MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME

Join the forum, it's quick and easy

MURTADIN_KAFIRUN
WELCOME
MURTADIN_KAFIRUN
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Latest topics
» Yeremia 23 & Ulangan 13 mengisyaratkan Muhammad nabi palsu
akidah benar vs akidah keliru EmptyFri 02 Feb 2024, 5:21 pm by buncis hitam

» kenapa muhammad suka makan babi????
akidah benar vs akidah keliru EmptyWed 31 Jan 2024, 1:04 am by naufal

» NYATA & FAKTA : TERNYATA YESUS PILIH MENGAULI KELEDAI DARIPADA WANITA!!! (sebuah penghinaan OLEH PAULUS)
akidah benar vs akidah keliru EmptyFri 12 Jan 2024, 9:39 pm by Uwizuya

» SORGA ISLAM RUMAH PELACUR ALLOH SWT...........
akidah benar vs akidah keliru EmptyTue 02 Jan 2024, 12:48 am by Pajar

» Moon Split or Islamic Hoax?
akidah benar vs akidah keliru EmptyWed 13 Dec 2023, 3:34 pm by admin

» In Islam a Woman Must be Submissive and Serve her Husband
akidah benar vs akidah keliru EmptyWed 13 Dec 2023, 3:32 pm by admin

» Who Taught Allah Math?
akidah benar vs akidah keliru EmptyWed 13 Dec 2023, 3:31 pm by admin

» BISNIS GEREJA YUUUKZ....LUMAYAN LOH UNTUNGNYA....
akidah benar vs akidah keliru EmptyWed 05 Jul 2023, 1:57 pm by buncis hitam

» ISLAM: Palsu, Maut, Tak Akan Tobat, Amburadul
akidah benar vs akidah keliru EmptySun 07 May 2023, 9:50 am by MANTAN KADRUN

Gallery


akidah benar vs akidah keliru Empty
MILIS MURTADIN_KAFIRUN
MURTADIN KAFIRUNexMUSLIM INDONESIA BERJAYA12 Oktober Hari Murtad Dari Islam Sedunia

Kami tidak memfitnah, tetapi menyatakan fakta kebenaran yang selama ini selalu ditutupi oleh muslim untuk menyembunyikan kebejatan nabinya

Menyongsong Punahnya Islam

Wadah syiar Islam terlengkap & terpercaya, mari sebarkan selebaran artikel yang sesungguhnya tentang si Pelacur Alloh Swt dan Muhammad bin Abdullah yang MAHA TERKUTUK itu ke dunia nyata!!!!
 

Kebrutalan dan keberingasan muslim di seantero dunia adalah bukti bahwa Islam agama setan (AJARAN JAHAT,BUAS,BIADAB,CABUL,DUSTA).  Tuhan (KEBENARAN) tidak perlu dibela, tetapi setan (KEJAHATAN) perlu mendapat pembelaan manusia agar dustanya terus bertahan

Subscribe to MURTADIN_KAFIRUN

Powered by us.groups.yahoo.com

Who is online?
In total there are 71 users online :: 0 Registered, 0 Hidden and 71 Guests :: 1 Bot

None

[ View the whole list ]


Most users ever online was 354 on Wed 26 May 2010, 4:49 pm
RSS feeds


Yahoo! 
MSN 
AOL 
Netvibes 
Bloglines 


Social bookmarking

Social bookmarking reddit      

Bookmark and share the address of MURTADINKAFIRUN on your social bookmarking website

Bookmark and share the address of MURTADIN_KAFIRUN on your social bookmarking website


akidah benar vs akidah keliru

2 posters

Go down

akidah benar vs akidah keliru Empty akidah benar vs akidah keliru

Post by paulusjancok Fri 12 Aug 2011, 2:37 pm

AQIDAH YANG SAHIH
DAN YANG BATHIL

A. Pengertian Aqidah
1. Menurut Bahasa :

Berasal dari Al-‘aqdu artinya ikatan yang kuat. Bisa pula berarti kepercayaan yang kokoh.

Ikatan janji, terkadang juga disebut aqdun.

Sesuatu yang bisa membuat hati seseorang menjadi terikat kuat dan pasti padanya, disebut aqidah.

2. Menurut Istilah Umum :

Ialah keyakinan dan ketetapan yang bersifat pasti tanpa ada keraguan sedikitpun bagi pelakunya. Aqidah dalam pengertian umum ini berlaku untuk keyakinan terhadap al-haq maupun terhadap al-batil.

3. Pengertian Aqidah Islamiyah :

Ialah : iman yang bersifat pasti kepada Allah baik dalam hal uluhiyah, rububiyah, asma’ maupun sifat-Nya, kepada para malaikat, rasul-rasul, hari akhir, taqdir baik atau buruk dan kepada segenap apa yang diberitakan oleh nushus shahihah (nash-nash yang sahih) berupa perkara-perkara ushuluddin (pokok-pokok din), serta segala pemberitaan mengenai hal-hal ghaib. Juga iman kepada apa yang menjadi ijma’ (kesepakatan) As-Salafu Ash-Shalih, serta menyerah total kepada Allah baik dalam masalah hukum; perintah, takdir, maupun syari’at-Nya dan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan taat, ittiba’ dan bertahkim kepada beliau.

B. Pokok Bahasan Ilmu Aqidah

Aqidah jika ditilik kedudukannya sebagai ilmu menurut mahfum Ahlu Sunnah mencakup bahasan: at-tauhid (rububiyah, uluhiyah, asma’ dan sifat), al-iman, al-islam, perkara ghaibiyat, nubuwat, taqdir, al-akhbar (berita-bertita), landasan-landasan hukum qath’I dan semua permasalahan ushuluddin serta aqidah.





C. Istilah Lain Ilmu Aqidah

Ilmu aqidah mempunyai beberapa istilah yang penyebutannya, antara Ahlu Sunnah dengan firqah-firqah lainnya berbeda. Beberapa istilah ilmu aqidah menurut ahlu sunnah, yakni :

1. Al-‘Aqidah (al-I’tiqad dan al-‘aqaid) misalnya, istilah aqidah salaf atau aqidah ahlu atsar dan lain-lain.

2. At-Tauhid, sebab pembahasannya berkisar mengenai tauhidullah baik uluhiyah, rububiyah maupun al-asma’ was-sifat.

3. As-Sunnah, as-sunnah ialah ath-thariqah: jalan atau cara. Aqidah salaf disebut as-sunnah, dikarenakan ittiba’nya mereka (kaum salaf) kepada cara-cara ar-rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam memahami aqidah.

4. Ushuluddin, mencakup rukun iman, rukun Islam, masalah-masalah qath’iyah (pasti) dan apa-apa yang telah disepakati oleh para imam.

5. Al-Fiqhul Akbar, merupakan kebalikan dari Al-Fiqhul Ashgar (hukum-hukum ijtihadiyah).

6. Asy-Syari’ah, artinya apa yang disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya, berupa sunnah-sunnah petunjuk. Dan yang paling pokok adalah ushuluddin.

7. Al-Iman, mencakup semua permasalahan I’tiqadiyah.


Itulah beberapa istilah paling masyhur bagi Ahli Sunnah tentang ilmu aqidah. Terkadang dalam istilah tersebut ada yang mempunyaikesamaan istilah dengan firqah-firqah lain, seperti Asy’ariyah.

Sedangkan beberapa istilah ilmu aqidah menurut firqah-firqah lain, yakni:

1. Ilmu kalam, istilahnya kaum mutakallimin seperti, Al-Mu’tazilah dan Asy’ariyah.

2. Filsafat, sebutan bagi para filosof dan pengagumnya.

3. Tasawuf, terkenal bagi sebagian kalangan kaum filosof, sufi, orientalis dan sebagainya. Istilah ini adalah istilah bid’ah.

4. Ilahiyat (Teologi), dipakai oleh Ahlul Kalam, para filosof, orientalis dan pengikutnya. Intinya adalah filsafat dan logika ketuhanan.

5. Metafisika (alam dibalik kenyataan), istilah yang hampir identik dengan istilah ilahiyat, digunakan oleh kaum filosof dan sebangsanya.
Semua istilah ini adalah istilah yang batil, dan tidak dapat diterapkan bagi ilmu aqidah. Disamping itu orang sering menyebut bahwa landasan atau kaidah berfikir yang diyakini dan diimani dinamakan aqidah, walaupun (penyebutan tersebut) batil atau tidak berlandaskan pada dalil ‘aqli maupun naqli.

D. Beberpa manhaj yang ditempuh untuk menetapkan masalah ‘Aqaid

1. Manhaj yang berpegang pada akal dan mendustakan para rasul.

Yakni orang-orang yang menolak untuk ittiba’ kepada para rasul yang telah datang membawa berita benar. Sebaliknya mereka mencoba mengenal hakekat yang ada dibalik alam semesta ini dengan akal fikirannya semata. Sebab mereka berkeyakinan bahwa belajar dari para rasul berarti kedangkalan dan tidak kreatif. Jadi mereka akan selalu menolak dalil-dalil yang jelas datangnya dari wahyu.

2. Manhaj para filosof dan mutakallimin

Suatu manhaj yang masih mengakui ajaran para rasul Allah, namun tidak bisa melepas ketergantungannya kepada hawa nafsu dalam memahami hal-hal yang berada di luar jangkauan akal fikirannya, seperti persoalan yang menyangkut masalah-masalah ghaib.

Diantara kelompok nomor dua ini adalah orang-orang yang menolak berhujjah, dalam masalah aqidah, dengan Al-Qur’an dan hadits-hadits mutawattir yang dilalahnya tidak qath’i. Sedangkan terhadap hadits-hadits ahad mereka menolak sama sekali dan tidak memperbolehkannya dijadikan hujjah, baik dalam masalah aqidah maupun dalam masalah hukum. Yang termasuk kelompok ini, yaitu Mu’tazilah dan Khawarij.

3. Manhaj kaum sufi

Banyak di kalangan kaum sufi yang beranggapan bahwa ada cara khusus (thariqah) untuk mengenal dan mengungkap rahasia tuhan, rahasia alam ghaib dan rahasia hukum. Cara khusus tersebut dinamakan Thariqul-Kasyfi (cara mengungkap rahasia). Mereka memiliki model periwayatan seperti, “Telah bercerita hatiku dari Tuhanku…” Menurut mereka, itulah cara yang paling tepat, sebab cara-cara lain yang bersumber dari ulama adalah periwayatan fulan dari fulan, dan dari si fulan (lainnya) dari Rasulullah dari Jibril. Adapun cara (thariqah) mereka (kaum sufi) adalah melalui pembicaraan hati yang berasal dari tuhannya. Mereka lupa bahwa din yang dibawa oleh Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berasal dari Allah, adalah cara (thariqah) satu-satunya yang telah diridhai Allah buat kita. Sedang thariqah mereka adalah jalan yang tidak bisa dijadikan hujjah, tidak bisa dijadikan landasan bagi aqidah maupun hukum dan tidak berdasar sama sekali. Sementara itu, setan telah banyak memasukkan unsur kebatilan melalui cara ini kepada para pengikutnya.
4. Manhaj as-salafush-shalih

Siapa saja yang memperhatikan setiap pernyataan As-salafush-Shalih pasti mengetahui bahwa mereka telah menetapkan permasalahan aqa’id berdasarkan nash-nash Al-Qur’an dan Al-Hadits. Mereka tidak membedakan antara hadits-hadits mutawatir dengan hadits-hadits ahad (yang shahih/tsabit) sebagai hujjah, baik dalam persoalan aqidah maupun persoalan ahkam (hukum).

Tiada satu pun dari kalangan sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in yang menyeleweng dari ketetapan itu. Demikian pula imam-imam pembawa petunjuk, seperti imam yang empat. Bahkan generasi As-Salafush-Shalih beserta seluruh pengikutnya pada setiap zaman selalu mengecam keras kepada setiap orang yang ingin meninggalkan hadits-hadits dan nash-nash untuk kemudian berpijak mendahulukan ra’yu.

5. Manhaj orang yang menolak hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah aqidah

Dasar pijak mereka sebenarnya bersumber dari dasar pijak kaum Khawarij dan Mu’tazilah yang menolak hadits ahad sebagai hujjah, baik bagi masalah aqidah maupun ahkam. Golongan kelima ini mengatakan, “ Hadits-hadits ahad tidak memberi faedah keyakinan (kepastian), sedangakan masalah aqidah mestilah dibangun berdasarkan keyakinan (harus sesuatu yang pasti, red). Dan Al-Qur’an sendiri mencela orang yang mengikuti zhan (sangkaan) serta mencela orang yang bersandar pada dalil yang tidak memberikan faedah ilmiah. “Mereka juga membawakan ayat :

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra’:36)

Golongan ini tidak segan-segan melakukan penipuan besar-besaran dengan mengatakan bahwa manhaj yang mereka tempuh adalah manhaj jumhur ahli-ilmi, seperti dinyatakan oleh Badrani Abu Al-‘Anain dan Syaikh Mahmud Syaltut.

Bahkan sebagian mereka mengklaim bahwa hal itu telah disepakati oleh seluruh ahli-ilmi. Padahal kenyataanya, pernyataan para imam justru sebaliknya. Keyakinan kelompok ini, bahwa hadits ahad tidak bisa memberikan apa-apa melainkan zhan (prasangka) belaka, hal itu telah menjadi aqidah bagi mereka. Padahal untuk menetapkannya sebagai aqidah mestinya memerlukan dalil yang qath’i. Sebab, masalah aqidah haruslah dibangun berdasarkan “Al-yakin”. Tetapi, nyatanya qath’i itu tidak kunjung ada kecuali hawa nafsu dan ra’yu mereka.




E. Kedudukan sunnah Nabawiyah bagi aqidah

Telah menjadi kesepakatan seluruh umat Islam generasi pertama, bahwa Sunnah Nabawiyah merupakan sumber rujukan kedua dan terakhir bagi syari’at Islam yang meliputi semua aspek kehidupan, termasuk diantaranya perkara-perkara ghaibiyah, ‘i’tiqadiyah (aqidah), hukum amaliyah, siyasah (politik) ataupun tarbiyah (pendidikan).

Oleh karena itu, tidak diperkenankan sedikit pun menyelisihi sunnah tersebut dalam rangka mengikuti ra’yu (pendapat), ijtihad atau qiyas apapun. Sebagaimana dinyatakan oleh Imam Syafi’i rahimahullah dalam akhir kitabnya Ar-Risalah, bahwa : “Tidaklah halal qiyas, adapun khabar ada” atau seperti ungkapan yang terkenal di kalangan ulama ushul generasi terakhir yang mengatakan : “Jika terdapat atsar, maka batalah nadhar (mencari-cari tafsirnya, pen).

Al-Qur’an dan sunnah juga secara tegas memerintahkan kembali kepada keduanya dalam berbagai hal. Dengan demikian, Sunnah Nabawiyah termasuk hadits ahad, merupakan hujjah bagi masalah ‘aqaid maupun ahkam.

F. Beberapa dalil wajibnya berpegang kepada hadits ahad dalam aqidah

Lebih dari dua puluh dalil, seperti disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ash-Shawa’iqul-Mursalah, semuanaya menunjukkan bahwa hadits-hadits ahad yang shahih berfaedah (bisa dugunakan, red) sebagai dasar keyakinan.

Contoh dalil :

1. Ketika ada seorang sahabat datang kepada kaum muslimin yang sedang shalat Subuh di masjid Quba dengan membawa berita bahwa qiblat telah dipindahkan ke Ka’bah, maka mereka menerima berita itu dan beralih qiblat. Ini menunjukkan bahwa dari sahabat tadi berfungsi sebagai ilmu yang mesti diterima. Peristiwa pemberitaan satu orang seperti di atas banyak dialami oleh para sahabat radhiallahu’anhum.sebagaimana diutusnya Mu’adz bin Jabal dalam sebuah riwayat yang shahih (Al-Bukhari dan Muslim) untuk berda’wah ke Yaman.

2. Firman Allah Ta’ala:

“Hai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti.” (Al-Hujurat :6)

Dalam salah satu qira’ah kalimat fatabayyanu dibaca fatatsabbatu (carilah kemantapan), ini bararti bahwa seorang yang adil (bukan fisik), jika ia membawa berita, maka beritanya merupakan hujjah dan tidak wajib mencari kemantapan kebenaran beritannya sebab bisa diambil langsung.



3. Firman Allah Ta’ala

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (Al-Israa’ : 36)

Telah dimaklumi bahwa kaum muslimin sejak zaman sahabat senantiasa mengikuti berita-berita ahad, mengamalkannya dan menetapkan dengannya perkara ghaib serta hakekat I’tiqadiyah. Seperti, berita tentang awqal mula diciptakannya makhluk dan tanda-tanda hari kiamat. Bahkan dengan hadits-hadits ahad ini mereka menetapkan sifat-sifat Allah Ta’ala. Seandainya berita ahad ini tidak memberikan faedah ilmiah dan tidak menetapkan bidang aqidah, berarti para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in serta imam-imam Islam semuanya telah mengikuti sesuatu yang tidak berdasarkan kepada ilmu. Dengan kata lain, firman Allah dalam ayat Al-Isra’: 36 tersebut dan ayat-ayat lainnya tidak bisa dijadikan dalil untuk menolak hadits ahad sebagai hujjah ilmiah.

Jadi tidak dijadikannya hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah aqidah adalah termasuk bid’ah.

Secara umum, dalil-dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, tindakan-tindakan sahabat dan pernyataan para ulama adalah dalil yang qath’I bagi wajibnya menjadikan hadits ahad sebagai hujjah dalam setiap persoalan syari’ah, baik mengenai persoalan i’tiqodiyah maupun permasalahan amaliyah. Dan pemisahan antara keduanya merupakan bid’ah yang tidak pernah dikenai oleh salafu shalih.

Oleh karenanya, Al-‘alamah Ibnu Qoyyim rahimahullah mengatakan dalam I’lamul Muwaqi’in (2:24), bahwa pembedaan tersebut batil berdasarkan ijma’ umat Islam. Karena sesungguhnya hadits ahad tetap harus dijadikan hujjah bagi masalah perberitaan ilmiah (yakni, aqidah), sebagaimana ia juga merupakan hujjah bagi masalah amaliah, terutama karena hukum-hukum amaliah mencakup pemberitaan dari Allah bahwa Dia telah menyari’atkan suatu ketetapan, telah mewajibkannya dan telah meridhainya sebagai din. Maka syari’at dan agamanya kembali kepada asma’ dan sifat-Nya. Para sahabat, tabi’in, tabi’untuk tabi’in, ahlul-hadits dan ahlus-sunnah, terus berhujjah dengan khabar-khabar ahad ini untuk masalah sifat-sifat, taqdir, asma’ dan ahkam. Tidak pernah terbetik suatu berita pun dari salah seorang diantara mereka yang membolehkan berthujjah dengan hadits ahad hanya dalam masalah ahkam (hukum), tidak juga dalam masalah berita-berita tentang asma’ dan sifat Allah.

Begitulah pemahaman manusia tentang aqidah. Ada aqidah Islamiyah yang sahih, yang dianut oleh golongan ahlu sunnah wal-jama’ah, ada pula aqidah dhalalah (sesat) dengan berbagai perbedaannya-aqidah ini dianut oleh ahlu firqah-, dan ada pula aqidah kafiriah yang dianut oleh kaum kuffar dengan berbagai millahnya. (Wallahu a’lam).



paulusjancok
paulusjancok
BLUE MEMBERS
BLUE MEMBERS

Male
Number of posts : 809
Age : 36
Humor : Yesus nggak pake sempak...hanya orang GOBLOK yang menyembahnya
Reputation : 1
Points : 6486
Registration date : 2011-08-12

Back to top Go down

akidah benar vs akidah keliru Empty Re: akidah benar vs akidah keliru

Post by sun-moon Fri 12 Aug 2011, 3:37 pm

paulusjancok wrote:AQIDAH YANG SAHIH
DAN YANG BATHIL

A. Pengertian Aqidah
1. Menurut Bahasa :

Berasal dari Al-‘aqdu artinya ikatan yang kuat. Bisa pula berarti kepercayaan yang kokoh.

Ikatan janji, terkadang juga disebut aqdun.

Sesuatu yang bisa membuat hati seseorang menjadi terikat kuat dan pasti padanya, disebut aqidah.

2. Menurut Istilah Umum :

Ialah keyakinan dan ketetapan yang bersifat pasti tanpa ada keraguan sedikitpun bagi pelakunya. Aqidah dalam pengertian umum ini berlaku untuk keyakinan terhadap al-haq maupun terhadap al-batil.

3. Pengertian Aqidah Islamiyah :

Ialah : iman yang bersifat pasti kepada Allah baik dalam hal uluhiyah, rububiyah, asma’ maupun sifat-Nya, kepada para malaikat, rasul-rasul, hari akhir, taqdir baik atau buruk dan kepada segenap apa yang diberitakan oleh nushus shahihah (nash-nash yang sahih) berupa perkara-perkara ushuluddin (pokok-pokok din), serta segala pemberitaan mengenai hal-hal ghaib. Juga iman kepada apa yang menjadi ijma’ (kesepakatan) As-Salafu Ash-Shalih, serta menyerah total kepada Allah baik dalam masalah hukum; perintah, takdir, maupun syari’at-Nya dan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan taat, ittiba’ dan bertahkim kepada beliau.

B. Pokok Bahasan Ilmu Aqidah

Aqidah jika ditilik kedudukannya sebagai ilmu menurut mahfum Ahlu Sunnah mencakup bahasan: at-tauhid (rububiyah, uluhiyah, asma’ dan sifat), al-iman, al-islam, perkara ghaibiyat, nubuwat, taqdir, al-akhbar (berita-bertita), landasan-landasan hukum qath’I dan semua permasalahan ushuluddin serta aqidah.





C. Istilah Lain Ilmu Aqidah

Ilmu aqidah mempunyai beberapa istilah yang penyebutannya, antara Ahlu Sunnah dengan firqah-firqah lainnya berbeda. Beberapa istilah ilmu aqidah menurut ahlu sunnah, yakni :

1. Al-‘Aqidah (al-I’tiqad dan al-‘aqaid) misalnya, istilah aqidah salaf atau aqidah ahlu atsar dan lain-lain.

2. At-Tauhid, sebab pembahasannya berkisar mengenai tauhidullah baik uluhiyah, rububiyah maupun al-asma’ was-sifat.

3. As-Sunnah, as-sunnah ialah ath-thariqah: jalan atau cara. Aqidah salaf disebut as-sunnah, dikarenakan ittiba’nya mereka (kaum salaf) kepada cara-cara ar-rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam memahami aqidah.

4. Ushuluddin, mencakup rukun iman, rukun Islam, masalah-masalah qath’iyah (pasti) dan apa-apa yang telah disepakati oleh para imam.

5. Al-Fiqhul Akbar, merupakan kebalikan dari Al-Fiqhul Ashgar (hukum-hukum ijtihadiyah).

6. Asy-Syari’ah, artinya apa yang disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya, berupa sunnah-sunnah petunjuk. Dan yang paling pokok adalah ushuluddin.

7. Al-Iman, mencakup semua permasalahan I’tiqadiyah.


Itulah beberapa istilah paling masyhur bagi Ahli Sunnah tentang ilmu aqidah. Terkadang dalam istilah tersebut ada yang mempunyaikesamaan istilah dengan firqah-firqah lain, seperti Asy’ariyah.

Sedangkan beberapa istilah ilmu aqidah menurut firqah-firqah lain, yakni:

1. Ilmu kalam, istilahnya kaum mutakallimin seperti, Al-Mu’tazilah dan Asy’ariyah.

2. Filsafat, sebutan bagi para filosof dan pengagumnya.

3. Tasawuf, terkenal bagi sebagian kalangan kaum filosof, sufi, orientalis dan sebagainya. Istilah ini adalah istilah bid’ah.

4. Ilahiyat (Teologi), dipakai oleh Ahlul Kalam, para filosof, orientalis dan pengikutnya. Intinya adalah filsafat dan logika ketuhanan.

5. Metafisika (alam dibalik kenyataan), istilah yang hampir identik dengan istilah ilahiyat, digunakan oleh kaum filosof dan sebangsanya.
Semua istilah ini adalah istilah yang batil, dan tidak dapat diterapkan bagi ilmu aqidah. Disamping itu orang sering menyebut bahwa landasan atau kaidah berfikir yang diyakini dan diimani dinamakan aqidah, walaupun (penyebutan tersebut) batil atau tidak berlandaskan pada dalil ‘aqli maupun naqli.

D. Beberpa manhaj yang ditempuh untuk menetapkan masalah ‘Aqaid

1. Manhaj yang berpegang pada akal dan mendustakan para rasul.

Yakni orang-orang yang menolak untuk ittiba’ kepada para rasul yang telah datang membawa berita benar. Sebaliknya mereka mencoba mengenal hakekat yang ada dibalik alam semesta ini dengan akal fikirannya semata. Sebab mereka berkeyakinan bahwa belajar dari para rasul berarti kedangkalan dan tidak kreatif. Jadi mereka akan selalu menolak dalil-dalil yang jelas datangnya dari wahyu.

2. Manhaj para filosof dan mutakallimin

Suatu manhaj yang masih mengakui ajaran para rasul Allah, namun tidak bisa melepas ketergantungannya kepada hawa nafsu dalam memahami hal-hal yang berada di luar jangkauan akal fikirannya, seperti persoalan yang menyangkut masalah-masalah ghaib.

Diantara kelompok nomor dua ini adalah orang-orang yang menolak berhujjah, dalam masalah aqidah, dengan Al-Qur’an dan hadits-hadits mutawattir yang dilalahnya tidak qath’i. Sedangkan terhadap hadits-hadits ahad mereka menolak sama sekali dan tidak memperbolehkannya dijadikan hujjah, baik dalam masalah aqidah maupun dalam masalah hukum. Yang termasuk kelompok ini, yaitu Mu’tazilah dan Khawarij.

3. Manhaj kaum sufi

Banyak di kalangan kaum sufi yang beranggapan bahwa ada cara khusus (thariqah) untuk mengenal dan mengungkap rahasia tuhan, rahasia alam ghaib dan rahasia hukum. Cara khusus tersebut dinamakan Thariqul-Kasyfi (cara mengungkap rahasia). Mereka memiliki model periwayatan seperti, “Telah bercerita hatiku dari Tuhanku…” Menurut mereka, itulah cara yang paling tepat, sebab cara-cara lain yang bersumber dari ulama adalah periwayatan fulan dari fulan, dan dari si fulan (lainnya) dari Rasulullah dari Jibril. Adapun cara (thariqah) mereka (kaum sufi) adalah melalui pembicaraan hati yang berasal dari tuhannya. Mereka lupa bahwa din yang dibawa oleh Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berasal dari Allah, adalah cara (thariqah) satu-satunya yang telah diridhai Allah buat kita. Sedang thariqah mereka adalah jalan yang tidak bisa dijadikan hujjah, tidak bisa dijadikan landasan bagi aqidah maupun hukum dan tidak berdasar sama sekali. Sementara itu, setan telah banyak memasukkan unsur kebatilan melalui cara ini kepada para pengikutnya.
4. Manhaj as-salafush-shalih

Siapa saja yang memperhatikan setiap pernyataan As-salafush-Shalih pasti mengetahui bahwa mereka telah menetapkan permasalahan aqa’id berdasarkan nash-nash Al-Qur’an dan Al-Hadits. Mereka tidak membedakan antara hadits-hadits mutawatir dengan hadits-hadits ahad (yang shahih/tsabit) sebagai hujjah, baik dalam persoalan aqidah maupun persoalan ahkam (hukum).

Tiada satu pun dari kalangan sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in yang menyeleweng dari ketetapan itu. Demikian pula imam-imam pembawa petunjuk, seperti imam yang empat. Bahkan generasi As-Salafush-Shalih beserta seluruh pengikutnya pada setiap zaman selalu mengecam keras kepada setiap orang yang ingin meninggalkan hadits-hadits dan nash-nash untuk kemudian berpijak mendahulukan ra’yu.

5. Manhaj orang yang menolak hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah aqidah

Dasar pijak mereka sebenarnya bersumber dari dasar pijak kaum Khawarij dan Mu’tazilah yang menolak hadits ahad sebagai hujjah, baik bagi masalah aqidah maupun ahkam. Golongan kelima ini mengatakan, “ Hadits-hadits ahad tidak memberi faedah keyakinan (kepastian), sedangakan masalah aqidah mestilah dibangun berdasarkan keyakinan (harus sesuatu yang pasti, red). Dan Al-Qur’an sendiri mencela orang yang mengikuti zhan (sangkaan) serta mencela orang yang bersandar pada dalil yang tidak memberikan faedah ilmiah. “Mereka juga membawakan ayat :

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra’:36)

Golongan ini tidak segan-segan melakukan penipuan besar-besaran dengan mengatakan bahwa manhaj yang mereka tempuh adalah manhaj jumhur ahli-ilmi, seperti dinyatakan oleh Badrani Abu Al-‘Anain dan Syaikh Mahmud Syaltut.

Bahkan sebagian mereka mengklaim bahwa hal itu telah disepakati oleh seluruh ahli-ilmi. Padahal kenyataanya, pernyataan para imam justru sebaliknya. Keyakinan kelompok ini, bahwa hadits ahad tidak bisa memberikan apa-apa melainkan zhan (prasangka) belaka, hal itu telah menjadi aqidah bagi mereka. Padahal untuk menetapkannya sebagai aqidah mestinya memerlukan dalil yang qath’i. Sebab, masalah aqidah haruslah dibangun berdasarkan “Al-yakin”. Tetapi, nyatanya qath’i itu tidak kunjung ada kecuali hawa nafsu dan ra’yu mereka.




E. Kedudukan sunnah Nabawiyah bagi aqidah

Telah menjadi kesepakatan seluruh umat Islam generasi pertama, bahwa Sunnah Nabawiyah merupakan sumber rujukan kedua dan terakhir bagi syari’at Islam yang meliputi semua aspek kehidupan, termasuk diantaranya perkara-perkara ghaibiyah, ‘i’tiqadiyah (aqidah), hukum amaliyah, siyasah (politik) ataupun tarbiyah (pendidikan).

Oleh karena itu, tidak diperkenankan sedikit pun menyelisihi sunnah tersebut dalam rangka mengikuti ra’yu (pendapat), ijtihad atau qiyas apapun. Sebagaimana dinyatakan oleh Imam Syafi’i rahimahullah dalam akhir kitabnya Ar-Risalah, bahwa : “Tidaklah halal qiyas, adapun khabar ada” atau seperti ungkapan yang terkenal di kalangan ulama ushul generasi terakhir yang mengatakan : “Jika terdapat atsar, maka batalah nadhar (mencari-cari tafsirnya, pen).

Al-Qur’an dan sunnah juga secara tegas memerintahkan kembali kepada keduanya dalam berbagai hal. Dengan demikian, Sunnah Nabawiyah termasuk hadits ahad, merupakan hujjah bagi masalah ‘aqaid maupun ahkam.

F. Beberapa dalil wajibnya berpegang kepada hadits ahad dalam aqidah

Lebih dari dua puluh dalil, seperti disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ash-Shawa’iqul-Mursalah, semuanaya menunjukkan bahwa hadits-hadits ahad yang shahih berfaedah (bisa dugunakan, red) sebagai dasar keyakinan.

Contoh dalil :

1. Ketika ada seorang sahabat datang kepada kaum muslimin yang sedang shalat Subuh di masjid Quba dengan membawa berita bahwa qiblat telah dipindahkan ke Ka’bah, maka mereka menerima berita itu dan beralih qiblat. Ini menunjukkan bahwa dari sahabat tadi berfungsi sebagai ilmu yang mesti diterima. Peristiwa pemberitaan satu orang seperti di atas banyak dialami oleh para sahabat radhiallahu’anhum.sebagaimana diutusnya Mu’adz bin Jabal dalam sebuah riwayat yang shahih (Al-Bukhari dan Muslim) untuk berda’wah ke Yaman.

2. Firman Allah Ta’ala:

“Hai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti.” (Al-Hujurat :6)

Dalam salah satu qira’ah kalimat fatabayyanu dibaca fatatsabbatu (carilah kemantapan), ini bararti bahwa seorang yang adil (bukan fisik), jika ia membawa berita, maka beritanya merupakan hujjah dan tidak wajib mencari kemantapan kebenaran beritannya sebab bisa diambil langsung.



3. Firman Allah Ta’ala

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (Al-Israa’ : 36)

Telah dimaklumi bahwa kaum muslimin sejak zaman sahabat senantiasa mengikuti berita-berita ahad, mengamalkannya dan menetapkan dengannya perkara ghaib serta hakekat I’tiqadiyah. Seperti, berita tentang awqal mula diciptakannya makhluk dan tanda-tanda hari kiamat. Bahkan dengan hadits-hadits ahad ini mereka menetapkan sifat-sifat Allah Ta’ala. Seandainya berita ahad ini tidak memberikan faedah ilmiah dan tidak menetapkan bidang aqidah, berarti para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in serta imam-imam Islam semuanya telah mengikuti sesuatu yang tidak berdasarkan kepada ilmu. Dengan kata lain, firman Allah dalam ayat Al-Isra’: 36 tersebut dan ayat-ayat lainnya tidak bisa dijadikan dalil untuk menolak hadits ahad sebagai hujjah ilmiah.

Jadi tidak dijadikannya hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah aqidah adalah termasuk bid’ah.

Secara umum, dalil-dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, tindakan-tindakan sahabat dan pernyataan para ulama adalah dalil yang qath’I bagi wajibnya menjadikan hadits ahad sebagai hujjah dalam setiap persoalan syari’ah, baik mengenai persoalan i’tiqodiyah maupun permasalahan amaliyah. Dan pemisahan antara keduanya merupakan bid’ah yang tidak pernah dikenai oleh salafu shalih.

Oleh karenanya, Al-‘alamah Ibnu Qoyyim rahimahullah mengatakan dalam I’lamul Muwaqi’in (2:24), bahwa pembedaan tersebut batil berdasarkan ijma’ umat Islam. Karena sesungguhnya hadits ahad tetap harus dijadikan hujjah bagi masalah perberitaan ilmiah (yakni, aqidah), sebagaimana ia juga merupakan hujjah bagi masalah amaliah, terutama karena hukum-hukum amaliah mencakup pemberitaan dari Allah bahwa Dia telah menyari’atkan suatu ketetapan, telah mewajibkannya dan telah meridhainya sebagai din. Maka syari’at dan agamanya kembali kepada asma’ dan sifat-Nya. Para sahabat, tabi’in, tabi’untuk tabi’in, ahlul-hadits dan ahlus-sunnah, terus berhujjah dengan khabar-khabar ahad ini untuk masalah sifat-sifat, taqdir, asma’ dan ahkam. Tidak pernah terbetik suatu berita pun dari salah seorang diantara mereka yang membolehkan berthujjah dengan hadits ahad hanya dalam masalah ahkam (hukum), tidak juga dalam masalah berita-berita tentang asma’ dan sifat Allah.

Begitulah pemahaman manusia tentang aqidah. Ada aqidah Islamiyah yang sahih, yang dianut oleh golongan ahlu sunnah wal-jama’ah, ada pula aqidah dhalalah (sesat) dengan berbagai perbedaannya-aqidah ini dianut oleh ahlu firqah-, dan ada pula aqidah kafiriah yang dianut oleh kaum kuffar dengan berbagai millahnya. (Wallahu a’lam).




Assalamualaikum.wr.wb.

memang benar, diawali dengan 'wallahu a'lam',--
"ampun paralun, hampura anu diteda",--

demikianlah, Islam menjadi golongan-golongan yang berbeda,--
masing-masing telah dan sedang terus memberikan kontribusi positif (beserta kekurangannya),--
tidak perlu menjadi 'persengketaan' mempermasalahkan hal-hal yang kurang significant, tetaplah dalam persaudaraan,--
karena di penghujung 'pintu' setiap alam ataupun dimensi akan dihadapi oleh dirinya sendiri masing-masing, dari golongan atau faham manapun,--
dan siapa yang menjamin dirinya saat berada di 'penghujung itu'?,--
saat yang dinantikan, yaitu: saat "sakaratul maut"...,--
karena yang berbeda-beda itu pun pada dasarnya:
'Lahaola wa la kuwata ila billahil aliyil adzim...',--
dan harus memenuhi 'Inalillahi wa ina ilaihi rojiun'..,--
dengan demikian, tujuan dari yang berbeda-beda itu tidaklah begitu berbeda, yaitu hanya berharap:,--
maghfiroh-Nya...ampunan,,,,ampunan-Nya,--
sehingga dengan begitu, mengharapkan pula 'ridho-Nya',--
akhirnya memasuki 'kekekalan' dengan berharap atas 'rakhmat-Nya',--

sekali lagi "maaf jika ada kesalahan/kekeliruan, lahir & batin (walaupun lebaran masih nanti tgl.31/8/2011" hehehe...

'Wallohu a'lam"
Assalamu'alaikum wr.wb.
sun-moon
sun-moon
BLUE MEMBERS
BLUE MEMBERS

Number of posts : 548
Reputation : 5
Points : 5253
Registration date : 2011-07-17

Back to top Go down

akidah benar vs akidah keliru Empty Re: akidah benar vs akidah keliru

Post by paulusjancok Fri 12 Aug 2011, 3:53 pm

sun-moon wrote:
paulusjancok wrote:AQIDAH YANG SAHIH
DAN YANG BATHIL

A. Pengertian Aqidah
1. Menurut Bahasa :

Berasal dari Al-‘aqdu artinya ikatan yang kuat. Bisa pula berarti kepercayaan yang kokoh.

Ikatan janji, terkadang juga disebut aqdun.

Sesuatu yang bisa membuat hati seseorang menjadi terikat kuat dan pasti padanya, disebut aqidah.

2. Menurut Istilah Umum :

Ialah keyakinan dan ketetapan yang bersifat pasti tanpa ada keraguan sedikitpun bagi pelakunya. Aqidah dalam pengertian umum ini berlaku untuk keyakinan terhadap al-haq maupun terhadap al-batil.

3. Pengertian Aqidah Islamiyah :

Ialah : iman yang bersifat pasti kepada Allah baik dalam hal uluhiyah, rububiyah, asma’ maupun sifat-Nya, kepada para malaikat, rasul-rasul, hari akhir, taqdir baik atau buruk dan kepada segenap apa yang diberitakan oleh nushus shahihah (nash-nash yang sahih) berupa perkara-perkara ushuluddin (pokok-pokok din), serta segala pemberitaan mengenai hal-hal ghaib. Juga iman kepada apa yang menjadi ijma’ (kesepakatan) As-Salafu Ash-Shalih, serta menyerah total kepada Allah baik dalam masalah hukum; perintah, takdir, maupun syari’at-Nya dan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan taat, ittiba’ dan bertahkim kepada beliau.

B. Pokok Bahasan Ilmu Aqidah

Aqidah jika ditilik kedudukannya sebagai ilmu menurut mahfum Ahlu Sunnah mencakup bahasan: at-tauhid (rububiyah, uluhiyah, asma’ dan sifat), al-iman, al-islam, perkara ghaibiyat, nubuwat, taqdir, al-akhbar (berita-bertita), landasan-landasan hukum qath’I dan semua permasalahan ushuluddin serta aqidah.





C. Istilah Lain Ilmu Aqidah

Ilmu aqidah mempunyai beberapa istilah yang penyebutannya, antara Ahlu Sunnah dengan firqah-firqah lainnya berbeda. Beberapa istilah ilmu aqidah menurut ahlu sunnah, yakni :

1. Al-‘Aqidah (al-I’tiqad dan al-‘aqaid) misalnya, istilah aqidah salaf atau aqidah ahlu atsar dan lain-lain.

2. At-Tauhid, sebab pembahasannya berkisar mengenai tauhidullah baik uluhiyah, rububiyah maupun al-asma’ was-sifat.

3. As-Sunnah, as-sunnah ialah ath-thariqah: jalan atau cara. Aqidah salaf disebut as-sunnah, dikarenakan ittiba’nya mereka (kaum salaf) kepada cara-cara ar-rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam memahami aqidah.

4. Ushuluddin, mencakup rukun iman, rukun Islam, masalah-masalah qath’iyah (pasti) dan apa-apa yang telah disepakati oleh para imam.

5. Al-Fiqhul Akbar, merupakan kebalikan dari Al-Fiqhul Ashgar (hukum-hukum ijtihadiyah).

6. Asy-Syari’ah, artinya apa yang disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya, berupa sunnah-sunnah petunjuk. Dan yang paling pokok adalah ushuluddin.

7. Al-Iman, mencakup semua permasalahan I’tiqadiyah.


Itulah beberapa istilah paling masyhur bagi Ahli Sunnah tentang ilmu aqidah. Terkadang dalam istilah tersebut ada yang mempunyaikesamaan istilah dengan firqah-firqah lain, seperti Asy’ariyah.

Sedangkan beberapa istilah ilmu aqidah menurut firqah-firqah lain, yakni:

1. Ilmu kalam, istilahnya kaum mutakallimin seperti, Al-Mu’tazilah dan Asy’ariyah.

2. Filsafat, sebutan bagi para filosof dan pengagumnya.

3. Tasawuf, terkenal bagi sebagian kalangan kaum filosof, sufi, orientalis dan sebagainya. Istilah ini adalah istilah bid’ah.

4. Ilahiyat (Teologi), dipakai oleh Ahlul Kalam, para filosof, orientalis dan pengikutnya. Intinya adalah filsafat dan logika ketuhanan.

5. Metafisika (alam dibalik kenyataan), istilah yang hampir identik dengan istilah ilahiyat, digunakan oleh kaum filosof dan sebangsanya.
Semua istilah ini adalah istilah yang batil, dan tidak dapat diterapkan bagi ilmu aqidah. Disamping itu orang sering menyebut bahwa landasan atau kaidah berfikir yang diyakini dan diimani dinamakan aqidah, walaupun (penyebutan tersebut) batil atau tidak berlandaskan pada dalil ‘aqli maupun naqli.

D. Beberpa manhaj yang ditempuh untuk menetapkan masalah ‘Aqaid

1. Manhaj yang berpegang pada akal dan mendustakan para rasul.

Yakni orang-orang yang menolak untuk ittiba’ kepada para rasul yang telah datang membawa berita benar. Sebaliknya mereka mencoba mengenal hakekat yang ada dibalik alam semesta ini dengan akal fikirannya semata. Sebab mereka berkeyakinan bahwa belajar dari para rasul berarti kedangkalan dan tidak kreatif. Jadi mereka akan selalu menolak dalil-dalil yang jelas datangnya dari wahyu.

2. Manhaj para filosof dan mutakallimin

Suatu manhaj yang masih mengakui ajaran para rasul Allah, namun tidak bisa melepas ketergantungannya kepada hawa nafsu dalam memahami hal-hal yang berada di luar jangkauan akal fikirannya, seperti persoalan yang menyangkut masalah-masalah ghaib.

Diantara kelompok nomor dua ini adalah orang-orang yang menolak berhujjah, dalam masalah aqidah, dengan Al-Qur’an dan hadits-hadits mutawattir yang dilalahnya tidak qath’i. Sedangkan terhadap hadits-hadits ahad mereka menolak sama sekali dan tidak memperbolehkannya dijadikan hujjah, baik dalam masalah aqidah maupun dalam masalah hukum. Yang termasuk kelompok ini, yaitu Mu’tazilah dan Khawarij.

3. Manhaj kaum sufi

Banyak di kalangan kaum sufi yang beranggapan bahwa ada cara khusus (thariqah) untuk mengenal dan mengungkap rahasia tuhan, rahasia alam ghaib dan rahasia hukum. Cara khusus tersebut dinamakan Thariqul-Kasyfi (cara mengungkap rahasia). Mereka memiliki model periwayatan seperti, “Telah bercerita hatiku dari Tuhanku…” Menurut mereka, itulah cara yang paling tepat, sebab cara-cara lain yang bersumber dari ulama adalah periwayatan fulan dari fulan, dan dari si fulan (lainnya) dari Rasulullah dari Jibril. Adapun cara (thariqah) mereka (kaum sufi) adalah melalui pembicaraan hati yang berasal dari tuhannya. Mereka lupa bahwa din yang dibawa oleh Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berasal dari Allah, adalah cara (thariqah) satu-satunya yang telah diridhai Allah buat kita. Sedang thariqah mereka adalah jalan yang tidak bisa dijadikan hujjah, tidak bisa dijadikan landasan bagi aqidah maupun hukum dan tidak berdasar sama sekali. Sementara itu, setan telah banyak memasukkan unsur kebatilan melalui cara ini kepada para pengikutnya.
4. Manhaj as-salafush-shalih

Siapa saja yang memperhatikan setiap pernyataan As-salafush-Shalih pasti mengetahui bahwa mereka telah menetapkan permasalahan aqa’id berdasarkan nash-nash Al-Qur’an dan Al-Hadits. Mereka tidak membedakan antara hadits-hadits mutawatir dengan hadits-hadits ahad (yang shahih/tsabit) sebagai hujjah, baik dalam persoalan aqidah maupun persoalan ahkam (hukum).

Tiada satu pun dari kalangan sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in yang menyeleweng dari ketetapan itu. Demikian pula imam-imam pembawa petunjuk, seperti imam yang empat. Bahkan generasi As-Salafush-Shalih beserta seluruh pengikutnya pada setiap zaman selalu mengecam keras kepada setiap orang yang ingin meninggalkan hadits-hadits dan nash-nash untuk kemudian berpijak mendahulukan ra’yu.

5. Manhaj orang yang menolak hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah aqidah

Dasar pijak mereka sebenarnya bersumber dari dasar pijak kaum Khawarij dan Mu’tazilah yang menolak hadits ahad sebagai hujjah, baik bagi masalah aqidah maupun ahkam. Golongan kelima ini mengatakan, “ Hadits-hadits ahad tidak memberi faedah keyakinan (kepastian), sedangakan masalah aqidah mestilah dibangun berdasarkan keyakinan (harus sesuatu yang pasti, red). Dan Al-Qur’an sendiri mencela orang yang mengikuti zhan (sangkaan) serta mencela orang yang bersandar pada dalil yang tidak memberikan faedah ilmiah. “Mereka juga membawakan ayat :

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra’:36)

Golongan ini tidak segan-segan melakukan penipuan besar-besaran dengan mengatakan bahwa manhaj yang mereka tempuh adalah manhaj jumhur ahli-ilmi, seperti dinyatakan oleh Badrani Abu Al-‘Anain dan Syaikh Mahmud Syaltut.

Bahkan sebagian mereka mengklaim bahwa hal itu telah disepakati oleh seluruh ahli-ilmi. Padahal kenyataanya, pernyataan para imam justru sebaliknya. Keyakinan kelompok ini, bahwa hadits ahad tidak bisa memberikan apa-apa melainkan zhan (prasangka) belaka, hal itu telah menjadi aqidah bagi mereka. Padahal untuk menetapkannya sebagai aqidah mestinya memerlukan dalil yang qath’i. Sebab, masalah aqidah haruslah dibangun berdasarkan “Al-yakin”. Tetapi, nyatanya qath’i itu tidak kunjung ada kecuali hawa nafsu dan ra’yu mereka.




E. Kedudukan sunnah Nabawiyah bagi aqidah

Telah menjadi kesepakatan seluruh umat Islam generasi pertama, bahwa Sunnah Nabawiyah merupakan sumber rujukan kedua dan terakhir bagi syari’at Islam yang meliputi semua aspek kehidupan, termasuk diantaranya perkara-perkara ghaibiyah, ‘i’tiqadiyah (aqidah), hukum amaliyah, siyasah (politik) ataupun tarbiyah (pendidikan).

Oleh karena itu, tidak diperkenankan sedikit pun menyelisihi sunnah tersebut dalam rangka mengikuti ra’yu (pendapat), ijtihad atau qiyas apapun. Sebagaimana dinyatakan oleh Imam Syafi’i rahimahullah dalam akhir kitabnya Ar-Risalah, bahwa : “Tidaklah halal qiyas, adapun khabar ada” atau seperti ungkapan yang terkenal di kalangan ulama ushul generasi terakhir yang mengatakan : “Jika terdapat atsar, maka batalah nadhar (mencari-cari tafsirnya, pen).

Al-Qur’an dan sunnah juga secara tegas memerintahkan kembali kepada keduanya dalam berbagai hal. Dengan demikian, Sunnah Nabawiyah termasuk hadits ahad, merupakan hujjah bagi masalah ‘aqaid maupun ahkam.

F. Beberapa dalil wajibnya berpegang kepada hadits ahad dalam aqidah

Lebih dari dua puluh dalil, seperti disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ash-Shawa’iqul-Mursalah, semuanaya menunjukkan bahwa hadits-hadits ahad yang shahih berfaedah (bisa dugunakan, red) sebagai dasar keyakinan.

Contoh dalil :

1. Ketika ada seorang sahabat datang kepada kaum muslimin yang sedang shalat Subuh di masjid Quba dengan membawa berita bahwa qiblat telah dipindahkan ke Ka’bah, maka mereka menerima berita itu dan beralih qiblat. Ini menunjukkan bahwa dari sahabat tadi berfungsi sebagai ilmu yang mesti diterima. Peristiwa pemberitaan satu orang seperti di atas banyak dialami oleh para sahabat radhiallahu’anhum.sebagaimana diutusnya Mu’adz bin Jabal dalam sebuah riwayat yang shahih (Al-Bukhari dan Muslim) untuk berda’wah ke Yaman.

2. Firman Allah Ta’ala:

“Hai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti.” (Al-Hujurat :6)

Dalam salah satu qira’ah kalimat fatabayyanu dibaca fatatsabbatu (carilah kemantapan), ini bararti bahwa seorang yang adil (bukan fisik), jika ia membawa berita, maka beritanya merupakan hujjah dan tidak wajib mencari kemantapan kebenaran beritannya sebab bisa diambil langsung.



3. Firman Allah Ta’ala

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (Al-Israa’ : 36)

Telah dimaklumi bahwa kaum muslimin sejak zaman sahabat senantiasa mengikuti berita-berita ahad, mengamalkannya dan menetapkan dengannya perkara ghaib serta hakekat I’tiqadiyah. Seperti, berita tentang awqal mula diciptakannya makhluk dan tanda-tanda hari kiamat. Bahkan dengan hadits-hadits ahad ini mereka menetapkan sifat-sifat Allah Ta’ala. Seandainya berita ahad ini tidak memberikan faedah ilmiah dan tidak menetapkan bidang aqidah, berarti para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in serta imam-imam Islam semuanya telah mengikuti sesuatu yang tidak berdasarkan kepada ilmu. Dengan kata lain, firman Allah dalam ayat Al-Isra’: 36 tersebut dan ayat-ayat lainnya tidak bisa dijadikan dalil untuk menolak hadits ahad sebagai hujjah ilmiah.

Jadi tidak dijadikannya hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah aqidah adalah termasuk bid’ah.

Secara umum, dalil-dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, tindakan-tindakan sahabat dan pernyataan para ulama adalah dalil yang qath’I bagi wajibnya menjadikan hadits ahad sebagai hujjah dalam setiap persoalan syari’ah, baik mengenai persoalan i’tiqodiyah maupun permasalahan amaliyah. Dan pemisahan antara keduanya merupakan bid’ah yang tidak pernah dikenai oleh salafu shalih.

Oleh karenanya, Al-‘alamah Ibnu Qoyyim rahimahullah mengatakan dalam I’lamul Muwaqi’in (2:24), bahwa pembedaan tersebut batil berdasarkan ijma’ umat Islam. Karena sesungguhnya hadits ahad tetap harus dijadikan hujjah bagi masalah perberitaan ilmiah (yakni, aqidah), sebagaimana ia juga merupakan hujjah bagi masalah amaliah, terutama karena hukum-hukum amaliah mencakup pemberitaan dari Allah bahwa Dia telah menyari’atkan suatu ketetapan, telah mewajibkannya dan telah meridhainya sebagai din. Maka syari’at dan agamanya kembali kepada asma’ dan sifat-Nya. Para sahabat, tabi’in, tabi’untuk tabi’in, ahlul-hadits dan ahlus-sunnah, terus berhujjah dengan khabar-khabar ahad ini untuk masalah sifat-sifat, taqdir, asma’ dan ahkam. Tidak pernah terbetik suatu berita pun dari salah seorang diantara mereka yang membolehkan berthujjah dengan hadits ahad hanya dalam masalah ahkam (hukum), tidak juga dalam masalah berita-berita tentang asma’ dan sifat Allah.

Begitulah pemahaman manusia tentang aqidah. Ada aqidah Islamiyah yang sahih, yang dianut oleh golongan ahlu sunnah wal-jama’ah, ada pula aqidah dhalalah (sesat) dengan berbagai perbedaannya-aqidah ini dianut oleh ahlu firqah-, dan ada pula aqidah kafiriah yang dianut oleh kaum kuffar dengan berbagai millahnya. (Wallahu a’lam).




Assalamualaikum.wr.wb.

memang benar, diawali dengan 'wallahu a'lam',--
"ampun paralun, hampura anu diteda",--

demikianlah, Islam menjadi golongan-golongan yang berbeda,--
masing-masing telah dan sedang terus memberikan kontribusi positif (beserta kekurangannya),--
tidak perlu menjadi 'persengketaan' mempermasalahkan hal-hal yang kurang significant, tetaplah dalam persaudaraan,--
karena di penghujung 'pintu' setiap alam ataupun dimensi akan dihadapi oleh dirinya sendiri masing-masing, dari golongan atau faham manapun,--
dan siapa yang menjamin dirinya saat berada di 'penghujung itu'?,--
saat yang dinantikan, yaitu: saat "sakaratul maut"...,--
karena yang berbeda-beda itu pun pada dasarnya:
'Lahaola wa la kuwata ila billahil aliyil adzim...',--
dan harus memenuhi 'Inalillahi wa ina ilaihi rojiun'..,--
dengan demikian, tujuan dari yang berbeda-beda itu tidaklah begitu berbeda, yaitu hanya berharap:,--
maghfiroh-Nya...ampunan,,,,ampunan-Nya,--
sehingga dengan begitu, mengharapkan pula 'ridho-Nya',--
akhirnya memasuki 'kekekalan' dengan berharap atas 'rakhmat-Nya',--

sekali lagi "maaf jika ada kesalahan/kekeliruan, lahir & batin (walaupun lebaran masih nanti tgl.31/8/2011" hehehe...

'Wallohu a'lam"
Assalamu'alaikum wr.wb.

Sama-sama....
Jazakallah Khoiron Katsera atas komentar antum...
paulusjancok
paulusjancok
BLUE MEMBERS
BLUE MEMBERS

Male
Number of posts : 809
Age : 36
Humor : Yesus nggak pake sempak...hanya orang GOBLOK yang menyembahnya
Reputation : 1
Points : 6486
Registration date : 2011-08-12

Back to top Go down

akidah benar vs akidah keliru Empty Re: akidah benar vs akidah keliru

Post by Sponsored content


Sponsored content


Back to top Go down

Back to top

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum