahwa mereka merupakah penengah (wasithah) antara dia dengan Allah. Kuburan-kuburan mereka dijadikan tempat meminta, bernadzar dan berbagai ibadah yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah. Demikian itu pernah dilakukan oleh kaum Nabi Nuh alaihi salam ketika mereka mengagungkan kuburan para shalihin. Lihat Surah Nuh 23 tentang perkataan kaum Nuh, yang artinya: "Dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr."

5. Lengah dan acuh tak acuh dalam mengkaji ajaran Islam disebabkan silau terhadap peradaban Barat yang materialistik itu. Tak jarang mengagung-kan para pemikir dan ilmuwan Barat serta hasil teknologi yang telah dicapainya sekaligus menerima tingkah laku dan kebudayaan mereka.

6. Pendidikan di dalam rumah tangga, banyak yang tidak berdasar ajaran Islam, sehingga anak tumbuh tidak mengenal aqidah Islam. Padahal Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam telah memperingatkan, yang artinya: "Setiap anak terlahirkan berdasarkan fithrahnya, maka kedua orang tuanya yang meyahudikannya, menashranikannya, atau memajusikannya" (HR. Al-Bukhari). Apabila anak terlepas dari bimbingan orang tua, maka anak akan dipengaruhi oleh program televisi yang menyimpang, lingkungannya, dan lain sebagainya.

7. Peranan pendidikan resmi tidak memberikan porsi yang cukup dalam pembinaan keagamaan seseorang. Bayangkan, apa yang bisa diperoleh dari dua jam pelajaran dalam, seminggu pada pelajaran agama. Itupun dengan informasi yang kering. Ditambah lagi mass media baik cetak maupun elektronik banyak tidak mendidik ke arah aqidah, bahkan mendistorsinya secara besar-besaran.

Tidak ada jalan lain untuk menghindar bahkan menyingkirkan pengaruh negatif dari hal-hal yang disebut di atas kecuali dengan mendalami, memahami dan mengaplikasikan Aqidah Islamiyah yang shahih agar hidup kita dapat berjalan sesuai kehendak Sang Khaliq demi kebahagiaan dunia dan akhirat kita. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Surah An-Nisa' 69 yang artinya: "Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." (An-Nisa': 69).

Dan firmanNya: "Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (An-Nahl: 97).

Faedah Mempelajari Aqidah Islamiyah

Karena Aqidah Islamiyah bersumber dari Allah yang mutlak, maka kesempurnaannya tidak diragukan lagi. Berbeda dengan filsafat yang merupakan karya manusia, tentu banyak kelemahannya. Faedah yang akan diperoleh orang yang menguasai Aqidah Islamiyah adalah:

1. Membebaskan dirinya dari ubudiyah/ penghambaan kepada selain Allah, baik bentuknya menghamba kepada kekuasaan, harta, pimpinan maupun lainnya.

2. Membentuk pribadi yang seimbang yaitu selalu taat kepada Allah, baik dalam keadaan suka maupun duka.

3. Dia merasa aman dari berbagai macam rasa takut dan cemas. Takut kepada kurang rizki, terhadap jiwa, harta, keluarga, jin dan seluruh manusia termasuk takut mati. Sehingga dia penuh tawakkal kepad Allah.

4. Aqidah memberikan kekuatan kepada jiwa, sekokoh gunung. Dia hanya berharap kepada Allah dan ridha terhadap segala ketentuan Allah.

5. Aqidah Islamiyah adalah asas ukhuwah (persaudaraan) ukhuwah dan persamaan. Tidak berbeda antara miskin dan kaya, antara pejabat dan rakyat jelata, antara kulit putih dan hitam dan antara Arab dan bukan, kecuali takwanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. (Farid Achmad Okbah).
paulusjancok
paulusjancok
BLUE MEMBERS
BLUE MEMBERS

Male
Number of posts : 809
Age : 36
Humor : Yesus nggak pake sempak...hanya orang GOBLOK yang menyembahnya
Reputation : 1
Points : 6471
Registration date : 2011-08-12

Back to top Go down

pentingnya akidah islam Empty Re: pentingnya akidah islam

Post by paulusjancok Fri 12 Aug 2011, 2:40 pm

INDONESIA-A
ISLAMIYYAH
-----------------------------------------------------------------------
Aqidah Aswaja dan Pembangunan Manusia
Upaya Menemukan Aqidah Alternatif bagi Kebangkitan Umat Islam.
Moh. Najib Buchori, Lc*
Kemunduran Islam oleh banyak kalangan sering dihubung-hubungkan dengan
pandangan keagamaan yang bersumber dari aqidah. Aqidah yang dianut
mayoritas Muslim saat itu dituduh sebagai tak mampu menyangga kejayaan
Islam yang telah dibangun sejak lama. Atas dasar itulah sarjana-sarjana
Muslim mulai mencari alternatif yang mampu menjadi penyangga kokoh bagi
bangunan besar.
Pada masa Islam klasik, perdebatan Aqidah masih berada pada tingkat
perdebatan filosofis. Aqidah diposisikan sebagai kewajiban I=92tikady
seorang hamba terhadap Tuhannya tanpa melihat implikasinya pada
pembentukan mental manusia.
Berbeda dengan dulu, sarjana-sarjana Muslim modern melihat aqidah tidak
saja dalam kerangka penunaian kewajban tapi juga dalam fungsi Aqidah
dalam membangun dalam membangun sebuah peradaban dengan mengatakan
Sesung-guhnya Aqidah Islamiyah dalam pandangannya terhadap hakekat
wujud, manusia dan alam merupakan ide bagi pembentukan peradaban Islam,
karena peradaban adalah buah dari ide-ide manusia dalam memandang alam.
Dan sepanjang masa aqidalah yang akan menggerakkan umat manusia menuju
sebuah peradaban 1. Lebih dari itu, menurut Hasan Hanafi Aqidah bisa
menjadi ide dasar bagi munculnya perilaku-perilaku manusia, Beliau
menjelaskan: Tauhid menjadi kekuatan dalam kehidupan di bumi ini dan ia
mempunyai fungsi praktis untuk melahirkan prilaku dan keyakinan yang
kuat mentrasformasikan kehidupan sehari-hari dan sistem sosialnya. 2
Secara sosiologis, Aqidah yang dipersonifikasikan dalam ideal-ideal
agama merupakan faktor diterminan bagi dinamika sosial. Dalam
masyarakat relegius, prilaku manusia akan didasarkan pada pertimbangan
agama. Begitu pula struktur politik, ekonomi dan kebudayaan ditentukan
oleh prilaku mereka dalam mencapai cita-cita ideal agama. Penelitian
Max Weber yang dituangkan dalam karya agungnya; The Protestan Ethic And
Spirit Of Capitalism menunjukkan adanya konsistensi logis dan pengaruh
motivisional yang bersifat mendukung secara timbal balik antara agama
(etika Protestan) dan movifasi-motivasi ekonomi (semangat Kapitalisme).
3
Di kalangan sarjana muslim sendiri kebudayaan Islam yang tinggi pada
zaman klasik disebut sebagai refleksi dinamika sosial yang lahir dari
keyakinan serta pandangan keagamaan yang berpusat pada Aqidah.
Temuan-temuan baru dibidang sains tekhnolgi dan pemikiran keagamaan
semuanya lahir dalam iklim kondusif yang terbentuk oleh
pandangan-pandangan keagamaan yang bersumber dari aqidah. Pada kutub
berseberangan, Aqidah dalam bentuk keyakinan dan pandangan keagamaan
juga bisa menjadi sumber utama statika sosial.
Di Eropa, pemberontakan terhadap dominasi agama pada abad pertengahan
dilakukan karena agama, dalam bentuk yang dipahami penganutnya,
dianggap membelenggu kreativitas, menghambat kreatifitas, menghambat
produktifitas dan tidak mampu bertindak sebagai motivator bagi
terciptanya kemajuan. Lahirlah gerakan sekulerisme untuk mengajarkan
agama dalam tempat peribadatan dan menidaklayakkannya sebagai way of
life. Lebih Ekstrim lagi, Feurbech dan Karl Marx menganggap agama
sebagai =93Candu bagi Manusia=94.
Dalam dunia Islam, ketika keyakinan dan pandangan keagamaan
disalah-pahami sebagai preferensi kehidupan akhirat dan ketiadaan hukum
alam yang pasti terjadilah stagnasi. Keadaan ini diperparah dengan
sikap dan mental umat Islam yang menerima hasil pemikiran pendahulunya
sebagai taken for granted, dan karenanya tidak bisa diganggu gugat.
Maka, selama berabad-abad umat Islam mengalami masa kegelapan, dan baru
tersentak sadar ketika Eropa datang ke dunia dengan memperkenalkan
peradaban modernnya. Jadi Aqidah disamping merupakan Ibadah Ilmiyah
juga mempunyai fungsi strategis dalam pembentukan mental manusia yang
progresif dinamis maupun regresif statis.
Pertanyaan yang lalu muncul adalah bagaimana aqidah -yang notabene
adalah pemahaman manusia terhadap pesan-pesan Ilahi- dapat membentuk
mental progresif dinamis dan karakteristik aqidah progresif. Manusia
baik secara individual maupun kolektif, mempunyai sifat yang dinamis.
Tuhan membekali manusia dengan watak =93selalu ingin tahu=94 4 Dengan=
watak
tersebut akan selalu mengembara dengan akalnya untuk memenuhi hajat
rohaninya. Bahkan ketika manusia sudah sampai derajat yang paling
tinggi pun akan selalu haus dengan pengetahuan-pengetahuan baru. Nabi
Ibrahim yang sudah mencapai derajat kenabian masih memerlukan
pengetahuan tentang bagaimana Allah menghidupkan kembali orang yang
sudah mati.
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: =91Ya Tuhanku=
perlihatkanlah
kepadaku bagaimana engkau menghidupkan orang mati.=92 Allah
berfirman: =91Apakah kamu belum percaya ?=92 Ibrahim menjawab:=
=91Saya
telah percaya akan tetapi bertambah tetap hati saya...=94 5=92
Dalam perspektif filosofis, pernyataan Nabi Ibrahim keraguan positif
yang menandai awal kegiatan falsafi seseorang, dan kegiatan falsafi
adalah wujud dinamika intrinsik manusia. Dalam bentuknya yang kolektif,
yaitu masyarakat, manusia senantiasa mengalami perubahan dan oleh
karena itu juga bersifat dinamis. Dalam ilmu semantik disebut bahwa
bahasa suatu bangsa tiap seratus tahun mengalami perubahan, dan
perubahan dalam bahasa menggambarkan perubahan dalam masyarakat. 6
Jadi dalam diri manusia telah tersimpan potensi dinamis, dan untuk
mengaktualisasikan potensi tersebut dibutuhkan aqidah yang dapat
memberi-kan iklim kondusif bagi terciptanya dinamika yang intinya
meniadakan hambatan-hambatan bagi berjalannya dinamika dan sekaligus
merangsang pertumbuhannya. Dengan merujuk kepada arti etimologis
dinamika yang berarti gerak, maka menumbuhkan dinamika adalah
memberikan ruang dan keleluasaan bagi gerak manusia. Hal ini bisa
terwujud jika manusia dibebaskan dari ikatan-ikatan, baik ikatan
tradisi, dogma maupun ikatan kehendak yang mengikat. Dengan melepaskan
diri dari ikatan- ikatan, maka akan lahir kreatifitas dan dari
kreatifitas akan lahir produktifitas. Untuk membebaskan manusia dari
ikatan dogma dan tradisi maka ajaran agama harus dipilah menjadi ajaran
yang mutlak dan ajaran yang relatif. Ajaran yang kebenarannya bersifat
mutlak yaitu ajaran yang didasarkan pada dalil-dalil al-Qur=92an atau
Sunnah yang mutawatir. Selain itu juga, ajaran tersebut harus disikapi
sebagai hasil kreatifitas manusia yang bersifat relatif. Dengan
demikian sifat dinamis manusia tidak akan berhadapan dengan dogmatisme
agama yang statis. Dan untuk membebaskan manusia dari ikatan kehendak
yang memaksa, ia harus meyakini bahwa yang menentukan nasibnya adalah
dirinya sendiri. Dengan demikian manusia akan bersifat dinamis karena
adanya keyakinan bahwa ia menentukan masa depannya.
Terwujudnya dinamika juga menuntut syarat rasionalitas, yaitu
penggunaan akal pikiran oleh manusia dalam menemukan atau mendekati
kebenaran-kebenaran. Sebab tanpa rasionalitas manusia akan terjebak ke
dalam tradisi yang membelenggu kreatifitas. Dengan sikap rasional,
manusia tidak pantas mengoreksi hasil pemikiran terdahulunya lalu
merombaknya jika jelas- jelas ditemukan kesalahan di dalamnya. Begitu
pula sebaliknya, jika dalam pemikiran tersebut terkandung nilai
kebenaran maka dengan semangat rasional manusia akan meneruskan dan
mengembangkannya. Dengan sikap demikian, maka manusia akan mencapai
temuan-temuan baru tanpa harus terputus dari khazanah lama intelektual
lama. Jika liberalisasi dan rasionalisasi telah terpenuhi maka hal yang
mungkin terjanggal adalah cara pandang manusia yang mengutamakan
kehidupan setelah mati. Cara pandang seperti ini akan membuat orang
lebih mudah menyerah kepada kenyataan karena adanya harapan kebahagiaan
setelah mati; bahkan kemiskinan, penindasan dan kesengsaraan akan
dianggap sebagai nikmat yang tak perlu diubah. Dengan begitu dinamika
interistik manusia akan terhambat. Oleh karena itu pandangan yang
mengabaikan kehidupan dunia harus ditinggalkan. Jadi ada tiga hal yang
perlu diperlukan untuk menumbuhkan dinamika yaitu liberalisasi,
rasionalitas dan pandangan yang tidak mengabaikan dunia. Kemudian tiga
syarat yang telah terpenuhi untuk menumbuhkan dinamika harus mengandung
nilai spiritual yang mengantisipasi terjadinya krisis moral akibat
dinamika yang tidak terkendali. Sebab tanpa nilai spiritual manusia
tidak akan menemukan nilai kemanusiaannya. Seperti yang terjadi di
Eropa, sekularisme mampu mengem-bangkan semangat rasional tapi tak
mampu mengantisipasi krisis moral yang diakibatkannya. Manusia tidak
mampu menemukan kepuasan spritual di balik gemerlapnya peradaban.
Materialisme, anomi, alienasi, demoralisasi dan bunuh diri merupakan
akibat rasionalitas inmoral yang menciptakan organisasi yang birokratis
yang memenggal nilai-nilai kemanusiaan. Modernitas memang mampu
menciptakan keajaiban alam, tapi ia tak mampu menemukan nilai
kemanusiaan manusia.
Ketidak mampuan rasionalitas menyelesaikan masalah moral telah terbaca
Max Weber.Tidak seperti beberapa teori yang optimis di zaman itu,
pandangan Weber diwarnai oleh apa yang diistilahkan oleh Alvin Gouldner
"Penderitaan metafisik". Sementara Weber jelas terkesima oleh
perkembang-an-perkembangan instusional zamannya, rasa pesimisnya
tertuju pada nilai-nilai modern, kesadaran sosial dan pengalaman
subyektif suatu masyarakat rasional.
Persoalan yang dihadapi oleh manusia bahwa dunia sosial dan individunya
pada dasarnya telah menjadi begitu kecil. Kodifikasi hukum, ilmu
pengetahuan, organisasi rasional dapat membantu merumuskan sarana yang
sesuai untuk mencapai sasaran sosial serta tujuan hidup, namun prosedur
prosedur tersebut tidak dapat membantu untuk memilih di antara
nilai-nilai yang absolut atau tujuan yang bersaing. lImu pengetahuan
dapat membantu kita membuat keputusan moral bila dihadapkan kepada
berbagai rangkaian tindakan, akhirnya ilmu pengetahuan tidak menjadi
relevan pada masalah merumuskan hidup yang baik 7
Kecemasan Weber bukanlah satu-satunya di Eropa, Renedubos, seorang ahli
biologi dari Amerika dalam bukunya So Human An Animal mengungkapkan hal
yang senada, bahkan ia menuduh ilmu pengetahuan sebagai penghancur
nilai agama dan nilai filosofis tanpa memberikan alternatif yang mampu
memberikan pandangan rasional etis tentang alam.8 Demikianlah sejarah
Eropa mengajarkan kepada umat manusia bagaimana nilai spiritual harus
menjiwai seluruh aspek kehidupan manusia agar kemajuan yang dihasilkan
oleh semangat rasional itu tidak berbalik membunuh tuannya sendiri.
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa suatu peradaban agar
menjadi kokoh harus disanggah aqidah yang mengakui adanya kekuasaan
yang tertinggi, yaitu kekuasaan tuhan yang mengatasi kekuasaan manusia.
Ia harus diyakini telah menciptakan keteraturan alam yang dapat
dipahami oleh akal manusia dan memberikan kebebasan kepada manusia
untuk menentukan nasib sendiri. Dan bahwa keimanan terhadap kekuasaan
tertinggi harus dijabarkan secara implementatif dalam perbuatan manusia
baik ritual maupun sosial. Dengan demikian perbuatan-perbuatan yang
bersifat duniawi sebagai penistaan terhadap fitrah manusia justru
sebaliknya ia dipretensikan sebagai investasi untuk kehidupan di
akhirat kelak. Dalam kerangka keimanan dalam kekuasaan tertinggi
tersebut dan dengan akal budi yang dianugerahkanya manusia akan
bergerak menuju cita-cita ideal yang berdimensi moral dan kemanusiaan,
yaitu pembangunan mental spritual dan material yang berimbang.
Paradigma Aswaja dan Pembangunan Manusia
Untuk memahami aswaja sebagai sebuah paradigma tidak mungkin hanya
mengandalkan pemikiran-pemikiran yang mendominasi pandangan keagamaan
orang sunni sepanjang sejarah. Aswaja sangat kaya dengan khazanah
pemikiran di berbagai disiplin ilmu. Sedang doktrin yang berhasil
ditanamkan dan diakui oleh kaum sunni sebagai hakikat aswaja hanya
sebagian kecil dari keseluruhan yang ada. Di bidang akidah misalnya,
ada Asy,ari, Maturudi, Ibnu Taimiyah, Imam Haramain dan sederet ulama
lain .Tetapi dari sekian akidah yang berbeda-beda secara polarisatif
maupun yang merupakan parian antara kedua polar hanya akidah Asy'ari
yang berhasil mendominasi pandangan-pandangan keagamaan kaum sunny
sepanjang sejarah, sementara aqidah lain harus puas berada dipinggiran
jalan dan hanya sekali saja dilirik sebagai pembanding. Maka sangat
tepat jika kaum Sunny yang ada selama ini disebut Sunny dengan
embel-embel sifat dibelakangnya, yaitu Sunny Asy'ary.
Maksud paparan di atas bukan untuk mengkotak-kotak Aswaja, tetapi lebih
kepada pengakuan terhadap pluralitas, dan bahwa istilah Sunny yang ada
selama ini bukanlah mewakili Sunni secara keseluruhan. Karena untuk
menyebut salah satu dari pemikiran yang ada sebagai mewakili aswaja,
adalah hal yang sulit bahkan mustahil. Dengan pengakuan terhadap
pluralitas kesempatan untuk menentukan pilihan yang terbaik akan
menjadi lebih terbuka. Bila aqidah Asy'ari yang relevan pada masanya
sudah tak relevan lagi dengan masa sekarang, maka aqidah lain bisa
dipilih sebagai penggantinya tanpa menghilangkan identitas aswaja.
Dengan mengacu kepada pengakuan terhadap pluralitas pembahasan terhadap
aswaja di sini akan dibagi menjadi dua, yaitu: 'Aswaja superordinat'
dan 'Aswaja Subordinat'. Yang dimaksud dengan yang pertama adalah
pemikiran aswaja yang mendominasi pandangan keagamaan kaum Sunni selama
ini dan yang dimaksud dengan yang terakhir adalah pemikiran aswaja yang
tidak atau kurang diakomodir kaum Sunni selama ini.
Pembahasan Aswaja superordinat dalam kaitannya dengan pembangunan
manusia yang berimbang dimaksudkan dengan pengkajian ulang terhadap
sifat kesesuaiannya dengan kondisi yang ada sekarang. Tepatkah
superordinasi aswaja yang ada sekarang ini dipertahankan? Dan
pembahasan aswaja subordinat dimaksudkan untuk mencari formulasi aswaja
superordinat baru yang sesuai dengan kondisi yang ada sekarang. Untuk
pembahasan aswaja superordinat di sini akan ditekankan pada agidah
Asy'ari yang ada relevansinya dengan prasayarat dengan pembangunan
manusia yang seimbang seperti telah dibahas di atas; yaitu pengakuan
akan adanya kekuasaan tertinggi yang mengatasi kekuasaan manusia,
liberalisasi rasionalitas dan ketiadaan pengabaian kehidupan dunia.
Integritas Tasauf dan Aqidah Asy'ari bagi Pembentukan Mental
Kebebasan dan tanggung jawab manusia atas tindakannya merupakan
persoalan yang senantiasa menghantui pikiran manusia. Adakah
perbuatannya merupakan kehendak dan tindakannya sendiri dan karenanya
dipertanggung jawabannya di hadapan tuhan didasarkan atas kehendak dan
tindakan tersebut. Ataukah ada kekuatan lain yang memaksa tanpa bisa
dielakkkan. Jika demikian atas dasar apa ia harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan tuhan. Dalam persoalan
ini Asy'ari tidak berpihak pada Jabariah ataupun Qadariah. Jika
Jabariah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk
menentukan nasibnya sendiri dan Qadariah berpendapat sebaliknya, maka
Asy'ari mencoba mencari sintesa dari kedua pendapat tersebut. Sebagai
manifestasi pengakuannya terhadap adanya kekuasaan tertinggi, Asy'ari
berpendapat bahwa Allah telah menentukan segala sesuatu yang terjadi di
dunia termasuk di antaranya nasib manusia. Dan ketentuan Allah bersifat
mengikat dan tidak dapat berubah. Namun demikian manusia tetap layak
mempertanggungjawabkan perbuatannya di dunia, karena ia mempunyai andil
di dalamnya. Andil tersebut dijabarkan Asy'ari dalam teori
'kasb=92-nya.Pengertian kasb versi Asy'ari adalah kekuasaan manusia=
yang
diciptakan oleh Allah, yang muncul bersamaan dengan terjadinya sesuatu
perbuatan tanpa adanya hubungan kausalitas antara keduanya. Adapun yang
menentukan terjadinya perbuatan tersebut adalah Allah dan bukan
kekuasaan manusia. Dengan kata lain perbuatan manusia mempunyai dua
sisi. Sisi yang pertama adalah kekuasaan manusia yang hubungannya
dengan perbuatan tersebut hanya hubungan kebersamaan waktu. Dan sisi
kedua adalah kekuasaan Allah yang hubungannya dengan perbuatan adalah
hubungan kausalitas. Dan kekuasaan manusia itulah yang dijadikan dasar
pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa Asy'ari dalam upaya
mengkompromikan dua pendapat terjabar kedalam paham fatalisme. Pendapat
beliau lebih dekat dengan Jabariah. Perbedaannya hanya pada Justifikasi
Asy'ari terhadap pertanggungjawaban manusia melalui teori kasb. Dan
teori kasb itu sendiri tidak mampu mengeluarkan pendapat Asy'ari dari
lingkaran paham Jabariah. Dalam perspektif aqidah Asy'ari manusia tidak
saja mempunyai kebebasan dalam menentukan nasibnya. Semuanya telah
ditentukan oleh Allah pada zaman azali. Satu-satunya yang dimiliki
manusia hanya kekuasaan semu yang tidak mempunyai pengaruh apa-apa
terhadap perbuatannya.
Pendapat Asy'ari terhadap kebebasan manusia paralel dengan pendapatnya
tentang hukum sebab-akibat. Menurutnya hubungan antara dua peristiwa
yang selalu terjadi secara bersamaan bukannlah hubungan sebab akibat.
Pergesekan api dengan benda yang bisa terbakar sebagai suatu peristiwa,
tidak mempunyai hubungan kausalitas dengan terjadinya pembakaran
sebagai peristiwa lain. pembakaran terjadi karena Allah menghendakinya
terjadi, sementara pergesekan api dengan benda yang dapat terbakar
hanya peristiwa yang menyertainya tanpa mempunyai pengaruh apa-apa
terhadap peristiwa pembakaran itu sendiri.10 Pendapat ini, seperti
disebutkan di atas merupakan manifestasi pengakuan Asy'ari terhadap
adanya kekuasaan tertinggi, yaitu kekuasaan Allah dan kekuasaan
tertinggi tersebut diterjemahkan sebagai satu-satunya kekuatan yang
berpengaruh. Maka api tidak bisa membakar, karena membakar adalah
kekuatan yang berpengaruh, sedang kekuatan yang berpengaruh hanyalah
milik Allah.
Dengan doktrin ini, Asy'ari mampu memberikan gambaran yang utuh tentang
kekuasaan tuhan, tapi gagal menjelaskan fenomena keteraturan alam yang
diciptakannya. Kepastian hukum alam dalam perspektif aqidah Asy'ari
menjadi kabur, dan ini melemahkan semangat rasionalitas. Sebab
pengingkaran terhadap adanya hukum sebab akibat dalam keteraturan alam
sama dengan mengebiri fungsi akal. Kedua pendapat Asy'ari tentang
kekuasaan Allah yang mengekang kehendak manusia dan kekuasaan Allah
yang meniadakan hukum sebab akibat, diterima kaum sunni sebagai doktrin
yang dogmatis. Dan pada perkembangan selanjutnya doktrin tersebut
diintegrasikan dengan tasawuf yang dipahami mayoritas Sunni untuk
menjauhkan diri dari keduniaan.Akibat dari ketiga ajaran di atas yang
kemudian dianggap sebagai doktrin yang dogmatis, pandangan keagamaan
kaum sunni menjadi lebih banyak berorientasi pada pemenuhan kebutuhan
rohani. Kaum Sunni menjadi apatis terhadap hal-hal yang bersifat
keduniaan. Kegairahan intelektual dan semangat penelitian rasional yang
tidak terikat dengan doktrin-doktrin dogmatis lenyap dan digantikan
dengan kegiatan keilmuan yang sangat terbatas pada lingkup penjelasan
terhadap pemikiran-pemikiran ulama terdahulu. Singkatnya manusia yang
pada fitrahnya bersifat dinamis akhirnya menjadi statis karena
pandangan keagamaan yang irasional, fatalistis, dogmatis, dan
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan rohani.
Memang tidak dipungkiri bahwa pada level "khoowas" penyerahan diri
mutlak kepada Allah dan pengakuan akan adanya kehendak azaly yang
bersifat memaksa, tidak menghalangi aktivitas dunia. Apapun kehendak
Allah pada saman azaly, mereka tetap giat beramal di dunia seakan-akan
tidak tidak pernah ada kehendak tersebut. Prinsipnya, Kehendak Azaly
Allah adalah hal yang belum diketahui manusia, dan karenanya manusia
tetap berbuat tanpa harus terikat dengan takdir. Hal ini sebagai
manifestasi ketaatan mereka terhadap firman Allah yang artinya : Dan
katakanlah : =93bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu.=94 11 Dan sabda
Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ali ra : Tak seorangpun dari kalian
melainkan telah ditulis tempatnya di neraka dan tempatnya di surga.
Mereka (sahabat) : bertanya, wahai Rasulullah apakah kita tidak
berserah kepada catatan kita saja. Rasulullah menjawab =91bekerjalah,
karena setiap orang dimudahkan untuk hal-hal yang diciptakannya
karenanya, adapun yang termasuk golongan orang-orang yang berbahagia
maka akan menuju perbuatan-perbuatan yang sangat membahagiakan, dan
termasuk golongan orang celaka, maka akan menuju amal yang
mencelakakan. 12
Dengan berpegang kepada kedua nash tersebut, aqidah sebagai kewajiban
i=92tiqadih tidak akan menghalangi pekerjaan dunia sebagai kewajiban
amali. Tetapi, ketika aqidah pada level =93awam=94 harus diyakini dan
diimplementasikan secara konsisten dalam pekerjaan, maka sulit dipahami
bahwa adanya kehendak azali yang mengikat tidak akan melemahkan
semangat bekerja di dunia. Dan seperti disebutkan di atas aqidah akan
merefleksikan perbuatan, maka segala sesuatu yang terjadi di dunia ini
sudah ditentukan, semangat bekerja cenderung melemah dan perintah
bekerja tidak banyak membantu meningkatkan semangat bekerja. Dengan
kata lain sulit memisahkan aqidah sebagai suatu kewajiban dengan
bekerja sebagai suatu kewajiban lain.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aqidah Asy=92ari yang
mempunyai konsistensi logis dengan pandangan keagamaan yang irasional,
fatalistis, dogmatis dan berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan
rohani, tidak dapat menjadi landasan bagi kebangkitan umat Islam. Oleh
karenanya, harus dicari landasan aqidah baru yang mampu menghantar
kebangkitan umat Islam. Menumbuhkan sikap rasional dan liberal melalui
aqidah Aswaja. Masa lalu bukanlah sejarah yang mati. Ia adalah benda
hidup yang menjadi bahan pembentukan manusia dan masa depannya.13
Bertolak dari pernyataan Rene Dubos di atas, penulis mencoba menemukan
landasan-landasan aqidah yang dapat membentuk mental manusia yang ideal
bagi pembentukan masa depannya melalui penggalian warisan Aswaja. Upaya
ini, dengan meminjam bahasa George Simmel 14 harus dilihat dalam
kerangka proses subyektif manusia yang senantiasa berusaha
mengungkapkan kreatifitasnya. Dan oleh karenanya, sudah barang tentu
akan berhadapan dengan bentuk-bentuk kemapanan obyektif, yang dulunya
juga merupakan hasil proses kehidupan subyektif manusia.
Rasionalitas/Etis seperti telah disebutkan di atas, bahwa suatu
peradaban harus dibangun di atas suatu keyakinan akan adanya kekuasaan
tertinggi yang mengatasi kekuasaan manusia.
Dalam Islam keyakinan tersebut dijabarkan dalam kalimat haoqala yaitu
La Haula Wa La Kuwwata Ill=E2 Bil-L=E2h al- =91Aliyyi al-Adz=EEm.=
Dengan
pengakuan tersebut manusia tidak akan pongah dan selalu menyadari bahwa
dirinya adalah mahluk yang lemah. Hal ini sesuai dengan firman Allah
yang artinya =93........ dan manusia dijadikan bersifat lemah.=94 15=
Karena
merasa lemah, maka manusia memerlukan bimbingan Allah melalui wahyu
yang diturunkan kepada nabi. Akan tetapi wahyu tidak selamanya
menyertai perjalanan manusia. Ia telah sempurna dengan berakhirnya masa
kenabian; sedang permasalahan yang dihadapi manusia terus berkembang
berbanding sejajar dengan sejarah perjalanannya. Maka diperlukan
petunjuk akal pada masalah-masalah yang dapat terjangkau oleh
kemampuannya. Hal ini tak bertentangan dengan kesempurnaan agama Islam
sebagaimana yang difirmankan Allah : =93Pada hari ini telah=
kusempurnakan
untukmu agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmaku, dan telah
kuridhai Islam sebagai agama bagimu=94 16
Konsekuensi dengan berakhirnya kenabian adalah kesempurnaan agama Islam
karena ia yang akan menjadi petunjuk bagi manusia. Dan makna
kesempurnaan agama Islam adalah bahwa Allah telah menurunkan wahyu yang
menunjukkan manusia kepada kebenaran mutlak yang tak terjangkau oleh
akal dan wahyu yang memberikan otoritas kepada akal budi manusia untuk
menemukan kebenaran-kebenaran relatif yang dapat terjangkau oleh
kemampuannya.
Dalam Al-Qu=92an akal mendapat tempat yang tinggi ia diduetkan dengan
agama; suatu hal tak pernah dialami risalah agama sebelum Islam.17 Dan
bukan kebetulan jika Al-Quran secara perspektif menyebutkan akal dengan
berbagai kata. Dr. Ahmad al-Kufi menyebutkan bahwa asal kata al-Aql
disebut dalam 49 ayat, al-Qalb dengan arti akal disebut dalam 133 ayat,
an-Nuha dengan arti akal disebut dalam 16 ayat, dan asal kata al-Fikr
disebut dalam 18 ayat. 18
Demikianlah, Islam menghargai akal dan memberikannya tempat dalam
menemukan kebenaran di samping kebenaran wahyu. Dan tampaknya legalitas
akal dalam Islam telah disepakati oleh ulama Aswaja, hanya porsinya
dalam menemukan suatu kebenaran yang masih diperselisihkan
mereka.Seperti telah dikemukakan di atas, aqidah Asy=92ari kurang
berhasil menumbuhkan semangat rasionalitas, meskipun ia mengakui
legalitas akal, hal itu karena Asy=92ari mengfungsikan hanya sebagai
justifikasi bagi teks wahyu, sehingga akal diposisikan selalu berdiri
di belakang naql. Untuk itu perlu dicari kiblat dalam menilai posisi
akal. Dalam hal ini kiranya cukup menarik untuk meneladani Ar-Razi
dalam memposisikan akal.Ar-Rasi membagai masalah ilmu kalam menjadi
tiga yaitu : (1) Masalah hanya dapat dijangkau oleh akal. (2) Masalah
yang hanyah dapat dijangkau oleh naql. (3) Masalah yang dapat dijangkau
oleh keduanya.Masalah yang hanya dapat dijangkau oleh akal yaitu
seluruh masalah pokok yang kebenarannya akan mengesahkan naql, seperti
Allah mengutus nabi, menciptakan alam dan lain sebagainya. Sedang
masalah yang hanya dapat dijangkau oleh nagl, masalah yang berhubungan
dengan kebenaran atau pengingkaran hal yang akan melalui pengalaman
inderanya, tidak mempunyai gambaran sama sekali tentang hal tersebut.
Kategori masalah kedua dicontoh oleh Ar-Razi dengan ghaibiyat. Dan
masalah yang dapat dijangkau oleh keduanya hal yang kebenarannya tidak
mempengaruhi keabsahan naql. Dan akal secara potensial dapat
menjangkaunya seperti masalah ru=92yah, sifat wahdaniyah dan lain
sebagainya.Kemudian Ar-Razi menjelas kan pendapatnya bahwa naql tidak
dapat dipakai untuk membuktikan kategori masalah pertama karena
kategori masalah pertama dimaksudkan untuk mengesahkan naql itu
sendiri. Jika naql harus digunakan untuk membuktikan naql itu sendiri
maka akan terjadi vicius circles (lingkaran yang tak berujung pangkal)
dan akal tidak dapat menjangkau kategori masalah kedua, karena akal
sama sekali tidak mempunyai gambaran yang ditarik dari pengalaman
indera tentang masalah kedua. Maka, pembenaran atau peningkatan akal
terhadapnya adalah hal yang tidak logis, dan dalam hal ini hanya naql
yang dapat menjangkaunya. Dalam kategori masalah ketiga meskipun akal
dan naql bisa menjangkaunya tetapi Ar-Razi -berbeda dengan Asy=92ari-
lebih mengedapankan akal ketimbang naql.Ar-Razi memberikan alasan bagi
sikapnya dengan menjelaskan bahwa jika diasumsikan adanya dalil aqli
yang pasti karena didasarkan atas premis aksiomatis, lalu bertentangan
dengan dalil naql maka dalil naql harus ditakwil. Sebab jika kedua
dalil tersebut berten-tangan tidak mungkin dikompromikan, maka hanya
ada dua kemungkinan : mentakwil dalil naql atau menyalahkan dalil aql.
Jika kemungkinan kedua dipa kai, maka akan berujung menyalahkan dalil
naql pula. Sebab kebenaran dalil naqli, seperti telah dikemukakan di
atas didasarkan atas dalil aqli : dan kalau dalil aqli diragukan
kebenarannya, berarti dalil naqli didasarkan atas dalil yang meragukan.
Karena itu pembenaran naql dengan menolak akal berimpilikasi penolakan
naql itu sendiri. Jika kemungkinan kedua berakibat penyalahan terhadap
naql, maka tidak ada jalan lain kecuali mentakwil naql sesuai dengan
dalil akal. 19
Demikianlah sikap Ar-Razi dalam memandang akal. Ia tidak
me-nomordua-kan akal dalam menemukan kebenaran. Akal seperti juga naql,
secara independen dapat menjangkau kebenaran, bahkan akal pula yang
membuktikan kebenaran naql. Tetapi akal bukan kebenaran mutlak yang
menggantikan kekuasaan tuhan seperti dipahami abad modern Eropa. Naql
mempunyai wilayah khusus yang tidak dapat ditembus kemampuan akal.
Dengan demikian Ar- Razi mengambil sikap moderat yang tidak menuhankan
akal tapi juga tidak membunuh kreatifitas akal (open minded)
Jika pemikiran Ar-Razi dikembangkan dalam masyarakat, maka akan tumbuh
budaya berpikir rasional. Budaya semacam ini pada gilirannya juga akan
melahirkan keterbukaan yang tak terikat oleh tradisi dan dogma. Sebab
kebenaran tidak lagi diukur oleh tradisi yang sudah mapan ataupun hasil
pemikiran manusia yang didogmakan melainkan dengan rasio. Al-Quran
sendiri tidak membenarkan cara berpikir yang didasarkan atas tradisi
yang sudah mapan : =93Dan apabila dikatakan kepada mereka : Ikutilah=
apa
yang diturunkan oleh Allah, mereka menjawab tidak, tetapi kami hanya
mengikuti apa yang telah kami dapai dari perbuatan nenek moyang kami
(apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu
tidak mengetahui suatu apapun dan tidak mendapat suatu petunjuk.=94 20
Ayat ini menunjukkan bahwa apa yang didapati seseorang dalam
komunitasnya sebagai tradisi dan budaya yang dihasilkan oleh orang
terdahulu bukan ukuran kebenaran.
Al-Quran juga mengingatkan bahwa popularitas kebesaran nama bukan
ukuran kebenaran : Dan mereka berkata : Ya Tuhan kami sesunggguhnya
kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar- pembesar kami, lalu
mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar. Ya Tuhan kami, berilah
kepada mereka azab yang dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan
kutukan yang besar. 21 Begitulah Al-Quran tidak membenarkan hasil
pemikiran manusia yang karena kebesaran namanya lalu dijadikan ukuran
kebenaran.
Dengan demikian Al-Quran telah menghindarkan akal dari cara berpikir
yang menjadikan kemapanan obyektif dari hasil kreatifitas subyektif
manusia sebagai barometer kebenaran.Urain ini sama sekali tidak
dimaksudkan untuk mengecilkan arti jerih payah ulama terdahulu dalam
menemukan kebenaran justru sebaliknya, dengan tidak menjadikan hasil
pemikiran manusia sebagai kebenaran mutlak, maka ulama secara
profesional telah ditempatkan sesuai sifat kemanusiaannya yang mungkin
salah dan mungkin benar. Jika pemikiran mereka jelas-jelas salah maka
harus diakui sebagai kesalahan dan jika pemikiran mereka mengandung
kebenaran, maka kebenaran akan diteruskan dan dikembangkan ; bukan
karena ia sudah pemikiran yang mapan, tapi secara rasional ia benar.
Dengan begitu akal manusia bersikap open minded, mudah menerima hal
baru dan selalu memelihara warisan lama selama ia mengandung kebenaran,
dan tidak menganggap bahwa kebenaran adalah monopoli suatu golongan.
Urgensi Wahyu Mendampingi Rasionalitas
Seperti telah dikemukakan di atas, rasionalitas Ar-Razi bukan berarti
menuhankan rasio. Karena rasio mempunyai wilayah sendiri dan tidak
mungkin menyeberang ke wilayah kekuasaan =93petunjuk tuhan=94. Berarti
manusia rasional dalam perspektif rasionalitas Ar-Razi tetap memerlukan
petunjuk tuhan dalam hal yang tidak dimampui oleh akal.
Hal ini berbeda dengan rasionalitas Marxis atau rata-rata rasionalitas
barat lainnya. Rasionalitas barat adalah rasionalitas arogan. Ia tidak
mengakui otoritas tuhan, bahkan Auguste Comte, seorang sosiolog yang
di-bapak sosiologi-kan orang, ingin mengganti agama tuhan dengan agama
humanitasnya. tentu saja ia gagal, karena agama menyangkut masalah
moralitas dan bagaimana merumuskan kehidupan yang baik. Kebaikan dan
keburukan tidak bisa diketaui manusia dengan fitrah akalnya. Hal ini
bisa dibuktikan dengan perbedaan antara masyarakat lainnya dalam
menilai kebaikan dan keburukan. Seandainya kebaikan dan keburukan dapat
ditangkap fitrah akal manusia, tentu tidak terjadi perbedaan antara
satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Memang tidak dipungkiri, orang yang hidup di tengah-tengah masyarakat
berperadaban akan dapat menangkap kebaikan dan keburukan dengan
akalnya. Tetapi hal itu bukan karena akal secara potensial mampu
menangkapnya, melainkan karena mereka hidup di dalam masyarakat yang
telah menganut norma-norma tertentu. Buktinya, jika ada orang hidup
yang tak pernah berinteraksi dengan orang lain, tentu ia tidak akan
menangkap kebenaran dan keburukan seperti halnya orang yang hidup di
tengah masyarakat. Bukankah ini membuktikan bahwa manusia dengan
akalnya tidak mampu menyelesaikan masalah moral-itas apalagi merumuskan
kehidupan yang sempurna.
Ketika kita mengamati Al-Quran sebenarnya ia telah mengisyaratkan bahwa
manusia memerlukan petunjuk tuhan dalam hal moralitas. Al-Quran membagi
petunjuk ini menjadi dua, yaitu pertama disebut al-Ma=92ruf dan yang
kedua disebut al-Khair. Untuk menyeru al-Ma=92ruf digunakan kalimat
al-Amr, seperti =93wa=92mur bil ma=92ruf=94. Kata al-Amr yang berarti=
perintah
menunjukkan adanya al-ma=92mur bih (sesuatu yang diperintahkan) yang
sudah diketahui al- ma=92mur (orang yang diperintah). Sebab jika
al-ma=92mur bih belum diketahui al-ma=92mur sebagai perintah maka arti
perintah menjadi tidak berguna. Dengan demikian al-ma=92ruf yang selalu
berpasangan dengan al=92amr adalah kebaikan yang sudah diketahui
masyarakat. Sedang untuk menyeru al-khair digunakan kalimat ad-Da=92wah
seperti =93yad=92u ilal khair=94. Kata ad-Da=92wah yang berarti ajakan,
mengandung makna meyakinkan orang lain secara verbal untuk melakukan
al- mad=92u ilaih (hal yang dianjurkan). 22 Adanya perbuatan yang
berfungsi meyakinkan orang lain menunjukkan bahwa al-mad=92u ilaih=
belum
diketahui kebaikannya oleh al-mad=92u (orang yang diajak). Berarti
al-Khair yang selalu berpasangan dengan ad-da=92wah adalah kebaikan=
yang
belum dikenal oleh manusia. Untuk mengenalnya memerlu-kan petunjuk
Allah melalui rasul-Nya.
Jadi urgensi petunjuk tuhan dalam merumuskan masalah-masalah moral
telah diisyaratkan al-Quran dan mendapat legitimasi akal. Dalam
perspektif rasional-itas ar-Razi, masalah moral dikategorikan dalam
masalah yang tak dapat dijangkau akal. Dengan demikian rasionalitas
tidak akan menyesatkan manusia karena ia mendapat petunjuk dalam
hal-hal pokok yang tidak dapat dijangkau oleh akal. Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa untuk menumbuhkan rasionalitas kiranya tidak
berlebihan jika Ar-Razi dalam mensikapi dalil aqli dan naqli
diteladani. Rasionalitas yang berkembang, pada gilirannya akan
membebaskan manusia dari ikatan tradisi yang mapan ataupun pemikiran
manusia yang dogmatis. Dengan terbebas dari ikatan, manusia akan mudah
menerima hal-hal yang dianggap benar.
Walaupun manusia mengakui dominannya kekuasaan rasionalitas dan
kebebasan, namun ia tidak akan terge-lincir dalam sikap arogan, karena
yang dikembangkan adalah rasionalitas moderat yang mengakui urgensi
petunjuk-petunjuk tuhan. Justru sebalik nya, dengan rasionalitas
moderat ia akan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan nilai-nilai
kemanusiaan, karena masalah moral dan kemanusiaan datang dari petunjuk
tuhan yang mutlak kebenaran nya. Bila sikap semacam ini sudah
berkembang di kalangan Sunni maka tinggal membudayakan =93keseimbangan
dunia akhirat=94.
Kebebesan Kehendak Manusia Versi Ibnu Taimiyah, Al-Juwaini dan Mahmud
Syaltut
Dalam agama terdapat dua ajaran yang berkaitan erat dengan
produktifitas. Pertama, soal kehidupan spritual di akhirat setelah
berakhirnya kehidupan. Apabila kehidupan di dunia dianggap penting maka
produktifitas akan meningkat. Tetapi sebaliknya, bila kehidupan dunia
dianggap tidak penting maka produktifitas akan rendah sekali. Kedua,
mengenai ketentuan nasib manusia. Kalau nasib manusia ditentu-kan oleh
kehendak azali, maka produktifitas akan rendah sekali, sebalik-nya,
bila manusia punya kebebasan dalam menentukan nasib sendir, maka
produktifitas akan tinggi. 23.
Sebagai mana yang dikemukakan di atas aqidah Asy=92ari yang berupaya
memoderasi ekstrim Jabariah dan ekstrim Qadariah akhirnya tergelincir
ke dalam paham fatalistis. Kemudian , ketika aqidah Asy=92ari
diintegrasikan dengan ajaran tasawuf di kalangan Sunni berkembang
pandangan keagamaan yang mengabai kan kehidupan dunia. Oleh karena itu
perlu ditemukan landasan aqidah yang baru yang dapat menghidup-kan
sema-ngat kehidupan kaum Sunni.
Sebenarnya, semua aqidah Islam yang mengakui adanya kekuasaan
tertinggi, yang mengatasi kekuasaan manusia -termasuk di antaranya
mu=92tazilah- akan meyakini sesuatu yang akan terjadi. Apapun yang
terjadi di dunia tidak pernah meleset dari sesuatu yang pasti terjadi.
Setelah terjadi kekafiran Abu Jahal orang dengan menggunakan perspektif
aqidah mana pun akan meyakini kekafiran Abu Jahal sesuatu yang pasti .
Dalam perspektif Mu=92tazilah keyakinan tentang adanya sesuatu yang=
pasti
terjadi muncul dari keyakinan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu
yang terjadi. Dan sesuatu yang diketahui Allah pasti terjadi. Dalam
perspektif non-mu=92tazilah keyakinan tersebut lahir dari keyakinan=
bahwa
Allah mengetahui dan memastikan segala kejadian di dunia akan terjadi.
Persoalan yang muncul, sejauh mana manusia mempunyai kebebasan dalam
memilih? Menurut Ibnu Taimiyah, alam dan isinya, termasuk di dalamnya
pekerjaan manusia adalah milik dan ciptaan Allah. Allah pada zaman
azali telah mengetahui dan memastikan segala peristiwa yang akan
terjadi di dunia nanti. Namun demikian manusia tetap mempunyai
kemampuan, kehendak dan pilihan yang harus dipertanggung jawabkan di
hadapan Allah. Selanjutnya ia menjelaskan pula bahwa manusia mempunyai
kemampuan yang diciptakan Allah. Dan kemampuan dimaksud adalah
perantara atau sebab yang melahirkan pekerjaan yang disesuaikan dengan
hukum kualitas yang diciptakan oleh Allah. Jadi, perbuatan manusia
tidak berbeda dengan fenomena alam lainnya yang mengikuti hukum
kualitas. Manusia berjalan karena ia menggerakkan kedua kakinya. Begitu
pun, pepohonan tumbuh karena ia ditanam pada tanah yang subur. Tetapi
kekuatan menggerakkkan kaki dan kesuburan tanah adalah ciptaan Allah.
Demikian juga kemampuan gerakan kedua kaki melahirkan pekerjaan
berjalan; dan kemampuan kesuburan tanah menumbuhkan pepohonan adalah
hukum kualitas yang diciptakan Allah. 24. Dengan kata lain manusia
harus bertanggung jawab atas perbuatannya karena ia mempunyai kebebasan
memilih berkehendak dan akhirnya menjalankan-nya dengan kekuatan yang
diciptakan oleh Allah.
Begitu juga halnya pernyataan Al-Juwaini mengatakan bahwa kekuatan
manusia dalam berbuat adalah salah satu sebab dari beberapa sebab yang
diciptakan Allah di dunia. Dan dengan perantaraan sebab manusia
melakukan perbuatannya. Oleh karena itu suatu pekerjaan dinisbatkan
kepada Allah karena Ia pencipta sebab. 25
Di samping kedua pendapat di atas perlu juga kiranya mengambil pendapat
Mahmud Syaltut, mantan Syeikh Azhar tentang qadla dan qadar. Ia
berpendapat bahwa qadla dan qadar tidak lain adalah tatanan yang
landasannya penciptaan Allah terhadap alam. Dan dalam tatanan itu pula
Allah menghubungkan antara sebab dan akibat, konklusi dan premis nya
sebagai hukum alam yang pasti dan tak mungkin berubah. Termasuk hukum
alam tersebut bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang bebas
menentu-kan pekerjaan tanpa ada yang memaksa-nya. Menurutnya, Allah
memang tahu apa yang akan dilakukan oleh manusia berdasarkan
pilihannya. Tetapi ilmu Allah tentang hal tersebut sama sekali tidak
mengandung arti pemaksaan. Sesung guhnya ia hanya menyingkapkan hal-hal
yang telah dan akan terjadi sesuai dengan hukum alam. Dalam hal ini
hukum alam dimaksud adalah kebebasan manusia dalam memilih berdasarkan
taklif dan kemampuannya. (26)
Dari dua uraian pendapat di atas dapat dilihat bahwa Mahmud Syaltut
rupanya memberikan porsi kebebasan yang lebih besar bila dibanding
dengan pendapat Ibnu Taimiyah dan Al-Juwaini. Tetapi keduanya tetap
menggambarkan free will and free act. Dengan mengikuti pendapat free
will and free act, manusia akan merasa memiliki perbuatannya, karena ia
diyakini muncul dari pilihan, kehendak dan pekerjaannya sendiri.
Manusia juga akan merasa bebas menentukan nasibnya karena ia memiliki
kehendak dan pilihan. Bila self determination telah diyakini, maka
manusia tidak akan menganggap penderitaan di dunia sebagai nikmat.
Karena ia yakin bahwa penderitaan dapat berubah menjadi kebahagiaan
dengan usahanya. Dengan demikian, tasawuf tidak akan dipahami sebagai
pemenuhan kebutuhan spritual dengan mengabaikan kebutuhan material.
Kesimpulan
Sebagai akhir dari tulisan ini, bisa disimpulkan bahwa kemajuan dan
kemunduran suatu umat tergantung dari perspektif keagamaan. Jika aqidah
melahirkan pandangan keagamaan yang regresif, maka yang terjadi adalah
kemunduran. Dan jika sebaliknya (lahir dari perspektif progresif), maka
yang terjadi adalah kemajuan.
Suatu aqidah agar dapat menumbuhkan pandangan keagamaan yang progresif,
harus memiliki lima karakteristik. Pertama, pengakuan terha-dap
kekuasaan tertinggi yang mengatasi kekuasaan manusia. Kedua, pengakuan
terhadap kemampuan akal dalam melacak dan menemukan kebenaran relatif.
Ketiga, pengakuan terhadap kebebasan manusia dari ikatan tradisi dan
hasil pemikiran orang terdahulu. Keempat, pengakuan terhadap kebebas an
manusia dalam menentukan nasibnya. Kelima, pengakuan terhadap urgensi
kehidupan dunia dan keperluan material. Dengan mengacu kepada lima
karakteris-tik di atas, nampaknya aqidah Asy=92ari yang berintegrasi
dengan tasawuf -dalam praktek negatifnya- tidak bisa memberi-kan iklim
kondusif bagi terciptanya pandangan keagamaan modern.
Berangkat dari kenyataan ini perlu kiranya ditemukan landasan aqidah
baru bagi kaum Sunni agar dapat tercipta pandangan keagamaan yang
progresif. Hal ini dapat dilakukan dengan menggali warisan intelektual
yang ditinggalkan para ulama Aswaja. Untuk menumbuhkan rasionalitas,
pendapat Ar-Razi tentang kemampuan akal akan dapat dijadikan sebagai
alternatif. Sebab rasionalitas yang berangkat dari pendapat Ar-Razi
tidak sampai mengingkari kekuasaan tertinggi (baca;tuhan), sehingga
akal tidak dipaksakan untuk menembus wilayah kekuasaan petunjuk tuhan.
Rasionalitas yang tumbuh dari pendapat Ar-Razi pada gilirannya akan
melepakan manusia dari tradisi dan hasil pemikiran manusia yang
didogmakan. Dengan demikian manusia mudah menerima hal-hal yang baru
selama ia diyakini benar, dan tidak enggan membuang hal-hal lama jika
memang jelas-jelas salah. Dan untuk memberikan kebebasan manusia dalam
menentukan nasibnya sendiri dapat diajukan pendapat Mahmud Syaltut,
Ibnu Taimiyah atau Al-Juwaini, sebagai alternatif. Dengan meyakini
qadla dan qadar seperti yang digambarkan oleh Mahmud Syaltut bahwa
manusia akan terhindar dari sikap fatalistis. Dan pada gilirannya akan
menghindarkan manusia dari pandangan keagamaan yang hanya mementingkan
hajat spritual dan ukhrawi belaka. Jika keyakinan semacam ini
berkembang, maka aqidah Aswaja belum bisa menjadi aqidah pembangunan,
aqidah pembebasan dan aqidah keseim-bangan di masa yang akan datang.
Daftar Acuan
1. An Najjar, Abdul Majid, =93Darul Islah al-Aqdi Fi An-Nahdah
al-Islamiyah=94, Islamiyat al-Ma=92rifah, (Juni 1995), hal. 57
2. Shimogaki, Kazuo, Between Modernity And Postmodernity The Islamic
Left And Dr. Hasan Hanafi=92s Thought : A Critical Reading, atau
Kiri Islam Antara Modernisme Dan Postmodernisme (Telaah Kritis
atas Pemikiran Hasan Hanafi), terj. M. Imam Abdul Aziz, M. Jadul
Maula.
3. Jhonson,Doyle Paul, Shociologocal Theory Cassical Founders and
Contemporary Perspectives, atau Teori Sosiolgi Kasik Dan Modern,
terj. Tobert M. Z. Lawang, I, 238.
4. Thoha, Dr. Abdul Ghoni Al-Ghorib, Muhadlarat Fi Al-Falsafah
Al-Islamiyah, diktat Fak. Usyhuluddin Univ. Al-Azhar Zagazig, hal
5
5. Al-Quran, Surat Albaqarah : 260.
6. Nasution, Prof. Dr. Harun, Islam Rasional Gagasan dan pemikiran
Prof. Dr. Harun Nasution, ed. Lukman Ali.
7. Turner,Bryan S., Weber And Islam, atau Sosiologi Islam Suatu
Telaah Analitis Atas Tesa Sosiologi Weber, terj. G.A. Ticoalu,
hal. 289
8. Dubos, Rene, So Human An Animal, atau Insaniyyat Al-Insan, terj.
bhs. Arab, Dr. Nabil Subhi At-Thawil, hal 63 Lihat, Prof. Dr.
Sa=92duddin As-Sayyid Shalih, Afaal Allah Wa Afaal Al-Ibad Bahts=
Fi
Musykilat Al-Insan, (Selanjutnya disebut Sa=92duddin, Afal Allah)
hal. 45, 46, 47
*)Moh. Najib Buchori, Lc adalah mahasiswa program S2 Pascasarjana
Fakultas Ushuluddin jurusan Aqidah filsafat, Universitas Al-Azhar. Ia
selain menjabat redaktur Nuansa aktif juga di Istifadah SC
paulusjancok
paulusjancok
BLUE MEMBERS
BLUE MEMBERS

Male
Number of posts : 809
Age : 36
Humor : Yesus nggak pake sempak...hanya orang GOBLOK yang menyembahnya
Reputation : 1
Points : 6471
Registration date : 2011-08-12

Back to top Go down

pentingnya akidah islam Empty Re: pentingnya akidah islam

Post by Sponsored content


Sponsored content


Back to top Go down

Back to top

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum